Oleh: Tino Bey
(Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT)
Indonesia adalah salah satu negara yang dihuni oleh begitu banyak perbedaan, mulai dari agama, budaya, ras, etnis dan lain-lain. Fakta pluralitas ini tentu telah menyisahkan sejarah yang plural dalam mempertahankan kesatuan.
Kita tidak perlu pesimistis atau mengutuki berbagai sejarah kelam yang timbul akibat fakta pluralitas ini. Sebab, pluralitas adalah kekayaan yang mampu menunjang kemapanan hidup bersama dalam suatu negara.
Sejarah juga telah membentuk kita untuk melihat lebih kritis pluralitas ini, sehingga kita masih bisa mengalami persatuan.
Menurut Hannah Arendt pluralisme lahir dari kodrat manusia. Oleh karena itu, negara tanpa perbedaan adalah nihil karena esensi negara adalah pluralitas.
Perdamaian dalam suatu negara hanya mungkin kalau dibentuk dalam suatu konsensus yang berangkat dari pluralitas.
Saya tidak bisa bayangkan perdamaian dalam kehidupan bersama tanpa pluralitas, mungkin tidak ada keterjaminan hidup karena dalam homogenitas orang akan saling mengeliminasi dengan yang lainnya.
Namun kita tidak boleh terlanjur bangga dengan begitu banyak perbedaan yang kita miliki, karena sampai saat ini juga begitu banyak problem yang muncul sebagai akibat dari perbedaan.
Hal itu membuktikan bahwa kita belum mampu hidup secara dewasa di tengah alam yang plural seperti saat ini.
Meskipun pluralitas menjadi esensi dalam suatu kehidupan bersama, namun pluralitas juga sering menimbulkan implikasi-implikasi destruktif yang mendukung perpecahan.
Intoleransi, fundamentalisme agama, diskrimainasi sosial, hoaks, merupakan implikasi-implikasi destruktif dalam suatu masyarakat majemuk yang bisa memicu disintegritas.
Rasionalitas dan Sentimentalitas
Negara indonesia adalah negara demokrasi. Orientasi konstitusi negara demokrasi adalah menjamin keadilan bagi masyarakatnya yang majemuk.
Hal itu hanya mungkin kalau ada konsensus bersama. Konsensus itu mengandaikan adanya daya kritis rasionalitas publik.
Masalah-masalah yang terjadi seperti konflik antaragama atau antarkelompok tertentu merupakan bukti bahwa masyarakat kita masih bergerak dalam sentimen-sentimen primodial.
Masalah-masalah seperti tuduhan penistaan agama terhadap Ahok beberapa tahun lalu merupakan salah satu contoh masyarakat kita masih terjebak dalam sentimen promodial.
Berita-berita hoaks berseliweran sehingga menimbulkan konflik di mana-mana merupakan contoh di mana masyarakat kita tak mampu melihat hal itu dari perspektif rasionalitas kritis.
Akhirnya tidak ada distingsi yang jelas antara kebenaran dan kebohongan. Kebenaran menjadi sesuatu yang relatif.
Berita bohong bisa ditanggapi sebagai benar kalau mendukung sentimen-sentimen primodial kelompok tertentu.
Negara yang demokratis hanya mungkin kalau masyarakatnya melihat pluralitas dalam perspektif rasionalitas kritis tanpa terjebak dalam sentimen- sentimen primodial.
Dalam mempersiapkan terbentuknya Negara Indonesia, fakta pluralitas telah menjadi pertimbangan dalam diskursus bapa-bapa pendiri kita.
Sehingga pluralitas negara ini dikontrol oleh dasar negara kita yakni Pancasila untuk menjamin integritas bangsa.
Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan melalui diskursus rasional. Karena itu untuk menterjemahkan ide-ide Pancasila dalam suatu kehidupan yang majemuk dibutuhkan masyarakat yang mampu mengedapankan rasio dalam menanggapi berbagai perbedaan.
Perbedaan ini hanya akan menjadi patologi kalau masyarakat selalu membawa sentimen-sentimen primodial.
Pada ulasannya dalam buku Demokrasi dan Sentimentalitas, F. Budihadirman mengulas tentang tesis dari Immanuel Kant yang berpendapat bahwa suatu bangsa meskipun dihuni oleh setan-setan akan bisa memecahkan segala persolan jika mereka menggunakan akal.
Setan-setan di sini dilihat sebagai orang-orang egois, pendusta, licik, dan korup meskipun begitu mereka mampu menemukan konsensus rasional untuk menjamin kepentingan mereka masing-masing.
