Oleh: Stefan Bandar
(Anggota biara Rogasionis-Maumere)
Senja di penghujung bulan Desember, saat rintik hujan turun perlahan dan angin bertiup dengan malunya di tepi pantai Rogate.
“Besok malam kamu akan merayakan tahun baru di sini?” kataku membuka pembicaraan antara kami. “Tidak, kami akan merayakannya di kampung,” jawabnya singkat. “Kamu?” tanyanya. “Yang pasti aku akan merayakannya di sini. Kapan kamu pergi?” tanyaku. “Besok pagi,” jawabnya singkat.
“Sekarang berikan aku jawaban yang pasti, Nick”, katanya dengan nafas tertahan. “Aku sudah lama menunggu jawaban yang pasti darimu. Aku sudah bosan dengan kata NANTI yang seringkali kau ucapkan. Aku sudah bosan dengan semua janji yang kau berikan,” sambungnya lagi.
Aku terdiam. Jujur, hanya kata NANTI yang mampu kuucapkan untuk beribu pertanyaan yang ia utarakan kepadaku hingga kini. Aku hanya memberinya janji. Bukannya aku tidak mampu memberi jawaban pasti. Aku hanya sedikit ragu untuk bilang YA atau TIDAK.
“Pantai ini sudah tidak bagus lagi, ya. Dulu saat aku datang pertama kali di tempat ini, begitu banyak pohon yang berdiri kokoh di sini. Tapi sekarang, semenjak air laut bertambah ganas, pantai ini semakin rusak. Sepertinya harus,,,”
“Akh, lagi-lagi kamu mengalihkan pembicaraan, Nick. Inilah kebiasaan yang aku tidak suka darimu,” katanya dengan nada datar.
Ia berdiri lalu berjalan beberapa langkah ke depan. Pandangannya jatuh pada ujung lautan yang jauh di depannya. Sebentar ia menundukkan kepala, memasukkan tangannya ke dalam air yang tingginya selutut. Ia mengambil sebuah batu lalu melemparnya jauh ke dalam.
“Nick, dulu pantai ini adalah salah satu tempat favoritku menghabiskan senja bersama teman-teman,” katanya setelah menyadari keberadaanku di sampingnya. “Ada begitu banyak pohon yang masih ada di pinggir pantai ini. Dulu, pantai ini sungguh indah. Bahkan setiap sore hari selalu ada orang yang datang menikmati keindahan pantai ini,” katanya dengan nafas tertahan.
Ia berjalan beberapa langkah ke depan. Ujung bawa celananya mulai menyentuh air laut. Aku hanya berdiri diam sembari medengarkan untaian cerita yang sedang diutarakannya.
“Tetapi semenjak pohon-pohon di pinggir pantai ini tumbang, semenjak gelombang air laut semakin meningkat, semenjak abrasi yang menggerus pasir-pasir pantai ini secara perlahan, kami juga mulai mengurangi waktu berkunjung ke tempat ini. Selain karena kami tahu bahwa tempat ini dekat dengan rumah formasi para frater, kami juga menyadari bahwa kami tidak lagi menemukan keindahan seperti yang dulu kami rasakan di tempat ini. Ya, pantai Rogate ini sudah tidak indah lagi, Nick,” katanya.
“Akh, pantai ini masih indah. Buktinya sampai sekarang masih ada orang yang datang kunjung. Salah satunya adalah kamu,” kataku sambil tertawa kecil. “Ya, memang masih indah. Tapi lebi indah dulu, Nick,” katanya lalu berjalan kembali menuju tepian pantai.
Sebenarnya aku setuju dengan apa yang diutarakannya. Ketika pertama kali kakiku berpijak di pantai Rogate, aku sedikit kagum dengan keindahannya. Selain karena airnya yang bersih, ada begitu banyak pohon bakau yang berdiri di tepian, memecahkan ombak yang datang berkali-kali, yang menambah keindahannya.
Sedangkan di pinggir pantai terdapat begitu banyak pohon kelapa yang berjejer dengan rapi. Ada juga beberapa jenis pohon waru dan beberapa pohon lainnya. Di bawah pepohonan inilah biasanya orang berteduh sembari menikmati lautan luas yang membentang di depannya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, perlahan pantai Rogate mulai dikikis oleh air laut. Abrasi yang perlahan terjadi berhasil merenggut pepohonan yang ada di pantai ini.
Mungkin harus segera dibangun tembok atau sejenisnya yang bisa menahan ombak yang terus menghempas, sering aku berikir demikian.
“Sebenarnya setahun yang lalu kami mendapat tamu. Mereka adalah pengurus negeri kita ini. Mereka datang ke tempat ini. Mereka memberi kami janji untuk membantu mengurus pantai ini. Tapi hingga kini janji itu tidak pernah terwujud,” kataku sembari mengikuti langkahnya menuju tepian pantai.
