Oleh: Alfaro Manhitu
Noemuti merupakan sebuah wilayah kecil yang letaknya di pedalaman Pulau Timor dalam wilayah etnis “Atoin Meto”. Noemuti adalah wilayah yang pernah dijajah dan diduduki oleh dua bangsa besar Eropa: Portugis dan Belanda.
Noemuti lebih dahulu dijajah dan diduduki oleh Bangsa Portugis yang datang bersama para Misionaris Dominikan untuk menyebarkan agama Kristen Katolik. Yang pada akhirnya Bangsa Portugis meninggalkan sebuah tradisi besar yang sampai saat ini masih melekat dan terus dilestarikan oleh semua “Kanaf” atau marga yang mendiami wilayah Noemuti (Kote).
Tradisi tersebut dikenal dengan nama Kure’. Setelah Bangsa Portugis, penjajahan dilanjutkan Bangsa Belanda yang datang dengan maksud dan tujuan yang sama. Bangsa Belanda tidak hanya menjajah dan menduduki wilayah Noemuti, tetapi mereka juga menyebarkan agama Kristen Protestan.
Usaha Bangsa Belanda dalam penyebaran agama di Noemuti tak dapat membendung semangat iman keKatolikan orang Noemuti, yang telah lebih dahulu ditanamkan oleh Bangsa Portugis.
Tradisi Kure’ di Noemuti (Kote), merupakan milik segenap penduduk Noemuti. Tradisi Kure’ adalah sebuah paduan (campuran) yang baru antara tradisi sosial religius dan juga kerohanian sederhana dan lama (Noemuti lama), dengan tradisi sosial religius dan juga kerohanian masyarakat modern (Noemuti Baru).
Tradisi ini biasanya dilakukan dengan berdoa dan bernyanyi dari satu rumah adat ke rumah adat lainnya yang berada di Noemuti (Kote) khususnya. Kure’ diadakan pada saat Tri Hari Suci ( Paskah).
Adat kebiasaan Kure’ merupakan sebuah pengungkapan serta keterbukaan masyarakat Noemuti secara aktif dan sadar dari kaum awam, terutama para Pemuka Adat setempat sebagai tokoh-tokoh panutan umat beriman sekaligus mereka juga adalah mitra kerja para misionaris di Noemuti.
Tradisi Kure’ merupakan kegiatan dari, oleh dan untuk umat Noemuti yang masih sederhana dalam hal pemahaman iman. Namun, di balik keugaharian tersebut telah tertanam kokoh kuat semangat beriman yang penuh akan segala kesungguhan dan kesanggupan.
Namun sayangnya, seiring berjalannya waktu dan juga masa kini yang terus mengalami perubahan dan perkembangan, kegiatan atau adat kebiasaan/tradisi Kure’ ini yang telah dikenal luas tidak terperhatikan dengan baik oleh pemerintah yang dalam hal ini lebih pada pemerintah Kabupaten TTU yang notabene banyak juga yang berasal etnis “Atoin Meto”.
Lebih mirisnya lagi, “Kanaf” atau marga yang mendiami dan menduduki wilayah Noemuti itu sendiri, bahkan hampir lupa akan tradisi yang telah berjalan dan berlangsung sejak penjajahan Bangsa Portugis ini.
Penduduk Noemuti tidak lagi mampu memelihara tradisinya sendiri, sehingga lambat laun bukan tidak mungkin kebudayaan Noemuti ini pun sirna di bumi nusantara ini dan hanya tinggal kenangan.
Bahkan sekarang ini, kegiatan Kure’ hanya diikuti oleh segelintir orang saja seakan-akan kegiatan Kure’ sudah tak memiliki tempat lagi di hati orang-orang Noemuti. Sungguh sedih dan kasihan melihat hal ini.
Dengan demikian, perlu direstorasi agar tradisi Kure’ tetap terpelihara, terjaga dan dilestarikan sebagai bagian penting dari identitas diri penduduk Noemuti.
Oleh karena itu, kepada pemerintah Kabupaten TTU, para Pemuka Adat Noemuti (Tua adat), para Rohaniwan Noemuti, dan kepada segenap penduduk Noemuti agar peka melihat problem semacam ini.
Bagaimana mungkin adat kebiasaan daerah sendiri tak terpelihara dan terjaga. Maka, perlu diadakan sosialisasi tentang penanaman kembali rasa kesadaran akan keberadaan Kure’ ini sebagai indentitas diri orang Noemuti.
Dan, perlu diterapkan juga suatu sistem di mana setiap penduduk Noemuti, baik orang tua maupun anak muda dan remaja wajib hukumnya mempelajari tradisi Kure’ ini dari sejarahnya hingga pada pelaksanaan dan penghayatannya di dalam rutinitas.
Hal semacam ini tak boleh dipandang sepele. Sebagai orang Noemuti (Atoin Meto), atau setiap “Kanaf” (marga) di Noemuti perlu bertindak menggunakan akal sehat dan kritis dalam menanggapi problem ini dalam usaha pengendalian dan juga pelestarian tradisi Kure’.
Marilah kita bersama-sama memberikan “sedikit” tempat dalam diri kepada adat istiadat kebiasaan kita yakni tradisi Kure’ agar kegiatan atau adat kebiasaa/tradisi Kure’ ini tak punah dimakan waktu dan juga usia tetapi harus tetap dijaga, dipelihara dan dilestarikan sehingga tetap eksis sepanjang masa.