Oleh: Marselus Natar
(Biarawan pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus dan mahasiswa aktif pada STIPAR ATMA REKSA, Ende)
Mendengar nama Yudas Iskariot, yang terlintas dalam pikiran kita adalah pengkhianat.
Label ini melekat kuat dalam diri Yudas Iskariot dan dalam ingatan kita tentangnya.
Penjahat kelas kakap yang bersekongkol dengan imam-imam kepala untuk menyalibkan Yesus.
Telah banyak karya tulis, buku, karya seni dan diskursus yang melukiskan tentang Yudas orang kampung Kerioth; Yudea, wilayah selatan Israel itu, dengan substansi bahwa Yudas adalah penjahat besar.
Di antaranya adalah Dante Alighieri dalam karyanya: Inferno, menempatkan Yudas di alas neraka jahanam sebagai hukuman atas dosa yang diperbuat, Giotto di Bondone lewat karyanya bertajuk: Kiss of Judas (Ciuman Yudas) atau Leonardo da Vinci dalam karyanya yang cukup terkenal yaitu The Last Supper (Perjamuan Terakhir) yang menggambarkan Yudas
lebih kecil dan lebih gelap dibandingkan dengan 11 murid Yesus lainnya, serta menggenggam tas yang mungkin berisi uang hasil kejahatannya.
Yudas Iskariot dilabeli sebagai pengkhianat tentu bukan tanpa alasan mendasar.
Sebagaimana diketahui bahwa Yudas adalah salah satu dari ke 12 murid Yesus. Yudas bukan orang asing bagi Yesus.
Yudas adalah orang pilihan, orang yang kenal baik tentang Yesus, orang yang selalu bersama Yesus, bahkan dipercayakan sebagai bendahara para murid.
Apa artinya dipercayakan menjadi bendahara? Salah satu kriteria umum terhadap tugas yang diemban Yudas
adalah dapat dipercaya dan memilki kejujuran.
Maka konsekuensi logis atas diri Yudas adalah orang yang dapat dipercaya dan memilki kejujuran.
Namun jika Yudas adalah orang yang dapat dipercaya dan memilki kejujuran, mengapa kemudian ia menjelma menjadi manusia pengkhianat dengan motif pengkhianatannya adalah uang?
Yohanes (12:6) dengan gamblang menyatakan bahwa Yudas itu seorang pencuri yang mengambil uang dari uang kas yang dipercayakan kepadanya.
Besar kemungkinan bahwa tindakan pencurian uang yang dilakukan Yudas didorong oleh keinginan yang sangat besar untuk memiliki uang dengan maksud menyimpannya untuk diri
sendiri.
Tindakan demikian adalah wujud nyata atau bentuk konkret dari konsep ketamakan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa motif Yudas “menjual” Yesus sesungguhnya bukan sekadar soal uang tetapi lebih dari pada itu yakni ihwal ketamakan.
Ketamakan terjadi berangkat dari pemahaman yang keliru tentang uang dan benda materi lainnya.
Uang pada hakikatnya merupakan alat dan bukan tujuan. Di sini, yang jahat bukanlah uangnya, tetapi hasrat atau
keinginan manusia akan uang.
Memiliki uang adalah masalah pilihan, namun apakah kita menggunakannya untuk sesuatu yang berguna?
Uang adalah benda yang diterima masyarakat umum sebagai alat tukar dalam kegiatan ekonomi.
Dalam ilmu ekonomi tradisional, uang
didefinisikan sebagai alat tukar. Sedangkan dalam ilmu ekonomi modern, uang memiliki makna yang lebih luas.
Uang diterima sebagai alat pembayaran transaksi jual beli atas barang dan jasa,
serta kekayaan atau aset berharga lainnya, dan juga sebagai alat pembayaran utang.
Dewasa ini banyak orang, teristimewa dikalangan para pejabat melakukan tindakan koruptif atau penggelapan uang negara untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, kolega atau pun lembaga tempatnya mengabdi.
Ketamakan telah membutakan mata hati nurani dan pikiran dari para koruptor. Lebih lanjut, penginjil Matius juga mengisahkan tentang ekspresi penyesalan Yudas setelah mengetahui bahwa Yesus dijatuhi hukuman mati.
Ekspresi penyesalan Yudas tersirat dalam tindakannya, yakni mengembalikan uang tiga puluh perak yang diterimannya kepada imam-imam kepala.
Namun para imam kepala secara halus menolak uang yang diserahkan Yudas kepada mereka, dengan dalil bahwa apa yang dilakukan Yudas bukanlah urusan atau pun tanggung jawab mereka.
Setelah mengalami penolakan tersebut, Yudas kemudian melemparkan uang perak tersebut ke dalam Bait Suci lalu pergi meninggalkan tempat tersebut dengan maksud menggantung diri.
Imam-imam kepala mengambil uang perak tersebut dari dalam Bait Suci, sebab tidak diperbolehkan memasukkan uang darah ke dalam peti persembahan.
Mereka pun bertukar pikiran untuk mencari solusi atas penggunaan uang tersebut.
Alhasil, imam-imam kepala itu
memutuskan bahwa uang tersebut digunakan untuk membeli tanah yang disebut Tanah Tukang Periuk untuk dijadikan tempat perkuburan orang asing.
Pernyataan penyesalan Yudas juga
tersirat dalam pernyataanya, “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tidak bersalah.”
Penyesalan selalu datang terlambat, demikian pepatah mengatakan. Sifat-sifat seperti kerakusan, cinta diri, ketamakan, keserakahan akan membutakan mata hati nurani dan akal sehat sehingga menimbulkan kecerobohan dan sikap gegabah dalam mengambil keputusan.
Pengkhotbah (5:9) mencatat bahwa siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak pernah puas. Sifat tidak pernah puas inilah yang sering
dimanfaatkan iblis untuk membujuk manusia agar terus mengejar kekayaan, hidup dalam ketamakan, keegoisan dan keserakahan yang menjerumuskan manusia ke dalam dosa.
Kepada kita, Yesus sendiri pernah berkata bahwa, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada
Mamon.” (Matius 6:24), dan “Jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Lukas 16:11).
Cinta akan uang akan menjadi sebuah celah bagi iblis untuk menghancurkan hidup kita.
Sebagai orang Kristen, sifat kerendahan hati yang ditonjolkan dalam kehidupan Yesus hendaknya juga menjadi bagian dari sifat kita dalam tugas dan pelayanan yang kita lakukan.
Semoga kita semakin tumbuh dewasa dalam iman akan Kristus, sehingga senantiasa meletakkan dan mengutamakan ajaranNya
dalam setiap langkah hidup ini.