“Nick,” katanya dengan nafas tertahan. “Janji politik itu berbeda dengan janji religius. Kalau seorang religius berjanji, maka ia harus menepatinya karena dia mengatasnamai langit dan bumi.
Tetapi kalau seorang politisi berjanji, ia tidak memiliki keharusan untuk menepatinya. Kamu tahu kenapa? Karena janji mereka itu mengatasnamai kepentingan mereka sendiri,” katanya.
“Ya, tepatnya seperti itu, Arkheila” kataku. Aku sedikit kagum dengan pernyataan yang diutarakan gadis yang di sebelahku. Ya, dia sangat pandai dalam berkata. Mungkinkah ini menjadi salah satu alasanku tetap mempertahankan hubungan ini? Entalah.
“Nanti akan aku urus semuanya,” kataku merespon pernyataannya beberapa saat yang lalu. “Kapan?” Ia merespon dengan cepat. “Saat aku jadi imam Rogate” jawabku singkat. Beberapa saat keheningan kembali menguasai kami.
“Bagaimana dengan hubungan kita, Nick?” ia mengulang lagi pertanyaan yang sempat diutarakannya beberapa saat yang lalu.
“Bisakah engkau kembali ke tempat ini minggu depan? Aku janji, aku akan memberikanmu jawaban pasti untuk semua pertanyaanmu, Arkheila,” kataku.
“Apakah janjimu ini sebagai seorang religius atau sebagai seorang politisi? Atau apakah engkau akan kembali memberikanku jawaban NANTI?” tanyanya yang diikuti dengan tawa kecil darinya.
“Entalah,” jawabku singkat.
*********
Senja di akhir bulan Desember, hari terakhir aku berjumpa dengan Arkheila, mutiara yang kutemui di pantai Rogate. Ya, dia pergi bersama dengan keindahan pantai Rogate. Ia menghilang bersama dengan tumpukan pasir yang terus dibawa air laut hingga ke mana, entalah.
Seandainya saja aku tahu itulah hari terakhir aku berjumpa dengannya, hari itu adalah hari terakhir ia berbicara kepadaku, hari itu adalah hari terakhir ia bertanya kepadaku, mungkin aku akan memberinya jawaban pasti, jawaban bahwa aku sangat mencintainya.
Aku akan memberikannya jawaban pasti agar ia tidak lagi tersiksa dengan pertanyaan yang terus datang dalam pikirannya.
Ya, semuanya sudah terlambat. Tapi harus kuakui bahwa Arkheila, gadis yang kutemui di pantai Rogate dan kini menghilang semenjak pertemuan terakhir di tepi pantai itu, adalah seorang gadis yang kurindukan hingga kini. Aku tak tahu apakah ini bagian dari cara alam menarasikan kisah kami. Jika benar demikian, maka aku hanya ingin mengatakan bahwa semua rasaku untuknya belum usai.
Benar, aku memang seorang yang berjubah. Tetapi setidaknya ia memberiku keadilan dengan memberitahuku ke mana ia pergi setelah hari itu. Atau setidaknya ia mengatakan padaku di mana ia berada setelah hari itu. Seandainya ia tahu bahwa senja itu aku menunggunya di pantai Rogate, ingin mengatakan jawabanku yang pasti kepadanya. Tentunya bukan lagi jawaban NANTI.
Atau, mungkinkah aku sudah menyiksanya dengan jawaban NANTI yang sering aku berikan untuk semua pertanyaannya? Apakah ia telah letih menunggu kepastian dariku tentang hubungan kami? Akh, atau mungkinkah ia akan datang lagi saat pantai Rogate kembali seperti dulu? Mungkinkah? Entalah!
*********
Arkheila, mungkin aku tidak akan pernah menjadi palung untuk pulangmu. Mungkin aku tidak akan pernah menjadi payung untuk teduhmu. Mungkin aku tidak akan pernah menjadi bahu untuk sandarmu. Mungkin aku tidak akan pernah menjadi rumah untuk tinggalmu.
Tapi percayalah bahwa aku akan menjadi embun untuk menyirami setiap bunga mimpimu, hingga kelak kau akan menanamnya pada hati yang lain, atau seorang akan datang untuk memilikinya. Aku akan mengaminkan seluruh mogamu dengan doa yang tidak pernah kau dengar.
Jika suatu hari engkau menemukan rumah yang paling nyaman untuk kau tinggal, jangan pernah lupa dengan aku; pondok tua yang pernah memberimu teduhan tapi hanya sesaat. Jika suatu hari engkau menemukan dekapan yang hangat untuk setiap letihmu, jangan pernah lupa dengan aku; tangan yang memberimu pelukan tapi hanya sebentar saja. Dan jika suatu hari engkau mendapatkan hati dari seorang lelaki yang dengan tulus mencintaimu, ingatlah juga aku; seorang lelaki yang hanya pandai memberi janji, lelaki yang tidak pernah memberimu jawaban pasti.