Dewasa
Satu kata yang saat ini menjadi teman dalam usia
Semakin dewasa, semakin mengalami cerita yang berbeda
Kala semesta punah, dan usia pun kian tak terhingga
Beranjak atas angan, berakhir tiada
Engkau pun menghidupi penyesalan serupa dalam duka
Sebentar, bayang-bayang raga bermekar tumbuh tegar
Engkau merilis usia mengejar senja
Semoga menua nantinya
Damai dalam Gelisah
Sejenak aku termenung di tengah kebisuan malam
Memandang bintang merayu angan tuk bersua bersama rasa
Aku di sini, dan masih dalam cinta yang sama
Segalanya adalah tentang dia yang ada namun tak bisa bersama
Saat ini aku hanya ingin belajar mencukupkan diri dalam segala hal tentang dia
Bukan menjadi kekurangan dalam dunia rasa
Melainkan hanya ingin berdamai dengan gelisah yang enggan bertepi
Bersatu dalam kasih menghapus dendam dan mengenal rahasia Tuhan.
Senyum
Kamu terlahir dari kata yang sederhana namun bermakna
Laksana embun di kala pagi datang menyapa
Bening seperti gelas kaca bercahaya bak cermin yang berkilauan
Kau pandai menyimpan banyak luka
Itulah mengapa kamu dijadikan sebagai dua bagian yang tak terpisahkan
Senyum
Datangmu laksana cahaya pembelah cakrawala
Menebar senandung dalam rasa
Laksana fajar pemberi hangat
Menetap abadi pada cahaya
Senyum
Kamu tak selamanya menggambarkan Bahagia
Terkadang kamu ada hanya untuk menutupi luka
Sembunyikan rasa yang menyiksa jiwa
Dan sekali kulempar dirimu damaipun kudapat
Tetaplah merekah, aku tanpa-Mu bagaikan malam tanpa cahaya
Janji
Kau begitu cepat menerobos rapu hati
Begitu mudah merengkuh jiwa hati sang puan
Singkat namun paling licik dan pandai
Pandai tuk menepis gelap di ujung waktu yang berdimensi singkat
Janji
Bila kau datang sebagai cahaya kedamaian
Haruskah engkau mengucapkannya?
Haruskah engkau ada?
Dan haruskah engkau mengisi rindu?
Janji
Engkau membuatku berada dalam penantian
Merintih dalam sabar
Aku menegukmu layaknya kopi Pelepas Lelah
Kini engkau telah usai!
Selamat tinggal janji
Sendiri di Kota Tua
Di tengah gemerlap kota tua ini
Kutemukan rimba kehidupan yang kupetik dari setiap untain katamu
Kucoba menjelajah dengan hati sabar dalam perenungan di ujung waktu
Aku pahami titik senduh ini, dan aku masih berada dalam gemuruh ombak yang kacau
Di bawah wajah mentari yang meleleh
Aku merintih menahan luka yang pedih
Tak ada! setitik cahaya di dasar hati yang remuk dan sedih.
Kini aku pun sendiri dalam gelisah.
Duka Fana Tanah Pemakaman
Mata tanah pemakaman
Kutemukan di antara makam
Kesedihan adalah udara
Dinafaskan oleh pepohonan
Diterbangkan oleh kotak kayu berisi raga
Didoakan oleh gundukan tanah
Diaminkan oleh ubin bergambarkan para kudus
Mata ternyata tanah pemakaman
Untuk derai yang pernah kau jatuhkan
Untuk tawa yang semerdu melodi
Semua Bersatu di tanah pemakaman
Bersatu bersama tanah
Disambut para serangga melata
Tak berkutik, raga perlahan lenyap
Semasa hidup
Tangan terlalu pendek untuk membalas
Lisan kaku untuk berdoa
Hati angkuh untuk memohon
Mata buta tuk melihat
Telinga tuli tuk mendengar
Apa daya api tuan lusifer jadi teman kelak ditinggalkan di nirwana
Berkumpul di neraka bersama pembunuh,dan pendosa
Tak berkutik, iitu akhir indah dari hidup yang kuanggap indah
Perihal sabar,
Sabar seluas Samudra
Hanya saja insan kadang hanya sebatas lautan
Lelah berenang dan akhirnya tenggelam
Tenggelam ke dasar laut berisi api
Sakit tapi tak hangus terbakar
Membara tapi tak jua padam
Tak berkutik, ini api yang abadi
Antara benci, cinta dan rindu
Bukan pada manusia,tetapi pada pencipta
Benci ditakdirkan bernafas
Ajaran memaksa untuk mencinta
Akhirnya rindu berpulang
Menengadah atau menunduk
Sedih atau Bahagia
Kelak hidup sebagai arwah atau hanya musnah menjadi tanah
Barangkali tak perlu berdusta pada kata
Bahwa kuterima takdirku sebagai air mata yang dijatuhkan matamu
Dalam duka yang fana,air mata mengkekalkan lebih dari kata-kata
Melenyapkan tawa pada tali bersimpul yang diikat di tiang rumah
Melenyapkan raga, melahirkan duka fana
Sudah,
Duka itu fana
Aminkan saja
Bahwa ini hanya sebatas puisi!kelak bukan biografi
Akhirnya lenganku embun terakhir yang Bersatu pada bumi,
di daunmu aku memilih mati lalu menguap
Filomena Manur, mahasiswi semester 4 STIPAS St Ruteng, Manggarai Flores-NTT