Oleh: Frater Yosefino Rhiti Reda
Kebudayaan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu yang berkembang dan hidup dalam masyarakat tertentu, yang unsur-unsurnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam diri tiap individu, yang dapat menjadi miliknya, bila selalu ditekuni, dipelajari dan dikembangkan.
Kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang di setiap daerah tidak akan pernah pudar dan menghilang, jika semua orang yang telah menerima apa yang telah diwariskan, selalu mengembangkan, menjaga, dan melestarikan, sebagai sesuatu yang langka, yang tidak akan pernah dijumpai lagi pada masa-masa selanjutnya.
Kebudayaan disebut juga sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan merupakan hasil dari tingkah laku manusia, yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Unsur-unsur yang ada dalam suatu kebudayaan dapat didukung dan diterima oleh masyarakat setempat karena didalamnya terkandung banyak nilai yang mesti dipelajari dan dipahami secara komprehensif demi kerukunan dan kesejahteraan kehidupan bersama.
Setiap orang yang dalam suatu waktu ketika berhadapan dengan kebudayaan, hendaknya tahu dan sadar bahwa kebudayaan itu suatu ekspresi kehidupan masyarakat manusia setempat yang telah diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya yang bersifat permanen dan tetap.
Kebudayaan yang telah ada selalu berkembang menurut perkembangan zaman. Di sini yang dimaksudkan bukan karena perkembangan zaman yang semakin modern, kebudayaan-kebudayaan yang telah ada itu seenaknya diubah dan diganti secara keseluruhan unsur-unsur yang telah ada sebelumnya.
Kebudayaan bukan soal cocok tau tidak cocok dengan saya, bukan soal senang atau tidak senang, bukan soal baik atau tidak baik, bukan soal pas atau tidak pas dengan saya. Kebudayaan juga sering disebut sebagai living organism (suatu organisme yang hidup).
Sebagaimana organisme yang hidup itu bersifat dinamis, yakni berubah dan menyesuaikan diri, kadang berhasil baik atau kadang tidak, atau kurang. Kadang suatu organisme mempunyai kecenderungan untuk statis (tidak berubah), tetap tinggal apa adanya.
Demikian pula halnya dengan kebudayaan sebagai suatu organisme, dan suatu sistem yang hidup dan berkembang dengan struktur dan karakter dinamisnya sesuai dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan unsur-unsur yang sebelumnya telah ada.
‘Ka Uwi (makan ubi) merupakan suatu tradisi adat yang sering dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, di salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Kabupaten Ende.
Tradisi ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat setempat, yang diketuai oleh ‘mosarhaki (tua adat), sebagai acara puncak dan inti yang penuh arti bagi kaum pria.
Sebenarnya tradisi ‘Ka Uwi merupakan tradisi yang dilakukan secara khusus bagi kaum pria yang secara resmi dan telah disahkan memiliki seorang pasangan hidup (‘fai/ seorang istri).
Bila ‘uwi/ubi (simbol dari seorang wanita) adalah perempuan dan eu/pinang (simbol dari seorang pria) adalah pria, maka dengan upacara ‘ka uwi, pria menunjukan kesatuan dengan perempuan.
Di sini terjadi persekutuan kosmos antara bumi, di bawah (‘uwi), dan langit, di atas (‘eu).
Ka uwi ini biasanya berlangsung sekitar pukul 04.00-05.20 pagi (ngguru nggara). Upacara adat ini biasanya didahului oleh bunyi gong dan tambur sebanyak empat kali, sesuai dengan aturan-aturan yang telah diwariskan oleh para leluhur.
Dari segi waktu, hal ini sangat tepat dilakukan karena berhubungan dengan acara berikutnya yang harus dilakukan yakni ‘woge (tarian perang yang dilakukan, yang menunjukan keperkasaan seorang pria).
Tarian perang ini merupakan kelanjutan kegembiraan yang dinikmati di ‘Enda (rumah sakral dewan mosarhaki) pada waktu malam, sehingga ketika turun dari ‘Enda, dan tepat matahari terbit maka acara woge dilangsungkan di ‘ora nata mere (halaman besar/utama).
Petugas khusus dari mosarhaki kemudian mengambil uwi yang sudah dibakar oleh sesamanya, membersihkan bagian luar (‘koi), lalu memotong-motong/mengiris (‘nggere) uwi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang kemudian ditaruh pada nyiru (‘idhe) yang disediakan.
