Oleh: Atro Sumantro
Anggota KMK dan Diskusi Filsafat Ledalero
Kehadiran teknologi digital dalam budaya manusia akhir-akhir ini memantik suatu tinjauan reflektif yang lebih mendalam terhadap identitas manusia sebagai pemilik, penjaga dan penikmat kebudayaan itu sendiri.
Sir Edwar Tylor menjelaskan, kebudayaan sebagai kompleks keseluruhan pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, adat-istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat (Raho, Bernard. 2016:124).
Kebudayaan yang diyakini sebagai jembatan peradaban kehidupan manusia kini melahirkan cabang-cabang yang hampir melengserkan hakikat kebudayaan itu sendiri.
Teknologi yang lahir jauh sesudah budaya terbentuk menerobos sistem-sistem yang telah berakar dalam budaya, menciptakan suatu ruang kosong baru yang dinamakan era disrupsi dalam bahasa modern saat ini.
Teknologi digital juga serentak menelanjangi beragam konsep dalam setiap sistem kehidupan, termasuk sistem kebudayaan yang memegang peranan penting dalam lini kehidupan dan perkembangan peradaban kaum muda zaman ini.
Ketercabutan manusia dari lingkungan kebudayaan itu serentak membawa suatu transmisi nilai sebuah kebudayaan serta eksistensi manusia dalam sistem kebudayaan yang telah terbentuk sejak zaman dahulu kala.
Ragamnya hasil cipta budaya lokal serta nilai yang terkandung di dalamnya berbanding terbalik dengan generasi penerus atau kaum muda yang juga tumbuh dalam budaya lokal itu sendiri.
Sebagai contoh, seni wayang yang mendaraskan ragam makna kehidupan sukar mendapat warisan karena kurangnya kesetiaan kaum muda dalam belajar dan mengembangkannya (bdk, Kompas, 27/02/2020).
Manusia yang sebelumnya menjadi pembentuk, penggerak dan penopang kebudayaan lokal kini bahkan menjadi budak dari teknologi yang manusia ciptakan untuk menopang berdirinya suatu kebudayaan di zaman yang semakin modern.
Manusia yang dahulunya dibina dan dibentuk oleh permainan-permainan lokal untuk menjadi manusia yang mampu berkreasi dan inisiatif, kini menjadi manusia candu, tertutup, egois, dan rakus karena permainan-permainan digital yang sukar ditertibkan.
Otonomi kuasa dan relasi hidup manusia pun kerap dipertanyakan keberadaannya.
Apakah manusia khususnya kaum muda zaman ini diciptakan oleh teknologi digital yang fasih membentuk kekacauan ataukah karena sistem kebudayaan yang diwariskan dengan tujuan membangun sebuah peradaban kehidupan?
Apakah kaum muda yang terbentuk di era dirupsi tak mampu beradaptasi dalam sistem kebudayaan yang selalu berjalan dalam perubahan yang tak menentu?
Bagaimana semestinya kaum muda menanggapi tawaran kebudayaan dengan teknologi yang menjadi motor dalam pembangunan sistem nilai kehidupan zaman digitalisasi saat ini?.
Kebudayaan Lokal dalam Pluralitas Kerusakan Era Disrupsi
Pada hakikatnya, era disrupsi adalah sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental dapat mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru (bdk. Divedigital.id, 7/09/2020).
Perubahan yang terjadi akan menampilkan suatu sistem yang memaksa manusia menanggalkan cara lama karena kurangnya nilai saing dalam kekuatan yang baru tercapai.
Manusia dewasa ini sukar menempatkan sikap adaptif dalam pengembangan suatu cara lama yang tentunya masih berpengaruh dan memiliki andil dalam perubahan baru.
Hal ini menimbulkan pluralitas kerusakan yang terjadi dalam sistem pengembangan yang lama dalam budaya itu sendiri.
Ketercabutan budaya lokal dalam ruang inovasi kaum muda karena pluralitas kerusakan era disrupsi sebenarnya nampak lima aspek komponen kebudayaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Macionis (Macionis dalam Raho, 2016: 125-139).
