Oleh: Stefan Bandar
(Anggota Komunitas Biara Rogasionis-Maumere)
Peradaban bangsa Indonesia setelah kemerdekaan digiring oleh suatu prinsip yang dipegang oleh seluruh rakyat Indonesia. Prinsip itu adalah Pancasila.
Secara terminologi pancasila merupakan gabungan dari dua kata yakni panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar.
Dengan demikian Pancasila dapat diartikan sebagai Lima Dasar yang menuntun kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan.
Namun jauh hari sebelum Pancasila dirumuskan, Lima Dasar yang terkandung di dalam Pancasila sebenarnya telah dihidupi oleh masyarakat Indonesia.
Lima Dasar itu telah ada dalam kehidupan masyarakat dan telah dijalani bersama.
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, dan keadilan, merupakan hal-hal yang telah menyatuh dengan kehidupan masyarakat.
Ke-Lima Dasar itu hadir dalam wujud sederhana dan belum dirumuskan dalam sebuah rumusan yang utuh dan ilmiah.
Lima Dasar itu tidak dikukuhkan dalam peraturan tertulis sebab nilai itu menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Budaya persaudaraan dan semangat kekeluargaan yang mewarnai hubungan antara masyarakat merupakan kenyataan yang megimplikasikan tidak dibutuhkannya rumusan peraturan tertulis dari Lima Dasar tersebut.
Dalam perjalanan waktu, ke-Lima Dasar itu mulai digeserkan dari kehidupan masyarakat seiring dengan perkembangan rasionalitas.
Revolusi industri turut merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kemajuan IPTEK membuat manusia berlomba-lomba memenuhi kebutuhan meskipun dengan cara yang mengeliminasikan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat.
Kenyataan lain yang turut mewarnai peradaban bangsa Indonesia adalah penjajahan oleh bangsa asing.
Penjajahan itu merasuk seluruh bidang kehidupan manusia seperti sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya.
Bahkan penjajahan itu juga mencakup sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Kenyataan-kenyataan ini kemudian direfleksikan oleh founding fathers sebagai hal yang perlu dibenah sejalan dengan gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan yang mulai dilakukan.
Maka muncullah dua gerakan yang berbeda yakni gerakan mengusir para penjajah dan gerakan mencetus sebuah ide yang dapat mempertahankan perdamaian Indonesia.
Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat harus dipertahankan demi terciptanya rumusan yang dapat menyatukan segala perbedaan sekaligus mempererat persatuan masyarakat dari Sabang sampai Marauke.
Maka muncul ide yang beriktiar mempersatukan bangsa Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila dengan sembhoyannya Bhineka Tunggal Ika.
Rumusan-rumusan tentang Pancasila itu sendiri dikemukakan oleh tiga tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah Mohammad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Rumusan-rumusan dari ketiga tokoh ini tentunya dilatarbelakangi oleh sikap kepedulian terhadap perjalanan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural menuju kemerdekaan.
Mohammad Yamin menyampaikan rumusannya tentang Pancasila tepat pada sidang pertama BPUPKI (29 Mei 1945).
Isi rumusannya ialah kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial. Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan isi rumusannya yaitu persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat.
Pada hari terakhir sidang BPUPKI yakni pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan beberapa rumusan yang menjadi sumbangannya guna membentuk Pancasila.
Rumusan itu antara lain kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, ketuhanan yang berkebudayaan.
Rumusan-rumusan yang dikemukan ketiga tokoh ini merupakan rumusan yang lahir dari rahim bumi pertiwi, dari hal-hal yang sudah ada di dalam masyarakat.
Ketiga tokoh ini benar-benar menggali nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat untuk dijadikan rantai yang dapat mengikat kesatuan Indonesia di tengah pluralitas yang ada.
Maka tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Meskipun sebenarnya Pancasila disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945).
