Oleh: P. Avent Saur, SVD
Pendiri Kelompok Kasih Insanis, Peduli Sehat Jiwa NTT
Adalah seorang Bapak di Ende, Pulau Flores, bergabung dalam sebuah wadah kelompok doa. Beliau bercerita banyak tentang kelompok itu.
Anggota organisasi ini tersebar di seantero daratan Flores dan Lembata. Mungkin juga di pulau-pulau lain di NTT atau bahkan di Indonesia.
Mereka, termasuk Bapak ini, sering kali mempraktikkan pengusiran setan. Semua sakit, apalagi sakit dengan ciri-ciri gangguan berpikir, gangguan perasaan, gangguan tingkat laku, dan gangguan sisi tilik terhadap realitas, lebih mudah mereka diagnosis bahwa si sakit sedang kerasukan setan.
Hal pertama yang mereka lakukan di hadapan si sakit adalah menghardik, membentak, lalu menahan napas, mengeluarkan sedemikian rupa urat-urat tangan, lengan, leher, pelipis, dan urat betis.
Dengan jari ibu, pendoa menekan dahi si sakit sekuat tenaga. Kalau si sakit belum lemas, pendoa menggunakan barang rohani terbuat dari baja, lalu menindih ke dahi si sakit.
Ketika si sakit lemas, pendoa mulai berdialog, misalnya; “Kau siapa?” pertanyaan pertama si pendoa.
“Saya Marko Potipoti Wolowolo,” jawaban pertama si setan dalam diri si sakit.
“Kenapa kau masuk ke orang ini?” pertanyaan kedua si pendoa.
“Karena dia pintar, lalu olok-olok anak saya,” jawaban kedua si setan dalam diri si sakit.
Tindakan berikutnya adalah mengusir setan itu agar segera keluar dari si sakit. Pengusiran dilakukan dengan pelbagai cara: menempeleng, meninju, menyirami wajah si sakit dengan air yang sudah didoakan, dan lain-lain.
Sering kali, pada lain waktu berikutnya, setan masuk lagi ke dalam diri si sakit. Pengusiran dengan cara yang sama dilakukan lagi. Setan yang kembali merasuki diri orang tersebut adalah setan dengan nama yang sama atau juga setan dengan nama yang berbeda yakni setan bernama dan berpribadikan orang nyata yang kita kenal atau juga orang yang kita tidak kenal (manusia seperti kita yang sedang berziarah di dunia fana ini).
Entah sudah berapa orang sakit yang dari padanya setan diusir oleh si Bapak tadi tak terhitung jumlahnya. Entah berapa setan yang ia usir, juga tak terhitung banyaknya.
*Pendoa Sakit, Setan Disalahkan*
Suatu ketika, si Bapak itu mengalami sakit. Sakitnya agak aneh. Ia murung, sering termenung. Tatapannya hampa. Wajahnya muram. Seram, bahkan.
Ia mengurung diri di kamar. Nafsu makan menurun. Semangat merawat diri juga menurun: tak mau mandi, dibujuk berulang-ulang oleh istri dan anaknya juga tak mempan.
Pakaiannya tak ingin ia ganti. Kemomos. Jadinya, kamar yang ia gunakan, sangat kotor dan pengap. Ia keluar dari kamar tidur hanya jika hendak buang air besar, sedangkan air kecil ia buang saja di dalam kamar itu. Ia tak mau seorang pun membersihkan kamarnya.
Sepekan kemudian, ia bicara sendiri. Suaranya pelan, lembut, tetapi tak keruan.
Mendengar kabar Bapak ini, kawan-kawan organisasinya berdatangan, menjenguk, dan mendoakan. Mereka sangat yakin, bahkan sangat tahu bahwa Bapak ini kerasukan setan.
Praktik-praktik pengusiran setan pun mereka lakukan. Seorang demi seorang, mereka bergilir melakukan praktik pengusiran setan. Bapak ini sesekali menjawab pertanyaan mereka, lebih banyak diam saja.
Karena kawan-kawan yang datang pertama kali merasa tak mampu mengusir setan dalam diri si Bapak, pada kali berikutnya, kawan-kawan lain yang terbilang bertenaga lebih kuat dan lebih ampuh juga berdatangan. Mereka mengerahkan semua kekuatan dan berjuang mengusir setan yang diyakini menguasai diri si Bapak.
Namun sekuat-kuatnya tenaga mereka, setan tak kunjung meninggalkan si Bapak.
Mereka sangat yakin dan sangat tahu bahwa di dalam diri si Bapak ada sekian banyak setan. Mereka sangat yakin dan sangat tahu bahwa setan-setan itu adalah setan-setan yang dahulu pernah diusir oleh si Bapak dari sekian banyak orang sakit. Kini setan-setan itu menyerang si Bapak.
