Oleh: Fancy Ballo
Aku baru menyadarinya kalau malam ini aku hanya seorang diri. Sendiri lagi untuk sekian kalinya. Aku tidak melihat senyum dan tawa semua keluargaku pada hari Natal.
Ucapan Selamat Natal, pelukan, dan kecupan bahagia dari suara-suara dan orang-orang yang menemaniku sejak kecil kini terasa jauh di dasar hati yang sepi terjerat rindu.
“Marry Christmas”.
Seperti biasa yang kusapa adalahpohon Natal yang bisu dan bayi Yesus yang berbaring menggemaskan dalam palungan.
Sejenak kuterdiam menatap bayi Suci mungil itu, “Yesus, Sampaikan Selamat Natal untuk mama, papa, dan semua keluargaku.”
Aku meletakkan kedua lututku di depan rumah kanak-kanak Yesus. Persis seperti yang biasa dilakukan mama bersamaku dulu.
Saat semua orang telah meninggalkan Gereja mama selalu mengajakku untuk sebentar mengunjungi bayi Yesus dan berdoa di sana. Papa dan kedua saudariku sibuk bersalaman dengan orang-orang di halaman depan Gereja.
Aku mengatupkan tanganku di dada dan kututup mataku sejenak untuk meninggalkan duniaku yang bising. Hembusan lembut angin malam yang menyusup masuk dari pori-pori bangunan Gereja membawaku pada sebuah kenangan terakhirku merayakan Natal bersama mama dan keluarga sebelum kumeninggalkan mereka dan masuk ke sebuah Sekolah Seminari Menengah.
“Mama takut dengan dunia yang akan kau tinggal”.
Mama mendekapku seperti biasa kalau kami sudah selesai berdoa dan tepat saat itu pesan ini menggema di telingaku.
Usiaku waktu itu 6 tahun. Meskipun nuraniku belum begitu mampu untuk mencerna kata-kata itu namun memoriku takan usang tuk menggoresnya dalam ingatan hingga saat ini.
Natal waktu itu memang sungguh berbeda disamping hiruk pikuk dan keramaian ledakan mercon yang mewarnai langit cakrawala Natal.
Waktu itu juga Natal dibarengi perasaan resah dan cemas akibat teror ledakan bom di beberapa Gereja di bumi pertiwi ini. Bahkan Natal kami saat itu seperti saat sedang melakukan upacara besar kenegaraan yang dikawal dengan beberapa kelompok pasukan keamanan bersenjata.
“Situasi Natal tak lagi sedamai dan setenang dahulu pada jaman mama. Kini dunia sudah berubah nak. Dunia tidak sebodoh dahulu. Kita tidak bisa lagi memberi senyum sebebasnya kepada semua orang. Dunia telah berbalik, kamu akan menjumpai orang-orang berwajah bengis memasuki kampung kita dan merampok semua kedamaian yang kita miliki. Kamu harus kuat nak.”
Pesan-pesan itu hingga kini selalu kembali terngiang dalam benakku bila aroma Natal kembali menghiasi Desember.
Mamaku seorang yang lembut, penyayang tapi tak pernah tawar menawar ketegasnnya. Mama bersama ayah yang sangat sosialis mendidik kami dalam irama kedisiplinan yang tinggi. Semangat juang dan kerja keras. Juga satu yang tak pernah kulupakan ialah harus selalu peduli terhadap sesama dan yang lainnya.
Kekayaan yang ditanamkan sejak kecil dalam keluargaku ini hingga kini memudahkanku tuk melangkah maju dalam proses pendidikanku di perguruan tinggi.
Aku merindukan mama dan kedua saudariku yang selalu kurindukan sapaan pagi mereka sebelum aku keluar dari selimut pacar malamku di atas ranjang. Papa telah meninggalkan kami semua saat aku mulai memasuki Sekolah Menengah Atas.
Aku tidak mengisahkan bagaimana ayah meninggalkan kami, sebab dunia pun tidak pernah bertanya kenapa ayahku sosok sosialis yang tak pernah mundur menentang ketidakadilan itu harus mati dalam sebuah kecelakaan yang direkayasa dan tak masuk akal itu.
