Oleh: Lini Rantini
Sungguh sebuah ironi, Negara Indonesia yang dari hakikatnya menjunjung tinggi martabat manusia seturut amanat Pancasila dan Undang-undang Dasar, justru menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya benih perdagangan manusia (human trafficking).
Actus humanus manusia memperdagangkan manusia, tak lagi dipandang sebagai hal yang tabuh di negara ini dan malah sebaliknya menjadi semacam kompromi sosial demi meningkatnya pendapatan ekonomi.
Human trafficking secara paksa merebut luhurnya martabat dari seorang individu. Dengan adanya kasus perdagangan manusia, kodrat keberadaan manusia sebagai makhluk yang bebas dan luhur, kini tak lagi diperhitungkan dan secara paksa diganti dengan identitas baru yaitu sebagai budak human trafficking serentak menjadi model perbudakan modern masa kini.
Perdagangan manusia dalam hukum nasional dikategorikan sebagai tindakan keriminal yang terorganisasi.
Sebab di dalamnya terlibat sekumpulan orang yang memulai aktivitas kejahatan dengan melibatkan diri pada pelanggaran hukum untuk mencari keuntungan secara ilegal, serta mengikatkan aktivitasnya pada kegiatan pemerasan human trafficking.
Ini biasanya menjerat perempuan dan anak di bawah umur. De facto fenomena ini kian mengental tiap tahunnya, dan bahkan yang lebih ngerinya lagi kasus serupa bukan saja terjadi lintas daerah dalam negeri melainkan melibatkan dunia internasional. Tambah pula, human trafficking dewasa ini sudah melewati batas-batas teritorial sebuah negara.
Tak dapat dielak bahwa factum human trafficking menggugah kesadaran kita untuk berhenti sejenak dan bersama-sama menemukan jalan terbaik guna menyelamatkan kaum hawa dari lilitan yang membelenggu haknya.
Tak ada lagi waktu untuk berpangku tangan. Saatnya sebagai putra-putri yang lahir dari bangsa yang sama, kita dipanggil untuk menyelamatkan saudari-saudari kita yang menjadi korban perdagangan.
Tugas mulia ini semakin mendesak untuk mengingatkan kita adalah orang-orang yang dipanggil secara khusus untuk memperhatikan mereka yang kecil dan menderita.
Perempuan: “Komodati” Unggul dalam Human Trafficking
Perdagangan manusia dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang, didefenisikan sebagai tindakan perekutan, pengangkutan, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau menfaat sehingga memperoleh persetujuan orang yang memegangkendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antarnegara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Human trafficking adalah sebuah tindakan pidana yang paralel dengan tindak kejahatan manusia. Sebab menjadikan individu atau kelompok orang sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban human trafficking.
Catatan berdasarkan data Komisi Perlindungan dan Anak Indonesia (KPAI), hingga tahun 2022 masih ada lebih dari 1,7 juta anak Indonesia yang menjadi pekerja.
Bahkan, 400 ribu di antaranya terpaksa bekerja untuk pekerjaan yang buruk dan berbahaya, seperti perbudakan, pelacuran, pornografi, perjudian, pelibatan narkoba, dan lainnya.
Catatan tahunan Komnas 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466) Kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari 13.568 kasus yang ditangani 209 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di provinsi, serta sebanyak 392.610 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama (Bdk. CATAH Komnas Perempuan 2019).
Dari jumlah ini, tiga angka terbesar kekerasan dalam ranah komunitas adalah perkosaan, pencabulan, dan perdagangan orang.
Perdagangan yang menempatkan wanita pada posisi sebagai komodati utama dalam actus jual-beli disinyalir merupakan bisnis yang menguntungkan dan membentuk piramida uang dalam waktu singkat.
Ironisnya, kaum wanita yang sendiri kodratnya adalah pribadi yang martabat dan merdeka, tak diberi kebebsan sedikitpun untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
Martabatnya manusia ditelanjangi dengan sangat sadis. Ia bukan lagi sebagai subyek melainkan obyek. Relasi dalam ranah ini bukan lagi dibangun di atas konsep I-You tetapi I-It.