Tiga pekan kemudian, keadaan si Bapak makin memburuk. Ia bukan cuma murung dan mengurung diri. Bukan cuma tak merawat diri dan berbicara sendiri. Si Bapak kemudian berbicara lebih keras. Ia sering berteriak-teriak lantaran merasa takut terhadap orang-orang di sekitar.
Bukan cuma takut pada orang-orang di sekitar, melainkan juga si Bapak merasa bahwa sekian banyak orang mencurigai dirinya melakukan hal-hal buruk, bahkan kejahatan-kejahatan.
Misalnya, ketika tetangganya meninggal atau ketika ia mendengar ada orang yang meninggal di Kota Ende, si Bapak merasa bahwa sekian banyak orang mencurigai bahwa dirinyalah yang menyebabkan orang-orang itu meninggal. Perasaan bersalahnya makin kuat. Perasaan bahwa dirinya kurang berguna itu makin menguasai dirinya.
Bahkan ketika anjing menggonggong tengah malam, si Bapak merasa bahwa orang-orang di sekitar mencurigai bahwa dirinyalah yang menyebabkan anjing-anjing itu menggonggong.
Atau ketika anak-anak muda bermain judi di lorong kompleksnya, ia merasa bahwa orang-orang di sekitar mencurigai bahwa dirinyalah yang menyuruh anak-anak muda itu bermain judi.
Atau ketika anaknya sakit flu, si Bapak merasa bahwa orang-orang di sekitar mencurigai bahwa dirinyalah yang menyebabkan anaknya sakit flu.
Sebulan lebih kemudian, kawan-kawan organisasi pendoa itu datang lagi. Mereka melakukan praktik doa yang kurang lebih sama dengan praktik sebelumnya.
Karena mereka merasa tak mampu mengusir setan-setan yang merasuki diri si Bapak, maka mereka sangat yakin dan sangat tahu bahwa setan-setan yang merasuki si Bapak adalah setan-setan yang dikirim oleh orang-orang yang masih hidup, bukan oleh orang-orang yang sudah meninggal.
Mereka merasa tak mampu. Tenaga mereka tak cukup kuat.
*Pendoa, Tuhan, dan Setan*
Istri dari Bapak inilah yang menceritakan semuanya ini kepada saya ketika si Bapak sudah menjalani sakit selama kurang lebih tiga bulan. Anggota keluarga mereka yang bukan pendoalah yang menyarankan istri dari si Bapak ini untuk berkonsultasi dengan saya.
Ketika istrinya menceritakan tentang pendoa yang tak mampu lagi mengusir setan-setan dari si Bapak, beberapa pertanyaan fundamental tentang Tuhan pun saya utarakan dengan terang-benderang dan tegas.
Misalnya, apakah mereka mengusir setan dengan kekuatan sendiri atau kekuatan Tuhan? Kalau memakai kekuatan Tuhan, Tuhan yang manakah yang mereka sebut saat melakukan praktik pengusiran setan?
Kekuatan manakah yang kalah di hadapan setan-setan itu, kekuatan para pendoa sendiri atau kekuatan Tuhan? Seberapa besar keyakinan dan iman mereka?
Seberapa besar pengetahuan mereka tentang dunia setan dan dunia sakit? Seberapa besar pengetahuan mereka tentang kerapuhan mental dan kerapuhan tubuh manusia?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu sangatlah retoris. Sebab di hadapan saya bukanlah pendoa, melainkan seorang ibu yang adalah istri dari si Bapak yang sedang mengalami gangguan berpikir, gangguan perasaan, gangguan perilaku, bahkan yang sedang memiliki sisi tilik diri dan sisi tilik realitas yang timpang.
Ada satu pertanyaan sederhana yang saya utarakan buat istrinya. “Apakah Ibu masih percaya pada pendoa?” “Saya tidak percaya,” tuturnya. “Sekalipun suami saya yang kini sedang sakit adalah juga pendoa,” lanjutnya.
Katanya lagi, “sejak awal ia mengikuti kelompok doa, saya kurang percaya. Ya itu sangat pribadi. Apalagi dia laki-laki, sulit mendengarkan saya, bahkan mengumpat saya saat dia aktif mengikuti kelompok doa.”
*Edukasi Kesehatan Jiwa*
Saat itu, seadanya, saya tegaskan bahwa si Bapak diduga mengalami gangguan jiwa. Lalu saya jelaskan apa itu gangguan jiwa? Apa stigma sosial tentang gangguan jiwa dan tentang orang yang menderita gangguan jiwa? Bagaimana mengatasi gangguan jiwa? Apa itu doa? Apa itu pendoa? Dan sebagainya.