Setelah proses pembersihan selesai, maka tugas berikutnya diambil alih oleh mosarhaki yang telah dipercayakan. Mosarhaki kemudian mengambil nyiru yang berisikan uwi, lalu membagikan potongan-potongan uwi itu kepada para dewan mosarhaki, dan juga kepada orang-orang yang berada di ‘Enda.
Ketika sang mosarhaki utama memberikan potongan ‘uwi itu kepada setiap orang yang diterima dengan telapak tangan terbuka, maka mosarhaki itu juga berseru:
“uwi mbani-mbani kau mbani- mbani, uwi tenggo- tenggo kau tenggo-tenggo” atau “uwi nai-nai kau nai-nai, uwi wa’u-wa’u kau wa’u-wa’u”.
Ungkapan di atas bersifat simbolis, melambangkan aktivitas persetubuhan antara pria dan wanita. Ajakan bagi kaum pria agar dengan caranya melayani wanita secara memuaskan ketika melaksanakan adegan ranjang/proses persetubuhan.
“Uwi mbani-mbani kau mbani-mbani” (jika istri semakin bernafsu, engkau juga harus semakin bernafsu dalam melayani permainan seks). “uwi wa’u-wa’u kau wa’u-wa’u” (bila istri bermain lembut kau juga harus bermain secara lembut).
Kebudayaan adalah “the total life way of a people;the social legacy the individual acquires from his group” keseluruhan cara hidup seseorang, warisan sosial yang diterima individu dari kelompoknya.
Upacara adat ‘ka uwi merupakan suatu tradisi adat yang telah diwariskan oleh para leluhur, yang telah dijaga dan dilestarikan hingga saat ini. Upacara ini bukan semata-mata dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan suatu kebudayaan atau identitas dari masyarkat Ende pada umumnya, tapi lebih dari itu upacara adat ‘ka uwi mau menunjukan bahwa betapa pentingnya nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Suatu perkawinan yang dilakukan tidak saja terjadi jika seorang pria dan wanita saling mengungkapkan kata-kata ‘jao dhei kau (aku sayang kamu), tapi juga harus melewati beberapa proses adat (pada kaum pria), yaitu apa yang dinamakan dengan ‘ka uwi.
Secara implisit, sebenarnya makna upacara adat ‘ka uwi mengandung nilai yang ditujukan kepada kaum pria agar selalu setia kepada pasangannya. Nilai yang terkandung dalam uapacara adat ini sebenarnya mau mengajak kaum pria agar selalu menghargai kesamaan derajat antara wanita dan pria.
Nilai tersebut juga sebenarnya sudah terkandung dalam sila Pancasila yang ke-2, yaitu Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, warna kulit, kedudukan sosial, dan lainnya. Mengingat yang sering terjadi di negara Indonesia ini ialah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kaum pria kepada wanita.
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya terjadi karena kaum pria tidak sungguh menyadari secara baik apa arti dari suatu hubungan yang harmonis dan pentingnya menyadari kesamaan derajat itu. Kesatuan yang telah dibangun melalui upacara adat ‘ka uwi mesti dijaga sampai maut memisahkan.
Seorang pria dan wanita sebaiknya selalu saling melayani dalam untung atau malang, bukan saja dalam melakukan hubungan seks, tapi juga dalam setiap aspek kehidupan yang mereka jalani. Kaum pria dan wanita (terlebih khusus kaum pria) harus selalu menyadari bahwa untuk sampai pada upacara adat ‘ka uwi (upacara yang dilakukan untuk meresmikan seorang pria dan wanita melakukan hubungan seks), bukanlah suatu perjalanan yang sangat mudah.
Seorang pria harus melewati banyak proses upacara adat yang dilakukan (dalam adat masyarakat Ende Lio). Selain itu upacara adat ‘ka uwi juga mengandung nilai kerakyatan dalam sila Pancasila yang ke-4.
Sebelum melangsungkan upacara adat tersebut, para mosarhaki selalu mengutamakan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan suatu tradisi adat atau hal lainnya. Musyawarah dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertemukan pendapat yang berbeda sehingga dapat diperoleh pendapat yang terbaik.
Dengan musyawarah, pemecahan masalah menjadi ringan karena melibatkan pendapat-pendapat dari banyak orang untuk mencari solusi masalah tersebut.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira- Kupang (Seminari Tinggi Santo Mikhael-penfui).