Kelima komponen kebudayaan itu mencakup: Pertama, simbol-simbol, merupakan suatu unsur hidup yang mengandung arti tertentu bagi anggota-anggota suatu kebudayaan. Ketercabutan unsur simbol ini menekankan minimnya nilai konstruksi masyarakat terlebih khusus kaum muda dalam membangun dan menginterpretasi segala kekayaan yang terkandung di dalam kebudayaan itu sendiri.
Kedua, bahasa sebagai nilai yang dapat memengaruhi pikiran dan perasaan dalam menikmati kebudayaan lokal.
Pada titik ini, kehadiran kerusakan era disrupsi mematikan daya kritis dan kehendak bebas kaum muda dalam mencerna setiap seni budaya lokal yang menganut suatu pengetahuan yang tersimpan dalam momen atau ragam budaya lokal dalam masyarakat.
Ketiga, nilai-nilai sebagai gambaran diri kaum muda dalam perkembangan kebudayaan lokal itu sendiri.
Kaum muda kehilangan identitas sebagai pewaris budaya lokal yang tampil dengan keunikan dan keistemewaan seniman dalam menciptakan suatu alur pementasan yang praktis dan menyentuh realitas kehidupan masyarakat umum.
Keempat, norma-norma sebagai pernyataan sikap manusia terhadap perubahan sistem kebudayaan yang semakin canggih dan mumpuni. Kaum muda terjerumus dalam suatu pola hidup yang konsumtif dan cenderung menanggalkan empati terhadap tindakan destruktif dalam sistem kebudayaan lokal di lingkungan publik.
Dan kelima, kebudayaan material sebagai unsur hasil usaha manusia dalam menciptakan suatu model bangunan yang menjadi simbol hidupnya sebuah kebudayaan.
Kecendrungan kaum muda yang melahirkan ide tanpa tindakan praktis adalah simbol matinya kreativitas dan idealisme sebuah kebudayaan lokal.
Kaum Muda dan Nilai Budaya Lokal
Eksistensi kaum muda dalam era disrupsi ini mendapat tantangan sekaligus peluang dalam memberi warna dan nilai pada kebudayaan lokal itu sendiri.
Kaum muda dilihat sebagai pionir utama dalam pembangunan yang memiliki potensi pengembangan kebudayaan lokal secara kompleks.
Kompleksitas pemahaman budaya lokal memberikan ruang apresiasi terhadap kaum muda dalam kemampuannya mengolah pikiran, perasaan dan seni baik dalam kebudayaan lokal yang tradisional maupun dalam kebudayaan lokal yang modern (Koentjaraningrat, 1985: 1).
Keberadaan manusia akan mendapat tempat dengan mengaktifkan ruang berpikir tentang ide sebuah kebudayaan, perasaan dalam relasi lingkungan kebudayaan masyarakat dan seni dalam kebudayaan materi yang tampak sebagai bukti kreativitas dan nilai sebuah kebudayaan lokal itu sendiri.
Sementara itu, tantangan yang dihadapi kaum muda dalam pengembangan nilai budaya lokal itu sendiri adalah penempatan kaum muda dalam teknologi sebagai implikasi pengembangan kebudayaan lokal modern di era disrupsi digital.
Kehadiran teknologi tak hanya menurunkan semangat kaum muda dalam mengapresiasi budaya lokal baik secara materi maupun non materi, tetapi juga serentak menampik identitas kaum muda yang lahir dari rahim budaya lokal.
Kaum muda seolah-olah mengafirmasi ketercabutan itu sebagai solusi utama dalam mengejar ketertinggalan trend zaman, tetapi toh semua orientasi nilai-budaya manusia masa depan dijembatani oleh budaya lokal yang telah melahirkan nilai-nilai esensial untuk suatu pembangunan dalam jangka waktu panjang.
Keberadaan kaum muda pada tataran ini terjerumus dalam lubang degradasi nilai budaya lokal pada titik nadir.