Selanjutnya, saya menghubungkan istrinya dengan perawat dan dokter, kemudian istrinya mengakses layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan.
Kemudian si Bapak mengonsumsi obat, rutin, lalu perlahan-lahan membaik, hingga merengkuh titik pulih, dan hingga kini kembali beraktivitas produktif untuk menghidupi rumah tangga.
Ia tidak lagi murung, tidak lagi mengurung diri di kamar. Nafsu makannya kembali ke semula, kembali mandi, dan berpakaian bersih.
Ia kembali mengizinkan istri dan anaknya membersihkan kamar tidurnya, kembali nongkrong di lopo depan rumahnya, kembali membersihkan lingkungan sekitar rumah.
Ia juga kembali mengolah tanah di sekitar rumah, selanjutnya kembali menanam sayur-sayuran dan pelbagai jenis bunga seperti sediakala.
Perasaan bersalahnya mulai berkurang. Kecurigaan pada orang-orang di sekitar berkurang bahkan hilang.
Kejadian buruk apa pun di sekitar rumah atau berita-berita kematian di Kota Ende yang hampir setiap hari ia dengar dari masjid-masjid tidak lagi mengalamatkan penyebabnya pada dirinya. Ia merespons semuanya seperti sedia kala. Sisi tilik pada diri dan pada realitas kembali berada pada garis wajar.
*Pendoa Bertobat, Mungkinkah?*
Suatu kesempatan, untuk ke sekian kalinya, saya menyambangi rumahnya. Kami bersendagurau dan obrol seadanya. Ada beberapa pertanyaan kunci yang saya utarakan kepadanya.
“Apakah Anda masih percaya pada kelompok doa yang pernah Anda ikuti?”
“Saya tidak percaya!”
“Apakah Anda tidak percaya pada kelompok dia itu lantaran Anda sedang berhadapan dengan saya?”
“Tidak ah….!”
“Apakah yang Anda pernah usir dari sekian banyak orang sakit dahulu adalah benar-benar setan?”
“Saat bergabung pada kelompok doa itu, kami diajarkan bahwa semua sakit yang dialami manusia disebabkan oleh setan. Maka berhadapan dengan orang sakit, kami lakukan praktik pengusiran setan. Entah itu benar-benar setan atau tidak, kami usir saja.”
“Apakah Anda yakin bahwa Anda kerasukan setan saat mengalami sakit selama tiga bulan?”
“Setelah dengar penjelasan tentang apa itu gangguan jiwa, kesehatan jiwa, kerapuhan tubuh, dan kerapuhan mental, juga setelah mendengar tentang apa itu doa, apa itu iman, apa itu Tuhan, apa itu umat beriman, saya pun jadi tahu bahwa saya gangguan jiwa.”
“Apakah Anda masih ingin kembali bergabung dengan kelompok doa itu?”
“Tidak! Saya bertobat. Padahal yang saya dan kawan-kawan lakukan selama ini ternyata salah.”
“Kekuatan apakah yang Anda dan kawan-kawan pakai saat mengusir setan?”
“Kami memang berdoa. Tetapi saat mengusir setan, kami gunakan kekuatan tenaga dalam yang telah kami olah saat pelatihan. Maka saat usir setan, kami tahan napas dalam-dalam dan kumpulkan tenaga sekuat-kuatnya sampai memamah gigi supaya saat melepaskannya, tenaga itu menjadi sangat kuat.”
“Anda Katolik, apakah rajin menerima sakramen ekaristi pada hari Minggu?”
“Saya terima sakramen ekaristi setiap hari Minggu tetapi terus terang saja bahwa sejak saya ikuti kelompok doa itu, saya kurang rasakan kekuatan dari sakramen ekaristi. Saya merasa bahwa doa saya lebih kuat dan lebih berfaedah daripada doa-doa yang diucapkan imam dalam perayaan ekaristi.”
“Apakah Anda merasa bersalah akan hal itu?”
“Sekarang baru saya sadar bahwa selama ini ternyata saya berjalan salah. Saya bertobat.”
Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban ini terkesan serius dan fundamental, tetapi saat dialog itu, kami ciptakan suasana santai dan menyenangkan sambil menghabiskan kopi segelas besar dan rokok beberapa batang.
Nah ketika seorang pendoa bertobat, apakah itu mungkin? Ya mungkin. Jika Tuhan menghendakinya, seekor unta masuk lubang jarum pun terbilang sangat mudah, kenapa tidak?