Darah itu masih mengalir dan basah pada tangan bejat yang menulis skenario drama pengambilan paksa kehidupan ayahku.
“Ayah jagalah mama dan kami semua. Doamu dan doa kami akan selalu satu dalam pengharapan yang sama. Mengharapkan dunia kita akan lebih baik. Terimakasih ayah untuk jejakmu yang terlukis di hati ini.”
Aku merindukan kalian semua. “Marry Christmas.”
Aku terjaga dari kebersamaanku bersama bayi Natal dalam doa saat tetesan air mata menetes hingga ke ujung bibirku. Situasi di sekitar Gereja telah sunyi. Tempat yang kutinggal kini memang jauh dari keramaian kota ataupun perumahan penduduk karena itu pekikan kembang api dan mercon yang membakar langit untuk memeriahkan Natal malam itu tak pernah ada.
Aku tak tahu apakah itu merupakan perayaan yang tepat menyambut Natal. Sebuah ketakutan kalau mereka hanya mengagungkan keindahan kembang-kembang yang dibeli mahal itu. Indah sesaat lalu lenyap. Anak-anak, orang muda, bahkan orang tua pasti akan sibuk berlomba-lomba menunjukkan keindahan kembang api mereka masing-masing di atas langit.
Keindahannya juga diukur dari seberapa mahal kita mendapatkannya dari toko kembang-kembang itu dijual. Semakin tinggi harga sebuah mercon atau kembang api maka semakin indah pula sajian percikan apinya di atas ketinggian langit.
Adakah waktu itu adalah saat yang tepat untuk duduk sharing bersama keluarga. Membagikan suka cita iman Natal yang kita alami terhadap anak-anak. Tidakkah saat itu mereka punya waktu untuk duduk bersama Maria dan Yusuf menjaga bayi Yesus dan berdoa.
Tidakkah mereka tahu kalau banyak orang Kristen yang tidak merayakan Natal malam ini oleh karena berbagai bencana dan masalah sosial yang merenggut kebebasan mereka.
Sebuah kecemasan kalau sikap seperti ini membawa kita kepada cara hidup hedonisme. Terlalu mementingkan ritus-ritus duniawi yang menyenangkan dan mengabaikan hal esensi dari Natal itu sendiri.
Yesus lahir di sebuah Kandang Domba yang hina. Kandang ialah simbol situasi dunia kehidupan manusia yang kotor oleh ketidakadilan dan berbagai kejahatan.
Bukankah momen Natal ialah momen kita saling berbagi. Mengunjugi Panti Asuhan, orang-orang cacat, dan sesama kita yang menderita.
Tidakkah belanja mercon bisa kita sisipkan untuk menolong seorang bayi yang sedang dioperasi pasca melahirkan di sebuah Rumah Sakit.
Apakah arti sebuah Natal untuk kita kalau kita tidak mampu ada bersama orang-orang yang kurang beruntung dan menderita di sekitar kita. Merekalah kandang yang perlu kita kunjung.
Mungkin inilah yang terkubur dalam pesan mama saat itu. Aku akan menghadapi duniaku yang berbeda.
Orang bisa saja bersukaria dan tertawa diatas penderitaan orang lain dan bahkan atas dirinya sendiri. Orang tidak akan peduli lagi dengan hidup atau pun nasihat klasik Kitab Suci tentang Hukum Cinta Kasih itu.
“Terima kasih mama untuk petuah ini.”
Aku menyusuri lorong menuju kamarku sembari kuucapkan selamat Natal pada setiap orang dan setiap nama yang silih berganti menyapa benak dan menyentuh jiwaku.
“Terima kasih mama, papa, kedua saudariku.
Selamat Natal untukmu semua.”
Aku tiba di kamarku.
Sayup-sayup mataku disapu hembusan lembut dingin udara malam. Malam kian larut aku lenyap dalam balutan dewi malam di atas ranjangku.