(Oleh: Stefan Bandar, Anggota Komunitas Biara Rogasionis, Maumere)
Angin berhembus perlahan. Mentari yang sedari tadi bersembunyi di balik gemunung yang tinggi menjulang kini mulai menunjukkan dirinya. Panasnya belum seberapa. Sementara itu embun yang masih menempel pada dedaunan mulai menghilang. Rupanya mentari tak merestui mereka untuk bercumbu bersama lebih lama lagi.
Pandangannya lurus ke depan. Menyaksikan bunga-bungan yang sedang bermekaran bersama beberapa binatang kecil yang datang mendekatinya. Beberapa saat kemudian tatapannya berputar menuju gunung yang tinggi menjulang jauh di sana. Luar biasa ciptaanMu, Tuhan. Demikian batinnya diikuti dengan senyuman kecil pada wajahnya.
Tiba-tiba saja pikirannya kembali pada kisah puluhan tahun silam. Saat itu, tepatnya pertengahan bulan November tahun 2004, saat pertama kali ia menginjakan kakinya di tempat itu. Ia datang dari sebuah desa yang cukup jauh. Bisa dikatakan dari sebuah kampung pedalaman. Ia datang seorang diri saja dengan semua keyakinan yang ada pada dirinya. Aku harus masuk biara Rogate, demikian sepenggal kalimat yang menggebu di hatinya saat itu.
Tahun itu adalah tahun pertama biara Rogate masuk ke daerah itu. Dan ia adalah salah satu anggota angkatan pertama di dalam biara itu semenjak biara itu masuk ke daerah itu. Ia mulai berkenalan dengan kehidupan yang penuh aturan, berkenalan dengan lingkungan yang baru, dan tentunya berkenalan dengan orang-orang yang datang dari kampung yang bebeda.
Bayangan hari pertama itu masih sangat jelas. Pohon-pohon yang tinggi menjulang, rumput-rumput yang tumbuh di mana-mana, bahkan bisa dikatakan bahwa tempat itu adalah sebuah hutan yang cukup lebat. Dengan seorang imam yang berasal dari Filipina, ia dan teman-temannya mulai membersihkan tempat itu.
Pertama-tama mereka membuka jalan masuk, lalu memotong beberapa pohon yang cukup besar. Ketika senja mulai tiba, mereka melepaskan pekerjaan mereka, beristirahat sejenak, lalu berendam di pantai sembari menanti jam pulang. Begitulah pekerjaan mereka di hari-hari selanjutnya.
Tahun-tahun setelah tahun itu, beberapa keluarga memilih bertempat tinggal di sekitar lahan yang telah mereka bersihkan. Orang-orang itu datang dari daerah yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda pula. Kekeluargaan, itulah yang mereka bangun di tempat itu. Dan seiring berjalannya waktu, tempat itu menjadi sebuah tempat yang cukup ramai.
“Sepertinya Padre sedang memikirkan sesuatu?” sebuah suara tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. “Akh, saya tidak sedang memikirkan apa-apa,” katanya sembari membalikan badan hendak melihat si pemilik suara itu. Sebuah senyuman segera muncul di raut wajahnya. “Kamu datang dari mana, Alfian?” tanyanya. “Saya baru pulang dari rumah tetangga, padre. Antar surat undangan thabisan,” kata pria muda itu yang namanya adalah Alfian.
“Alfian,” katanya dengan nada tertahan setelah menyadari Alfian yang sudah duduk di sampingnya. “Dulu saat pertama kali saya masuk di sini, semuanya ini penuh dengan pohon-pohon besar. Setiap hari kami datang dari kota untuk membersihkan tempat ini. Saat itu kami tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari setelah hari itu keadaan tempat ini akan berubah. Saat itu kami hanya membersihkan saja,”.
“Oh. Jadi sebelum biara ini di bangun, ada banyak pohon besar di sini. Kira-kira berapa banyak jumlah anggota angkatan padre saat itu?” tanya Alfian yang rupanya sudah mulai tertarik dengan cerita yang dibawakan lelaki tua itu. “Saat itu kami berjumlah empat puluh orang. Kami bekerja dengan penuh bahagia. Terkadang canda dan tawa mewarnai setiap pekerjaan yang kami lalui.
Namun dalam perjalanan waktu, beberapa orang memilih mundur. Dan hingga akhirnya tersisah hanya saya saja,” katanya.
Beberapa saat kemudian keduanya memilih diam, sejenak menghirup udara segara yang sedang berhembus perlahan.