Meskipun orientasi mereka hanya kepentingan diri masing-masing, namun rasionalitas telah meniadakan percekcokan antara mereka.
Hukum yang mereka sepakati menjamin kepentingan mereka masing-masing. Setiap orang tidak akan mengintervensi urusan privat yang lain.
Sebaliknya Kant juga menggambarkan suatu negara yang dipenuhi dengan manusia-manusia majemuk. Manusia bermoral, beragama dan berbudaya.
Dan, mereka adalah makhluk sentimental. Mereka tidak akan menemukan kesepakatan bersama dalam menanggapi kemajemukan.
Sebab, mereka hidup dalam sentimen-sentimen. Mereka tenggelam dalam absolutisme moralitas, agama dan kultural, mengkalaim kelompok tertentu sebagai yang paling benar.
Sentimentalitas tanpa dikontrol oleh rasionalitas akan menimbulkan konflik dalam suatu masyarakat yang majemuk.
Begitu juga sebaliknya rasionalitas yang radikal tanpa ada ruang untuk sebuah pertimbangan moral akan menimbulkan tindakan antihumanitas dan penyelewengan terhadap manusia sebagai makhluk moral dan religius. Karena itu keduanya itu harus diangkat ke dalam ruang yang seimbang.
Toleransi
Pluralisme harus kita maknai sebagai sebuah kekayaan bangsa kita. Namun ketika pluralisme dipenuhi dengan egoisme kelompok-kelompok tertentu maka akan menjadi malapetaka bagi integritas sosial.
Pertanyaan fundamental yang perlu diajukan kepada publik yakni bagaimana kita menanggapi pluralisme ini?
Kita tidak perlu menenggelamkan pluralisme dan merangkum keberbedaan ini di bawah satu kebudayaan dominan.
Kita datang dari budaya dan agama yang berbeda, merangkum keberbedaan itu dalam satu budaya dominan adalah suatu bentuk ketidakadilan.
Sebab, kita mengabaikan budaya lain dan memaksa nilai-nilai dari budaya tertentu untuk dihidupi oleh budaya lain.
Kita tetap mempertahankan kesatuan sosial tanpa perlu mengabaikan budaya kita masing-masing.
Demokrasi telah memberi ruang yang subur bagi pluralisme. Bukanlah suatu yang mustahil terciptanya integritas sosial dalam masyarakat yang plural. Namun itu hanya mungkin kalau kita menghidupi sikap toleransi.
Dalam keberbedaan mungkin kita tidak menemukan kebenaran dalam kebudayaan lain dari perspektif kita.
Tapi kita tidak boleh mengklaim hal itu sebagai salah. Kebenaran dalam kelompok lain harus kita maknai sebagai keterbatasan kemampuan kita untuk memahami kebenaran mereka.
Namun jika ada kebudayaan yang menampilkan nilai yang bertentangan dengan norma universal seperti hak-hak asasi manusia, misalnya pembunuhan, peperangan, penindasan dan lain-lain maka budaya seperti itu tidak boleh ditoleransi.
Kesatuan sosial dalam masyarakat majemuk hanya mungkin kalau kita semua mau menghidupi sikap toleransi, menghargai perbedaan, dan saling mengakui eksistensi budaya lain.
Toleransi mengandaikan setiap orang menanggapi pluralitas dengan perspektif rasionalitas kritis. Artinya, bahwa perbedaan kepentingan dalam masyarakat majemuk adalah sesuatu yang niscaya.
Namun orang mampu mengatasi itu kalau setiap orang mendiskusikan itu dalam ruang rasionalitas kirtis tanpa terjebak ke dalam sentimentalitas.
Catatan Akhir
Jangankan dalam skala sosial yang besar seperti negara. Dalam satu komunitas kecil pun yang dipenuhi dengan keberagaman.
Jika anggotanya terjebak dalam sentimen pribadi, maka kehidupan komunitas itu akan dipenuhi dengan kebencian, saling mempersalahkan dan berujung pada konflik.
Karena itu jalan yang paling ideal dalam menghadapi perbedaan adalah diskursus atau diaolog untuk menemukan konsensus.
Konsensus itu akan menjadi hukum untuk menunjang kesatuan sosial. Diskursus rasional atau diaolog interkultural akan menemukan konsensus kalau kita mau melampaui sentimen primodial kita.
Konsensus tentu harus bersifat adil artinya bahwa mampu menunjang kesatuan sosial tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya kita masing-masing.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Demokrasi dan Sentimentalitas Dari Bangsa Setan-Setan, Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia?. Maumere: Penerbit Ledalero, 2011.