Semua orang tentu belum tahu di mana letak keberadaan kampung Leolbatan. Namun bagi sebagian orang yang bermukim di wilayah tapal batas antara Indonesia-Timor Leste sektor barat, sebut saja orang-orang Naibenu yang bermukim dari desa Sunsea sampai desa Manamas.
Pada saat menyebut nama kampung Leolbatan maka hal utama yang nyangkut dalam pikiran ialah sebuah kampung tua, yang keberadaannya di beranda perbatasan antara Timor Leste-Indonesia.
Atau orang-orang Naibenu menyebutnya dengan nama neten (neten adalah bahasa Dawan. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka neten memiliki arti sebagai batas).
Kampung tua itu pada saat ini dihuni oleh sekelompok orang Timor Leste, khususnya Suco Costa yang terdiri dari marga Koa, Teme, Oki, Abi, Fallo, dll, yang memiliki kesamaan asal usul budaya, adat istiadat dan, bahasa dengan orang-orang Naibenu.
Konon sebelum referendum
kemerdekaan Timor Leste, kedua kelompok masyarakat ini (orang Suco Costa dan orang Naibenu) merupakan satu rumput masyarakat yang hidup sebagai saudara, yang dalam bahasa
Dawan disebut sebagai feto-mone (saudari-saudara) atau olif-tataf (adik-kakak).
Nah, terlepas dari sejarah masa lalu itu, kampung tua ini pun dikenal sebagai negeri dingin.
Setiap saat terutama pada musim hujan, awan selalu menyelimuti seluruh kampung tua ini.
Apabila kita mengunjungi kampung tua ini, mata kita akan melihat penduduk asli memakai beti/tais (kain tradisional yang terbuat dari benang/pakaian khas orang Dawan) guna meyelimuti tubuh dari dinginnya udara di kampung tua ini.
Bagi orang yang baru pertama kali berkunjung ke kampung tua ini, ia pasti merasakan kedinginan yang menukik hingga sum-sum tulang.
Tetapi bukan hanya dinginnya udara yang dirasakan. Kampung tua ini pun punya sensasi lain yang mengarungi sanubari kita pada saat dikunjungi.
Seperti apa sensasinya. Begini kisahnya. Bahwasannya saat ini kampung tua yang disebut dengan nama Leolbatan, sedang menata diri untuk menatap perubahan dari berbagai aspek kehidupan manusia.
Saatnya orang-orang Suco Costa beralih dari yang biasanya, Konsep out of the box menjadi spirit perubahan untuk menghantar mereka bersaing di era global saat ini.
Pada saat kita berkunjung ke sana, selain dinginnya udara yang bisa dirasakan tetapi ada hal lain yang bisa kita temukan seperti; pertama, pembangunan infrastruktur.
Di era pasca-referendum hingga tahun 2000-an, akses jalan umum menuju kampung tua ini hampir tidak ada sama sekali.
Bahkan kita harus berjalan kaki berjam-jam untuk sampai kampung tua ini. Namun saat ini, masyarakat telah menikmati arus lalu lintas yang lancar, tidak perlu membuang waktu berjam-jam untuk berjalan kaki lagi.
Apabila hendak ke Oecusse, ibu kota distric Oecusse, cukup mengendarai sepeda motor, mobil pribadi serta mobil penumpang melewati jalan rabat berlapis semen, yang luas dan mulus hingga tiba di Oecusse.
Kedua, pengembangan bidang pertanian. Saat ini nama kampung tua ini tersebar luas di negara yang baru merdeka ini.
Ketika nama Leolbatan dikumandangkan maka orang akan berkata bahwa “daerah yang berpenghasilan kopi ya?”.
Ya, karena kampung tua ini berpenghasilan kopi, yang mampu bersaing dengan daerah lain di negeri Timor Leste.
Bukan hanya itu, tetapi kampung tua ini juga berpenghasilan kemiri, pisang, nenas, rambutan, salak, dll.
Hasil pertanian ini menjadi modal untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.
Ketiga, pengembangan wisata alam dan religi. Pesona alam di kampung tua ini pun memanjakan mata kita. Ada dua spot yang diburu para traveling yakni bukit cinta Leolbatan dan puncak Leolbatan.
Bukit cinta Leolbatan menjadi spot untuk berfoto show bagi kaum muda dan bagi siapa saja yang ingin memadu kasih dengan pasangannya.
Di tempat tersebut juga orang biasa berburu senja di sore hari, yang buat hati terasa makin jatuh cinta, apalagi dengan kekasih.
Lebih lanjut, ketika kita berada di puncak Leolbatan, saat arah pandangan kita ke timur, di sana kita akan menikmati keindahan sebuah padang nan luas, yang letaknya di titik garis perbatasan antara Timor Leste-Indonesia.
Di sana juga kita akan melihat sebuah kampung kecil yang sering kali masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Hale.
Lalu saat arah pandangan kita menuju barat, di sana kita akan melihat sebuah tempat yang bersejarah dalam iman kekatolikan yakni Lifau, yang diyakini sebagai tempat pertama bangsa Portugis mendarat dan menyebar-luaskan agama Katolik di pulau Timor.
Sedangkan jika kita mengarahkan pandangan mata kita ke bagian utara, di sana kita akan melihat sebuah gunung yang terbentang panjang dari desa Manamas sampai Oecusse.
Menurut masyarakat setempat, gunung tersebut biasanya disebut dengan nama gunung Faunoem.
Dan pada saat arah pandangan kita ke bagian selatan, maka di sana kita akan
melihat wilayah Bitefa dan Napan.
Kemudian di atas puncak Leolbatan bertahta patung Bunda Maria. Orang Leolbatan menyebutnya dengan nama Santuariu Estatua Nossa Senhora Pelegrina Leolbatan.
Jadi, orang-orang yang berkunjung ke puncak Leolbatan ini bukan hanya untuk menikmati keindahan tetapi membawa wujud mereka dalam doa di bawah kaki Bunda Maria karena masyarakat setempat percaya bahwa Bunda Maria, Bunda Peziarah sebagai pelindung kampung tersebut.
Jadi, pada saat ini kampung tua yang disebut Leolbatan sedang menata diri dalam berbagai aspek kehidupan bahkan sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang Timor Leste khususnya orang-orang Oecusse sampai ke orang-orang Naibenu-Indonesia.
Harapan pun kian membara akan datangnya perubahan melalui konsep out of the box sehingga makin banyak tercipta kreativitas demi menata kampung tua ini menuju perubahan dan berdaya saing di era global. Terutama menjadi beranda perbatasan di negeri Timor Leste yang elegan.
Penulis: Sevri Koa