Ruteng, Vox NTT- Lembaga Oxfam Indonesia merayakan International Women’s Day 2022 atau Hari Perempuan Internasional dengan menggelar hybrid talkshow, Selasa (08/03/2022).
Talkshow dengan tema #PuanTuanSetara: Menghapus Bias dan Stigma pada Kepemimpinan Perempuan di Indonesia itu berlangsung baik offline maupun online melalui aplikasi zoom.
Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber, yakni Ketua DPRD NTT Emi J. Nomleni dan Mantan Ketua Komnas Perempuan RI Yuniyanti Chuzaifah.
Direktur Oxfam Indonesia, Laura Marianti, dalam sambutannya mengatakan pemimpin perempuan wajib didorong.
Sebab, dalam diri pemimpin perempuan yang ditemukan Oxfam pada berbagai daerah di Indonesia mampu membangun kepemimpinan yang penuh damai (peaceful).
“Mereka tidak menggunakan tombak, tetapi mereka melakukan upaya-upaua negosiasi, mengintegrasikan dengan isu-isu ekologis,” jelas Laura.
Meski begitu, dalam konteks nasional, masih ditemukan adanya kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan.
Misalnya, sebut Laura, di berbagai wilayah ada aturan menggunakan pakaian-pakaian tertentu. Bagi perempuan yang tidak menuruti aturan tersebut, maka bisa ditarik ke belakang saat ada acara atau tidak dinaikan pangkatnya.
“Nah, itu yang menggambarkan kepemimpinan perempuan terutama dalam birokrasi atau lembaga-lembaga negara,” katanya.
Tidak hanya itu, ada juga kebijakan untuk melarang perempuan keluar malam. Kebijakan ini dinilai Laura bisa menghambat kepemimpinan perempuan.
“Jadi, perempuan jadi pemimpin yang harus kita dorong adalah yang mengutamakan politics of care, politik yang peduli, memeluk dari pada harus menaklukkan, menstimulasi dari pada mengedepankan penghakiman,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD NTT Emi J. Nomleni dalam materinya mengatakan, kepimpinan perempuan di Indonesia sangat kurang apalagi di NTT.
Menurut dia, hal tersebut terjadi karena banyak persepsi bahwa pemimpin perempuan, baik di perusahaan maupun lembaga, cenderung tidak tegas dan tidak cepat.
Padahal, lanjut Nomleni, perempuan juga memiliki kekuatan yang sangat luar biasa untuk memimpin.
“Misalnya banyak mama-mama yang kelihatannya lemah, tetapi mereka lebih tegas kalau di rumahnya,” jelas politisi PDIP itu.
Ia menegaskan, dalam hal-hal tertentu perempuan justru lebih rasional ketimbang laki-laki. Sebab, perempuan dinilai selalu akomodatif.
“Kalau berbicara tantangan itu lahir dari waktu yang panjang, karena kita punya budaya yang patriarki yang tinggi, yang tidak memberikan ruang yang cukup untuk perempuan,” ujar Nomleni.
Menurut dia, budaya patriarki dan stigma terhadap perempuan tentu menjadi tantangan berat karena perempuan masih dianggap lemah.
“Itu juga ada dalam diri kita, secara internal kita terjebak dalam posisi itu sehingga kadang-kadang kita itu tidak percaya diri, tidak percaya diri bukan karena tidak punya kemampuan, tetapi ada yang sudah tertanam di mindset kita, bahwa kalau perempuan salah omong di depan orang banyak itu bahaya, tapikan laki-laki juga sering salah ko, dan ini kita butuh waktu yang lama untuk pemulihan,” jelas Nomleni.
Penulis: Ardy Abba