Adapun Lima Sila yang disetujui bersama ialah ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaraan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ke-Lima Sila ini mencakup seluruh aspek yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Lima Sila ini merupakan rantai yang mengikat seluruh perbedaan yang ada.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan yang sangat tepat guna merangkai kemajemukan yang ada dalam bingkai persaudaraan dan persatuan.
Tujuan dari Lima Sila ini ialah mewujudkan Indonesia yang beradab, adil, damai, makmur dan sejahtera.
Ketiga tokoh yang merumuskan Pancasila serta tokoh lain yang memberi sumbangan terhadap lahirnya Pancasila, tentunya memiliki hasrat terciptanya kehidupan masyarakat Indonesia dalam nuansa persaudaraan dan perdamaian hingga akhir hayat.
Namun ada begitu banyak fakta yang membalikkan angan-angan ini. Ada begitu banyak realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang berjalan di luar jalur cita-cita perintis Pancasila secara khusus dan perintis kemerdekaan Indonesia secara umum.
Bahkan ada begitu banyak kejadian atau persoalan yang mencoba merusak nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Muncul persoalan di dalam masyarakat yang bertendensi mengabaikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Hal ini dapat dilihat dari realitas persoalan antara mayoritas-minoritas, kekerasan atas nama agama, ketimpangan dalam proses pembangunan bangsa Indonesia khususnya pembangunan antara daerah Indonesia timur dengan daerah Indonesia barat, korupsi yang merajalela, serta berbagai persoalan lainnya.
Semua kejadian ini merupakan bukti bahwa pengamalan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih sangat jauh dari harapan.
Pancasila belum dijadikan dasar dalam merajut persaudaraan, kemakmuran, keadilan, dan persatuan.
Pancasila belum dijadikan sebagai rantai yang membimbing perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan yang diinginkan bersama.
Masyarakat masih memandang Pancasila hanya sebatas bukti dari sebuah perjuangan panjang dan berat.
Pancasila hanyalah sebuah kenangan lama yang menjadi bukti perjalanan para pahlawan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila hanya relevan dengan kehidupan masyarakat saat itu, tidak dengan kehidupan masyarakat sekarang ini.
Pandangan-pandangan seperti ini tentunya harus segera dihapus dari kehidupan masyarakat. Pemikiran-pemikiran seperti ini harus segerah disingkirkan.
Pancasila bukanlah kenangan yang hidup pada tataran dunia ide dengan batasan waktu tertentu.
Pancasila adalah roh bangsa Indonesia dalam perjalanannya menuju kedamaian sampai kapan pun.
Maka dari itu Pancasila harus dirawat oleh seluruh rakyat Indonesia. Merawat Pancasila berarti merawat ikthiar dan hasrat mewujudkan perdamaian.
Merawat Pancasila berarti merawat cita-cita luhur yakni Indonesia yang merdeka.
Merawat Pancasila berarti merawat nilai-nilai luhur yang diturunkan sejak dahulu, nilai yang didapatkan dengan darah dan nyawa sebagai tebusannya.
Maka dari itu harus ada usaha dari seluruh rakyat Indonesia dalam mewujud-nyatakan tindakan merawat Pancasila.
Tindakan nyata ini penting sebab Pancasila hari-hari belakangan ini mendapatkan tantangan dari perkembangan rasionalitas manusia dan berbagai tindakan anarkis yang membahayakan eksistensi Pancasila itu sendiri.
Usaha-usaha merawat Pancasila dapat dilihat dalam hal seperti dialog lintas agama, sikap toleransi yang tinggi, mengaktualisasikan hak dan kewajiban sebagai warga negara, pemerataan pembangunan dan pelayanan publik, dan berbagai tindakan lainnya yang bertendensi mepererat persaudaraan antara masyarakat Indonesia serta membawa perdamaian bagi bangsa Indonesia.
Perdamaian yang dimaksud adalah realitas di mana hak setiap individu dihargai dan dijunjung tinggi, tidak adanya bentuk penjajahan dari pihak mana pun, kebebasan setiap individu terjamin, tidak adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), dan realita kehidupan seluruh masyarakat yang bersatu.