Kaum muda membiarkan diri tenggelam dalam kuasa pengembangan pada satu aspek kehidupan saja, yakni kuasa disrupsi era digital sebagai model transformasi yang masih menggantung ragam nilai-nilai pembangunan budaya lokal itu sendiri.
Penempatan diri dalam satu aspek itu hemat saya menyematkan potensialitas kaum muda sebagai generasi yang kurang cermat, kurang adaptif dan kurang inovatif dalam memberdayakan diri di hadapan masyarakat umum.
Optimalisasi Peran Kaum Muda dalam Era Disrupsi
Kompleksitas kerusakan yang dirasakan oleh masyarakat umum di era disrupsi digital ini serentak mengundang pencerahan baru dalam wajah pikiran, karsa, seni kaum muda dengan memanfaatkan media teknologi sebagai usaha sadar pengembangan nilai dan sumber dasar pengetahuan kebudayaan lokal di tengah perubahan dunia akibat globalisasi yang masif dan sporadis ini.
Pemanfaatan media yang menghubungkan kaum muda era disrupsi dengan rahim kebudayaan lokal juga menerangkan kompleksitas pada setiap perubahan yang dilawan dengan terus membangun koneksi yang konstruktif dan adaptif dalam perkembangan yang terjadi (Kompas, 16/06/2020).
Hemat saya, optimalisasi peran kaum dalam pemanfaatan media ini adalah hal pertama dan utama yang mesti ditanamkan dalam potensi pengembangan diri kaum muda.
Sementara itu, alternatif lain yang menjadi tanggung jawab kaum muda adalah penempatan cara bertindak dan bertutur dalam setiap perubahan konsep, isi, dan materi budaya lokal.
Penempatan cara bertindak dan bertutur ini mengacu pada tindakan menghargai akar setiap kebudayaan lokal dalam kehidupan masyarakat.
Kecendrungan yang terjadi dalam realitas destruktif selama ini adalah penghakiman kaum muda terhadap budaya lokal yang berseberangan atau tidak sepaham dengan konsep yang muncul akibat pengaruh teknologi itu sendiri.
Kaum muda mesti menempatkan diri secara komprehensif dalam konsep budaya lokal yang barangkali masih akrab dan kental dengan nilai seperti yang digambarkan pada era sebelum disrupsi digital.
Hal dini didasarkan pada pengembangan kreativitas, inovasi dan adaptasi kaum muda tanpa mengurangi esensi budaya lokal itu sendiri.
Bahwasanya, pencapaian pengetahuan baru kaum muda dalam era disrupsi digital mampu memperkuat dan menghubungkan pola hidup budaya lokal dengan membangun berbagai sarana dan infrastruktur seperti aplikasi-aplikasi yang membahas dan mengupdate budaya lokal itu sendiri.
Dengan itu, pencapaian pengembangan budaya lokal di era disrupsi tetap berada pada level yang maksimal dengan pengembangan nilai yang tak jauh dari esensi budaya lokal itu sendiri.
Pembaharuan budaya lokal adalah makna lain dari penciptaan baru versi kaum muda di tengah zaman yang penuh dengan kompleksitas perubahan.
Daftar Pustaka
Raho, Bernard. Sosiologi. Maumere: Penerbit Ledalero. 2016.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. 1985.
Ritonga, Machradin W. “Kesetiaan Wayang Melintasi Zaman di Era Disrupsi” Kompas, 27 Februari 2020. <https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/02/27/kesetiaan-wayang-melintasi-zaman-di-era-disrupsi>.
Perdana, Aditya Putra. “Adaptif dan Fleksibel, Kunci Kaum Muda Hadapi Era Ketidakpastian” Kompas, 16 Juni 2020. <https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/06/16/fleksibilitas-dan-adaptif-jadi-kunci-hadapi-ketidakstian>
“Apa itu Disrupsi? Menelaah Definisi dan Cara Sukses Menghadapi Era Disrupsi”, Divedigital.id, 7 September 2020. <https://divedigital.id/apa-itu-disrupsi/>.