Oleh: Akri Suhardi (Anggota KMK Ledalero-Unit Yosef)
Pertumbuhan dan perkembangan budaya literasi di Indonesia sejauh ini sungguh memperihatinkan. Menurut UNESCO tahun 2016, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, hanya 0,001%.
Artinya dari 1000 (seribu) orang masyarakat Indonesia, Cuma satu (1) orang yang rajin membaca. Belum lagi Indonesia menempati rangking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah (Https://perpustakaan.kemendagri.go.id, diakses, 10 Desember 2021).
Situasi ini dapat menurunkan daya saing intelektual masyarakat Indonesia. Juga pargadima masyarakat dalam berpikir kritis menjadi rendah.
Penurunan ranking literasi Masyarakat Indonesia juga tidak terlepas dari negara dengan penggunaan gadget terbesar di dunia. Mengutip kominfo (2017); 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget.
Dengan jumlah ini, Indonesia menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Tingginya pengguna gadget mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia. Hal ini mengiring paradigma masyarakat dalam era post–truth.
Era post-truth menggambarkan keadaan fakta-fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam penentuan opini publik dibandingkan dengan emosi pribadi.
Oleh karana itu, yang dicari bukan lagi kebenaran dan fakta tetapi konfirmasi atau dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.
Singkatnya sebuah kebenaran terlahir ketika mendapat dukungan atau pengakuan dari banyak orang.
Masing-masing masyarakat berusaha mengklaim kebenaran privat demi mendapat pengakuan dari masyarakat luas.
Di sini kebenaran yang dirumuskan secara logis tersebut memungkinkan masyarakat menjadi percaya. Padahal yang logis itu belum tentu benar.
Membaca realitas literasi masyarkat Indonesia yang rendah, penulis melihat akar rumput persoalan adalah kurangnya ruang baca bagi masyarakat.
Jangkauan akses buku dari masyarakat sangat jauh. Semisal, seorang masyarakat desa dapat membaca buku jika dia masuk perpustakaan buku di daerah perkotaan atau membeli buku di toko buku.
Demikian juga yang terjadi pada masyarakat kota yang sering kali mengalami kesulitan dalam memperolah buku di perpusatakan daerah.
Alasannya, persediaan buku kurang, sedangkan jumlah masyarakat pembaca banyak. Fasilitas yang kurang terjangkau ini menyebabkan gadget menjadi solusi dalam mengakses pengetahuan. Hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi candu gadget.
Menyikapi persoalan rendahnya budaya literasi masyarakat Indonesia, penulis menganjurkan agar di setiap desa wajib memiliki perpustakaan desa. Hal ini sejalan dengan program yang dilaksanakan oleh presiden Jokowi; membangaun dari desa.
Pengadaan perpustakaan di setiap desa hemat penulis sangat efisien dan efektif. Efisiensi dari segi jangkauan masyarakat.
Bhawa semua masyarakat baik yang terpinggirkan maupun yang tidak terpinggirkan, dapat membaca buku di perpustakan desa yang mereka miliki.
Kemudian nilai efektivitasnya tampak pada peningkatan pengetahuan masyarakat dan pendongkrakan minat literasi masyarakat.
Dengan demikian, ketika semua masyarakat terjun ke daerah lain, masyarakat mampu berkompetisi secara intelektual. Hal penting yang juga diharapkan adalah pola berpikir kritis masyarakat semakin tajam.
Pembangunan atau pengadaan perpustakan desa dapat terealisasi dengan memanfaatkan dana desa secara optimal.
Artinya pada saat desa mengadakan musyawarah perencanaan pembanguanan desa (Musrenbangdes) wajib mengalokasikan dana desa untuk pembangunan perpustakaan desa.
Pembangunan perpusataakan desa hemat penulis menjawabi tujuan pembangunan desa, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014; pembangunan dana desa bertujuan meningkatkan kesejaterahan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serata penanggulangan kemisikinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembanguan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam, dan lingkungan secara berkelanjutaan.
Sejatinya tujuan pembangunan desa pada akhirnya adalah untuk kesejetrahan mayarakat. Juga bertujuan membangun negara.
Oleh karena itu, akar rumput persoalan yang perlu dibenahi adalah membangun manusia atau masyarakat. Membanguan manusia atau masyarakat dengan meningkatkan daya intelektual.
Peningkatan intelektual masyarakat dapat dibentuk melalui pola hidup literasi. Dengan berliterasi masyarakat berwawasan pengetahuan luas.
Hal ini mengamini uangkapan Alberta (2009); litarasi itu dapat meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan keterampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Penigkatan kualitas intelektual masyarakat lewat sarana perpustakaan desa bertujuan untuk kebaikan bersama (bonum commune).
Gerakan pengembangan dan peningkatan budaya literasi dari desa menjadi gerakan literasi praktis dan sederhana.
Sebab meningkatkan budaya literasi masyarakat desa juga meningkatkan budaya literasi seluruh masyarakat Indonesia. Banyangkan saja jika semua desa di seluruh Indonesia memiliki perpustakaan desa, maka tentu budaya literasi dapat kembali hidup.
Oleh karena itu, antara kementrian pendidikan dan pemerintah desa se-Indonesia perlu melakukan kerja sama yang baik. Kerja sama yang baik harus melalui komunikasi yang baik pula. Maka tujuan membangkitkan literasi masyarakat Indonesia tercapai.