Oleh: Wilibaldus Kuntam
Tenaga Ahli Komisi III DPR RI
Diskusi seputar parpol oposisi di Manggarai semakin ramai belakangan ini. Media massa dan media sosial pun ramai membahasnya. Rupanya ada yang beda dari oposisi kali ini.
Sebelumnya, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengambil posisi oposisi secara berani dan terbuka. Kini posisi oposisi dimainkan pula oleh parpol penghuni koalisi.
Posisi sebagai oposisi dari parpol koalisi terlihat dari pernyataan beberapa anggota dewan dari parpol koalisi saat sidang paripurna. Satu anggota dewan menilai bupati Manggarai sudah omong kosong.
Sementara yang satunya mengaku malu atas persoalan perekrutan Tenaga Harian Lepas (THL) yang masih menjadi polemik hingga kini (VoxNtt.com/22/03/2022).
Sebetulnya, mereka beroposisi dengan basis argumentasi yang sama, yakni agenda perubahan yang didengungkan saat kampanye tahun 2020 yang lalu hanyalah omong kosong belaka.
Bagi mereka perubahan hanyalah jargon politik demi meraih kemenangan pada saat Pemilukada. Kurang lebih begitu.
Bila dikaji secara mendalam, posisi oposisi di negeri ini mempunyai karier yang buruk. Oposisi mudah dihakimi sebagai pembangkang dan penghambat pembangunan.
Ini memang kesalahan orde baru yang diwariskan kepada generasi sekarang. Karena mempunyai karier buruk, oposisi mudah ditanggapi secara irasional dan emosional oleh kelompok tertentu.
Sembari diakui pula bahwa kelompok irasional dan emosional itu pulalah yang kelak menikmati hasil kerja oposisi. Meski begitu, oposisi adalah keharusan dalam berdemokrasi.
Tanpa oposisi demokrasi tidak terkonsolidasi dengan baik. Apakah ini omong kosong belaka? Tentu tidak. Bila ada yang mengatakan ini adalah omong kosong belaka, saya begitu khawatir bahwa orang itu tak paham soal sejarah perkembangan demokrasi di Manggarai.
Tak hanya itu, orang itu mesti diwaspadai karena bisa berperan sebagai parasit pemangsa demokrasi. Artinya ia hidup dari demokrasi tapi pada saat yang sama mematikan demokrasi.
Tapi mengapa oposisi itu perlu? Tentu beragam alasannya. Dari beragam alasan itu, satu yang tidak boleh kita lupa bahwa tanpa oposisi, rezim yang sedang berkuasa akan otoriter dan korupsi.
Otoriterianisme dan Korupsi
Sejarah seringkali memberikan pelajaran kepada kita bahwa pemerintahan yang menolak oposisi akan cenderung otoriter.
Otoriterianisme pun menjadi biang perilaku korupsi. Korupsi yang beranakpinak di berbagai daerah belakangan ini, terutama semenjak pemikukada langsung, salah satu sebabnya adalah pemimpin yang terpilih alergi kritikan.
Apa yang saya sampaikan ini bukan mimpi. Bolehlah kita mengambil contoh kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Mereka yang terlibat skandal korupsi di beberapa daerah termasuk Nusa Tenggara Timur, umumnya cenderung tertutup dan menolak kritikan oposisi.
Setiap kritikan yang dilontarkan kelompok oposisi mudah dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Malahan ada yang lebih dari itu, oposisi dikriminalisasi!
Dari berbagai kasus korupsi kepala daerah pula, ada satu yang tak boleh dilupakan bahwa hubungan saling menguntungkan antara penguasa atau pengusaha menjadi sebab korupsi.
Memang peran pengusaha penting untuk konsolidasi demokrasi lokal tapi pada saat yang sama pula justru bertolak belakang. Di sini pengusaha bisa tampil sebagai “parasit pemangsa”.
Ia hidup oleh demokrasi sembari mematikannya. Itulah sebabnya muncul desakan “demokratisasi bisnis” di mana-mana.
Karena oposisi sangat penting, maka oposisi perlu dirawat. Oposisi tentu bukan sekedar beda pendapat dan pilihan politik tapi soal argumentasi yang rasional dan solusi yang tepat. Bagaimana bila oposisi itu muncul dari parpol penghuni koalisi?
Oposisi Penghuni Koalisi
Peran oposisi yang dijalankan parpol koalisi terjadi karena beragam alasan. Bisa jadi beberapa hal berikut menjadi alasannya. Pertama, terjadi monopoli individu atau kelompok tertentu atas yang lain dalam partai yang berkoalisi.
Ambillah contoh soal monopoli pengerjaan proyek pembangunan daerah. Hal seperti ini memicu keretakan antara parpol koalisi.