Wanita bukan lagi manusia melainkan barang yang dengan bebas diperjualbelikan dan bahwa di bawah hingga ke dunia yang tidak diinginkannya.
Saatnya Bertindak: Kembalikan Martabat Kaum Hawa
Human trafficking dalam waktu yang relatif singkat serentak menjadi persoalan masyarakat dunia. Sebab de facto perdagangan manusia melibatkan para pelaku yang menjamur di seluruh dunia.
Dunia Internasional tampaknya mengamini bahwa human trafficking merupakan kejahatan kemanusiaan terbesar abad ini.
Karena itu, atas nama kemanusiaan, semua negara beradab tak terkecuali Indonesia dituntut untuk memberi perhatian yang besar pada penyelesaian masalah ini baik skala namional maupun dalam skala internasional.
Kesungguhan Indonesia dalam penyelesaiann kasus ini tampaknya diragukan oleh dunia Internasional.
Saatnya negara yang beradab, Indonesia seharusnya malu melihat persoalan yang sebenarnya bukan terletak pada apakah Indonesia tidak mempunyai hukum yang mengatur masalah perdagangan orang melainkan apakah negara ini konsisten menjalankan peraturan perundang-undangan itu.
Indonesia bukannya tidak memiliki hukum, melainkan cukup lemah dalam menerapkan hukum negaranya. Hukum negara ini tidak lebih dari sebuah catatan belaka yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Saatnya bagi kaum hawa di Indonesia untuk berbenah dan peduli terhadap martabat kaum perempuan sekaligus anak di bawah umur yang menjadi korban perdagangan.
Di banyak sudut kota, terdengar tangisan para wanita yang tercabik harkat dan martabatnya. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab mendengar tangisan lirih ini dan berani menumpas kejahatan yang terbungkus apik dalam human trafficking.
Ungkapan “Kembalikan martabat kaum Perempuan dan anak” menjadi semacam terikan kaum hawa yang merasa muak dengan hukum negara ini yang membenarkan apa yang pernah dinubuatkan oleh Thomas Hobes:“ketika hukum difundasikan pada kesepakatan, hukum tidak pernah merugikan pihak-pihak penguasa yang bisa dengan mudah membeli suara sepakatnya tetapi dengan gampang menindas mereka yang lemah”.
Akibatnya, hukum tidak lebih dari itu yang menghadirkan penindasan bagi mereka yang kecil yang tidak memiliki akses kekuasaan (karena tidak ada uang untuk membeli kata sepakatnya).
Keberadaan manusia sebagai pribadi yang integral akan menjadi lebih utuh ketika esensi kemanusiaan dihargai.
Esensi itu adalah martabat kemanusiaannya yang luhur dan mulia yang didapatnya dari Sang Pencipta kehidupan. Tak ada seorang manusiapun yang berhak merampas martabat itu dari dari sesamanya.
Karena itu, dapat dipastikan bahwa perdagangan manusia adalah kejahatan kemanusiaan yang terbesar sebab ia menelanjangi martabat sesama manusia.
Karena itu, putting the last first hendaknya menjadi spirit kita bersama dalam memperjuangkan keadilan dan persamaan hak khususnya bagi kaum perempuan dan anak.
Catatan Ahkir
1. Actus humanus adalah tindakan yang dipertimbangkan secara rasional dan dikehendaki secara bebas.
2. Bdk. SRI Nurherwati, “Piramida itu Adalah Perdagangan Orang”, Jurnal Ledalero, Vol.13, No.1 (Juni, 2014) hlm. 80-81.
3. Bdk. Kasus Eksplotasi Anak di Bawah Umur di Kab. Sikka-Maumere, https//m.mediaindonesia.com . diakses pada 18 September 2021.
4. Laporan Human trafficing yang diberikan oleh US Depertemen of Justice bulan Juni 2002. Memasukan Indonesia dalam kelompok Tier 3. Perikat ini diperoleh Indonesia berdasarkan pada penilaian bahwa pemerintah belum sepenuhnya melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencegah terjadinya perdagangan manusia.
5. Indonesia sebagai negara hukum tentang tindakan pidana perdagangan seperti UU No. 21 tahun 2007 tentang HAM.