Labuan Bajo, Vox NTT- Sidang perkara perdata Nomor 21/Pdt.G/2021/PN.Lbj antara penggugat Hendrikus Chandra melawan Keuskupan Denpasar selaku tergugat I bersama 11 tergugat lainnya telah bergulir di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Sidang yang bergulir sejak September 2021 tersebut tinggal memasuki tahap putusan. Keuskupan Denpasar dikawal langsung oleh 10 pengacara kenamaan yang dikoordinasi oleh Dr. Munnie Yasmin.
Salah satu kuasa hukum Keuskupan Denpasar, FX. Joniono mengatakan, obyek tanah yang menjadi pokok perkara adalah tanah dengan SHM Nomor 534/Labuan Bajo dengan luas 6.578 M2 tertanggal 16 Desember 1994.
Tanah tersebut atas nama Keuskupan Denpasar yang diperoleh berdasarkan akta jual beli Nomor 08/KK/VI/1991. Tanah dibeli oleh Keuskupan Denpasar tanggal 30 Agustus 1989 dari pemilik Kamis Hamnu dan Usman Umar yang juga digugat dalam perkara ini.
“Saat jual beli, pihak Keuskupan Denpasar diwakili oleh Uskup Denpasar saat itu, Mgr. Vitalis Djebarus. Tanah tersebut telah dibayar lunas yang dibuktikan dengan 2 lembar kuitansi tertanggal 30 Agustus 1989,” ungkapnya dalam keterangan pers yang diterima VoxNtt.com, Kamis (03/02/2022).
Joniono menjelaskan, kala itu memang ada hubungan baik antara Uskup Denpasar Mgr. Vitalis Djebarus dengan Hendrikus Chandra. Itulah sebabnya Mgr. Vitalis Djebarus memberikan kuasa kepada Hendrikus Chandra untuk mengurus segala sesuatunya mulai dari proses pembelian sampai terbit akta jual beli atas nama Keuskupan Denpasar.
“Surat kuasa itu tertanggal 10 Mei 1991, diberikan kepada Hendrikus Chandra. Sekarang malahan dia menjadi penggugat di atas obyek yang sama. Dan dia mengklaim tanah itu miliknya, dari mendiang istrinya yang bernama Trotji Yusuf. Aneh, orang yang diberikan kuasa atas dasar kepercayaan seorang Uskup saat itu, sekarang malah menggugatnya,” pungkas Joniono.
Saat pemeriksaan perkara di PN Manggarai Barat kata dia, Keuskupan Denpasar memberikan bukti-bukti yang akurat.
Bukti tersebut seperti surat kuasa tertanggal 10 Mei 1991 dari Keuskupan Denpasar kepada penggugat I Hendrikus Chandra, dua kuitansi pembayaran lunas uang tanah tertanggal 30 Agustus 1989, surat akta jual beli Nomor 08/KK/VI/1991 tertanggal 22 Juni 1991 antara Kamis Hamnu dan Usman Umar di hadapan Anton US Abatan selaku Camat Komodo saat itu yang bertindak sebagai pejabat pembuat akta tanah.
Selain itu, berita acara pengukuran pengembalian batas nomor IP.02.03./BA.20-53.200/III/2019 tertanggal 13 Maret 2019 yang dikeluarkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Bukti lain adalah sertifikat asli SHM nomor 534 atas nama Keuskupan Denpasar yang sudah terbit tahun 1994.
“Jadi, orang yang tidak belajar hukum saja tahu alurnya. Kuitansi jual beli ada. Surat kuasa ada. Akta jual beli ada. Berita acara pengukuran pengembalian batas tanah ada. Sertifikat yang asli nomor 534 atas nama Keuskupan Denpasar yang terbit tahun 1994 ada. Logika hukum tidak masuk kalau saudara Hendrikus Chandra menggugat tanah tersebut yang katanya milik mendiang istrinya,” ujarnya.
BACA JUGA: Sengketa Tanah Keuskupan Denpasar di Labuan Bajo Harus Jadi Momentum Berantas Para Mafia
Berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki Keuskupan Denpasar tersebut, Joniono meminta agar Majelis Hakim PN Kabupaten Manggarai Barat yang menyidangkan perkara ini untuk memutuskan perkara ini seadil-adilnya, sesuai dengan fakta dan bukti secara hukum yang dibuktikan dalam persidangan.
Sebab, Joniono berkeyakinan bahwa bukti-bukti dan saksi yang diajukan sangat kuat. Sementara penggugat hanya mengajukan satu orang saksi.
“Hal lain yang perlu dipertimbangkan majelis hakim adalah penggugat hanya menghadirkan satu saksi saja. Sebab dalam hukum diketahui satu orang saksi dianggap tidak sah dan tidak memenuhi syarat. Apalagi dalam fakta persidangan yang sudah ada, saksi penggugat sama sekali tidak memberikan kesaksian yang jelas dan berarti bagi kepentingan penggugat,” katanya.
BACA JUGA: Sengketa Tanah Keuskupan Denpasar di Labuan Bajo, Kuasa Hukum Temukan Fakta Aneh
Dia menambahkan, sertifikat SHM nomor 534 milik Keuskupan Denpasar diterbitkan terlebih dahulu oleh BPN Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 1994. Sedangkan SHM yang diakui oleh Hendrikus Chandra baru terbit pada tahun 2012.
Menurut Joniono, sertifikat tanah nomor 534 milik Keuskupan Denpasar diterbitkan oleh BPN Kabupaten Manggarai Barat yang merupakan lembaga yang berwenang untuk itu.
Jika terdapat sertifikat ganda di atas tanah yang sama dan bila ternyata keduanya sama-sama otentik, maka bukti yang paling kuat adalah sertifikat yang terbit terlebih dahulu dan sekaligus menggugurkan sertifikat yang terbit kemudian.
“Apalagi dalam petitumnya, penggugat meminta agar majelis memproses kesalahan BPN dan meminta PN membatalkan sertifikat 534. Ini salah alamat,” jelas Joniono.
Penulis: Sello Jome
Editor: Ardy Abba