Karenanya, individu atau kelompok yang terhempas dalam kompetisi internal akan berkonsolidasi membentuk oposisi.Biasanya koalisi semacam ini bersifat pragmatis dan tak bertahan lama.
Kedua, oposisi yang dibentuk sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa karena kepentingan rakyat sudah terabaikan. Penguasa lebih mengutamakan kepentingan ideologi partai dan kepentingan diri ketimbang kepentingan rakyat.
Ketiga, dominasi dan intervensi kelas pengusaha atau pebisnis dalam pengambilan kebijakan publik. Hal seperti ini bisa terjadi karena kontribusi dana kampanye dari pengusaha yang begitu banyak.
Beberapa kemungkinan di atas bisa menjadi alasan bagi parpol koalisi membentuk oposisi. Bagaimana dengan rakyat? Bagi rakyat, oposisi adalah keharusan guna menolak monopolisasi dalam berbagai hal oleh individu atau kelompok tertentu.
De-monopolisasi
Rakyat ingin agar demokrasi tingkat lokal Manggarai terkonsolidasi dengan baik. Ini hanya mungkin jika kelompok oposisi terbentuk. Di sini demokrasi bisa diartikan dengan de-monopolisasi.
Monopolisasi tentang apa? Tentu banyak aspek. Monopoli urusan politik, ekonomi dan sosial. Monopolisasi ekonomi mencakup dominasi kelas yang berduit atas yang melarat.
Minoritas pengusaha yang kaya menguasai mayoritas masyarakat yang miskin. Akibatnya kelas pengusaha yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin.
Monopolisasi politik mencakup kuatnya pengaruh campur tangan pribadi dan kelompok tertentu dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Misalnya dalam penentuan jabatan dalam birokrasi pemerintahan.
Jabatan birokrasi hanya diisi oleh barisan pendukung bupati terpilih sekalipun tidak mempunyai kompetensi.
Monopolisasi sosial menyangkut campur tangan dan dominasi kekuasaan dari kelompok sosial tertentu atas kelompok yang lain.
Kekuasaan kelompok yang satu lebih kuat ketimbang kelompok yang lainnya.
De-monopolisasi ini sangat penting sekali karena selama pemilihan kepala daerah digelar secara langsung, muncul banyak bos-bos lokal yang berkuasa di berbagai daerah. Mereka acapkali menjadi bandit dan koruptor kelas wahid.
Oposisi adalah satu hal, namun kemampuan leadership bupati adalah hal lain. Agenda perubahan yang dianggap gagal oleh kelompok oposisi sebetulnya bisa diprediksi dari awal.
Menjadi kepala daerah pada masa pandemi seperti sekarang ini tidak mudah karena persoalannya yang kompleks. Karenanya, kita bisa bilang bahwa pemilukada tahun 2020 yang lalu hanyalah cangkang kosong.
Cangkang Kosong
Saya pernah menulis artikel sederhana tentang Pemilukada Manggarai sebelum pesta Pemilukada digelar tahun 2020. Judulnya “Cangkang Kosong Demokrasi Pemilukada”.
Intinya adalah siapa pun kepala daerah terpilih akan sulit merealisasikan perubahan di Manggarai. Mengapa? Banyak alasannya. Salah satu adalah defisit keuangan nasional yang berimbas di daerah sebagai akibat Covid-19.
Anehnya, barisan parpol koalisi kala itu justru optimistis dengan agenda perubahan bupati terpilih. Mereka begitu yakin bahwa perubahan bukanlah omong kosong belaka.
Kini anggota dewan yang optimistis itu justru menilai perubahan sebagai omong kosong semata.
Logikanya begini: bila bupati yang diusung adalah omong kosong, anggota dewan dan parpol yang mengusung pun omong kosong. Satu hal yang pasti dari omong kosong politisi itu adalah masyarakat satu kosong.
Kekhawatiran saya sebelum pemilukada itu terbukti. Ambillah contoh perekrutan THL yang kini menjadi polemik yang panjang.
Perkerutan THL semula dikritik oleh kelompok “oposisi sejati”, terutama Partai Demokrat dan PAN justru karena perekrutan itu terjadi saat daerah mengalami kekurangan finansial.
Ini bisa dianalogikan dengan pasangan yang menikah. Mereka menikah tapi tak punya uang. Karenaya, mereka berutang. Pasangan ini kemudian jatuh sakit. Dalam kondisi sakit, mereka pun mengeluarkan uang untuk membayar sesuatu.
Apapun tanggapan publik soal parpol oposisi di Manggarai tentu beragam hingga kini. Banyak yang mendukung tapi tak sedikit pula yang menolak. Ringkasnya, posisi parpol oposisi itu antara benci dan rindu.