Ruteng, Vox NTT- Kata-kata Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat soal kasus perdagangan orang atau human trafficking masih membekas.
Saat pidato perdana di Gedung DPRD NTT, pada Senin, 10 September 2018 lalu, Viktor mengancam akan mematahkan kaki para pelaku human trafficking.
Menurut Viktor kala itu, kasus perdagangan orang telah membuat NTT sebagai daerah darurat kemanusiaan dan sangat meresahkan.
“Saya minta aparat keamanan untuk patahkan kaki para pelaku perdagangan orang dan berikan ke gubernur. Nanti gubernur yang kasih uang,” kata Viktor dilansir Liputan6. Com.
Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan HAM Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa, menegaskan ancaman Gubernur Viktor tersebut belum manjur, terutama dalam memusnakan kasus Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT.
Bahkan selama kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A. Nae Soi (Viktor-Jos) ada ratusan jenazah PMI yang dikirim ke NTT.
Gabriel merincikan, peti mati PMI yang dikirim ke NTT selama kepemimpinan Viktor-Jos masing-masing, tahun 2018 ada 105, tahun 2019 ada 119, tahun 2020 ada 87, dan tahun 2021 ada 121.
“Dari 121 jenazah PMI tahun 2021 yang Prosedural hanya satu (1) orang saja sisanya non prosedural yang rentan human trafficking. Januari 2022 jenazah yang balik satu (1) jenazah dari Malaysia ke TTU,” ujar Gabriel kepada VoxNtt.com, Minggu (09/01/2022) malam.
Gabriel menilai janji moratorium pengiriman PMI oleh Gubernur NTT belum menunjukkan keseriusan.
“Tidak serius mempersiapkan CPMI (Calon Pekerja Migran Indonesia) lewat BLK PMI dan LTSA PMI (Layanan Terpadu Satu Atap Pekerja Migran Indonesia) sama saja terjadi pembiaran PMI ilegal rentan human trafficking asal NTT,” tegasnya.
Kondisi demikian menurut dia, merupakan pelanggaran HAM. Sebab, Pemerintah Provinsi NTT dan kabupaten/kota dengan sengaja melakukan pembiaran tanpa perlindungan terhadap CPMI mulai dari persiapan kompetensi dan kapasitas lewat BLK PMI dan diurus resmi melalui LTSA sesuai amanat UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI.
Hingga saat ini pun BLK PMI di NTT yang memenuhi standar nasional dan internasional belum ada.
Kemudian di NTT sendiri, lanjut Gabriel, sudah ada empat (4) LTSA. Keempatnya sudah dibangun di Maumere, Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Sumba Barat Daya.
“Namun apakah LTSA ini sudah dioptimalkan atau dibiarkan terbengkalai,” imbuh Gabriel.
Di sisi lain, Presiden RI sudah mengeluarkan Perpres Nomor 22 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Pertanyaannya apakah di Provinsi NTT dan kabupaten/kota se-NTT sudah dibentuk atau masah bodoh, fokus proyek-proyek yang ada uangnya?” tukas Gabriel.
PMI asal Belu Masih Dicari
Gabriel menambahkan, sudah delapan (8) bulan lamanya PMI NTT asal Belu bernama Petrus Crisologus Tunabenani belum diketahui keberadaannya.
Pria berumur 27 tahun itu masih dicari di Perairan Mauritius, Samudera Hindia, Afrika Selatan, oleh pihak Kemenlu RI, Direktorat Perlindungan WNI, dan lembaga Bantuan Hukum Indonesia (BHI).
Informasi yang dihimpun Gabriel dari anggota keluarga korban Gabriel Ulu Tunabenani menyebutkan, selain Petrus ada enam (6) anak buah kapal (ABK) asal Indonesia juga hilang di Perairan Mauritus sejak 26 Februari 2021 lalu.
Keenamnya antara lain, Rudi Herdiana (33), Dadan (27), Klaudius Ukat (24), Galih Candra Kusuma (25), Muhammad Jafar, dan Anton Pradana.
Kejadian tersebut berawal dari adanya keributan antara ABK Vietnam bersama mandor dan kapten kapal dengan 7 ABK asal Indonesia di kapal ikan WeiFa.
Saat itu, kapal ikan WeiFa sedang bersandar di area Pelabuhan Port Louis Mauritius. Akibat keributan tersebut PMI asal Belu NTT terkena bacokan di wajahnya.
“Setelah tanggal 26 itu kami hilang kontak hingga tanggal 3 Maret kami memperoleh informasi dari teman-teman ABK di kapal lain, bahwa anak kami dan 6 ABK lainnya telah hilang kontak hingga kini,” kata Gabriel meniru pengakuan Gabriel Ulu Tunabenani yang merupakan warga asal RT/RW: 007/003, Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu itu.
“Kejadian ini awalnya dikatakan bahwa kapal tempat karja keenam ABK yang awalnya bersandar kemudian tiba-tiba dibawa lagi ke tengah laut dengan keadaan sedang terjadinya keributan di antara para ABK,” lanjut dia, masih meniru pengakuan Tunabenani.
Keluarga menurut Gabriel, hanya ingin mengetahui keberdaan korban, sebab sudah 9 bulan belum ada kabar yang pasti.
Korban sebenarnya sudah selesai masa kontrak kerja pada 28 Februari 2021. Artinya, dua hari setelah terjadi keributan korban harus sudah kembali ke Indonesia.
“Jadi, yang menjadi pertanyaan keluarga mengapa kapal tersebut dibawa lagi ke tengah laut, apakah ada perencanaan pembunuhan terhadap para ABK ini?” tegas Gabriel kembali meniru Tunabenani.
Penulis: Ardy Abba