“Jika suatu saat nanti engkau diminta untuk pergi ke luar sana, meninggalkan keluargamu, meninggalkan tanah kelahiranmu, meninggalkan sahabatmu, apakah engaku mau?” tanyanya lagi. Alfian terdiam mendengar pertanyaan yang dilontarkan lelaki tua di sampingnya itu. “Cukup berat, padre. Tapi jika memang itu adalah jalan hidup saya, maka saya akan pergi,” jawab Alfian singkat.
Lelaki tua itu berdiri, berjalan beberapa langkah ke depan. Ia berhenti di depan sebuah bunga yang sedang mekar. Ia menatapnya untuk sesaat. Lalu tangannya mematahkan sebuah ranting kecil yang kering dan membuangnya begitu saja ke tanah. Setelah itu ia kembali ke tempat duduknya.
“Engkau tahu, dulu saat pendiri kita st. Annibbale masih hidup, ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang yang kudus. Ia hanya mengerjakan hal-hal yang baik. Suatu hari ia sampai pada kota Avignone, sebuah kota di Italia. Di sana ia menemukan keadaan yang sungguh menyedihkan. Banyak orang kelaparan, banyak terjadi kekerasan, bahkan kehidupan manusia di sana sangat tidak teratur. Namun ia mulai membantu mereka dengan memberi mereka makan. Ia mengajak mereka berdoa, dan,,,”
“Apakah mereka yang berada di sana belum mengenal doa sebelum padre Annibale datang di tempat itu?” tanya Alfian memotong pembicaraan lelaki tua itu.
Lelaki tua itu menghembuskan nafas panjang. Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Ya, mereka belum mengenal doa. Suatu kali padre Annibale bertemu seorang pengemis, Sangkone. Ia bertanya kepadanya. Apakah engkau mengenal Tuhan. Sangkone menjawab, tidak ada yang memberitahukan kepada kami tentang Dia. Maka dari situlah padre Annibbale mulai mengajar mereka tentang Tuhan,” kata lelaki tua itu
“Luar biasa, padre. Tapi bagaimana padre Annibbale memberi makan orang-orang yang ada di sana? Apakah ia memiliki uang yang cukup?” tanya Alfian. Rupanya cerita lelaki tua itu benar-benar menyentuh hati Alfian.
“Padre Annibale meminta kepada orang-orang untuk memberinya roti agar bisa diberikan kepada anak-anak yang kelaparan. Ia berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk dari pintu ke pintu, bukan hanya untuk dirinya tetapi khususnya untuk anak-anak yang dikumpulkannya. Dan,,”
“Jadi, padre Annibale juga mengumpulkan anak-anak?” tanya Alfian yang lagi-lagi memotong pembicaraan lelaki tua itu. “Ya, ia mengumpulkan anak-anak. Ia merawat mereka, memberi mereka makan, memberi mereka pakayan dan memberi mereka kehidupan yang layak. Hingga suatu hari ia merasa bahwa harus ada orang yang membantunya untuk mengajari mereka doa dan memberi mereka kehidupan yang layak,” lelaki tua itu menghentikan pembicaraannya. Untuk beberapa saat keheningan menguasai mereka.
“Kamu tahu Alfian,” kata lelaki tua itu lagi, “Suatu kali padre Annibale duduk di depan sebuah Sakramen kudus selama 42 jam. Apa yang terjadi di sana? Ia menemukan senjata rahasia untuk mendapatkan orang-orang yang mampu membantunya mengajari orang tentang doa dan bisa merayakan ekaristi. Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian agar ia mengirim pekerja untuk tuaian-tuaian itu.
Mintalah atau Rogate. Dari sinilah kita hadir, Alfian. Kita hadir untuk meminta kepada Tuhan agar Ia mengutus pekerja yang kudus di dalam gereja, untuk menolong orang yang kelaparan, dan untuk mengajak semua orang berdoa meminta imam yang kudus. Jika suatu saat engkau menjadi imam, jadilah imam yang kudus,” katanya dengan senyuman yang muncul pada raut wajahnya.
“Oh, jadi begitu rupanya. Iya padre, saya akan berusaha,” sahut Alfian. “Tapi,,”
“Ahh, sudah, sudah. Sekarang mentari sudah semakin panas. Nanti baru kita lanjut ceritanya,” kata lelaki tua itu memotong pembicaraan Alfian sembari berlalu dari pondok Rogate, tempat ia biasa menyaksikan mentari yang bangun dari tidurnya di langit timur sana.