Oleh: Alfaro Manhitu
Bahasa merupakan kesanggupan manusia dan jembatan untuk berkomunikasi dengan sesama baik itu dengan kata maupun gestur demi mencapai sebuah hubungan sosial yang menyatukan, mendamaikan dan menentramkan.
Namun, bahasa sering di salah gunakan dan bahkan di salah artikan sehinga terkadang jadi belati dalam relasi sosial pluralis. Atau dengan kata lain, bahasa atau kata-kata lebih tajam daripada pedang.
Kata sering menjadi duri yang menikam dan melukai, dijadikan sebagai senjata untuk mengkambinghitamkan serta menjadi pemicu suatu problem.
Salah satu contohnya, kasus dari mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama (Ahok) yang sempat viral di media sosial 2017 silam.
Bagaimana bahasa Ahok yang dinilai sebagai sebuah penistaan terhadap agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu kala itu.
Berakar dari pidatonya ini, hadirlah berbagai kritikan panas juga protes dari berbagai pihak dengan seribu macam sudut pandang sampai menjeboskan Ahok ke penjara.
Kemudian, di tahun berikutnya muncul kasus yang sama pula, yang kembali terdengar dan tampak hampir di setiap telinga juga mata penikmat dunia ‘jari’.
Keluhan seorang ibu rumah tangga atas volume toa di masjid finish pada Pengadilan Negeri Medan yang menjatuhkan vonis kepada Meliana, atas kasus penistaan agama. Sedih sekali melihat hal ini.
Mentri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Quomas, pada tanggal 18 februari 2022 menerbitkan Surat Edaran MenAg. No. 05 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Surat edaran ini dikeluarkan dengan maksud untuk meningkatkan ketentraman, ketertiban dan keharmonisan antarwarga masyarakat.
Namun sayangnya, dalam surat tersebut hanya menerangkan pedoman penggunaan toa dan tidak memiliki sanksi untuk pelanggaran terhadap surat edaran tersebut.
Surat edaran ini menuai kritikan dari berbagai pihak. Seorang politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf yang menjabat sebagai Ketua DPP merasa keberatan dengan surat edaran tersebut.
Menurutnya, dengan diterbitkannya surat edaran terkait penggunanan teknis volume toa di masjid dan musala tersebut “seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” kata Bukhori.
Dia menilai bahwa aturan tersebut dapat membebankan masyarakat dimana negara tidak perlu mengintervensi hingga urusan teknis peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat.
Memang pengeras suara di masjid dan musala adalah sebuah kebutuhan, namun di lain sisi, perlu diketahui bahwa Yaqut (MenAg) memiliki pertimbangan yang kritis, rasional dan memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
Ia sadar dan mengakui bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam, baik itu agama dan keyakinan, latar belakang, suku dan ras sehingga perlu adanya upaya dalam merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Dengan bahasa saja, entah itu bahasa formal atau informal, dalam bentuk lisan maupun tertulis dapat mengemparkan satu bangsa yang besar ini seperti halnya surat edaran yang dikeluarkan MenAg.
Begitulah setiap bangsa dalam perjalanan pengembaraannya. Terkadang ada titik maju, ada pula titik mundur untuk melatih kekritisan dalam menanggapi sebuah isu sosial politik juga sebagai ujian ketahanan.
Saya sendiri mengapresiasi surat edaran yang dikeluarkan MenAg ini. Ia berani mengambil keputusan yang sedikit ekstrem.
Dengan dikeluarkannya surat edaran ini, dapat dikatakan bahwa MenAg memiliki jiwa yang cinta akan toleransi dan keadilan. Maka dengan demikian, MenAg sendiri mulai menggerak-majukan bangsa ini menuju titik keadilan di dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Namun sayangnya, surat keluaran tersebut masih memiliki kekurangan yang perlu dikritik dan ditambah. Yakni salah satu halnya itu terkait sanksi bagi pelanggar surat keluaran tersebut.
Perlu diketahui bahwa, mental masyarakat kita ini adalah mental yang keras, mental yang suka ‘berperang’ tapi sayangnya mental ‘perang’ ini hanya terbatas di dalam lingkup bangsa ini demi kepentingan dan kemajuan satu dan dua kelompok mayoritas saja.
Tidak adanya mental ‘perang’ yakni bertujuan untuk kepentingan bersama demi kemajuan bangsa ini. Memang bangsa ini adalah bangsa yang multikultur yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, namun perlu disadari bahwa kita semua ini bergerak di bawah payung Pancasila dan ‘diikat’ dalam Bineka Tunggal Ika.
Oleh karena itu, saya mengusulkan agar dalam surat edaran tersebut MenAg harus konsisten dengan apa yang telah dikeluarkan sejauh mana tidak mengucilkan satu atau dua kelompok tertentu.
Perlu juga dicantumkan beberapa poin penting terkait sanksi bagi mereka yang melanggar.
Saya sendiri yakin, apabila surat tersebut memiliki sanksi yang berlaku bagi mereka yang melanggar pastinya bangsa ini akan terasa damai dan tentram karena tidak ada lagi kaum mayoritas yang menganggap diri lebih tinggi dari kaum minoritas.
Kesetaraan perlu diwujud-nyatakan agar tak ada lagi keluhan dari kaum minoritas yang kemudian, penjara menjadi finish dari keluhan itu.
Marilah bersama-sama kita berjuang untuk saling menerima dan menciptakan situasi harmonis dalam keadilan berbangsa dan bernegara, sebab dengan cara inilah kita dapat mencapai sebuah keutuhan yang autentik dan riil dalam berbangsa dan bernegara.