Jakarta, Vox NTT- Kebocoran gas H2S dari sumur pengeboran panas bumi untuk aktivitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) kembali berulang, dan lagi-lagi memakan korban jiwa.
Setidaknya delapan orang dirawat intensif di RSUD Wonosobo dan satu orang meninggal dunia dalam peristiwa kebocoran gas H2S dari lokasi pengeboran sumur Pad 28 milik PT Geo Dipa Energi di Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Kejadian pada Sabtu, 12 Maret 2022, pukul 15.00 tersebut, bermula saat para pekerja tersebut tengah melakukan persiapan pengeboran di sumur Pad 28.
Saat melakukan pengecekan relief valve dari sumur Pad 28 itulah, para pekerja terpapar gas H2S dan mulai mual hingga pingsan.
Kejadian ini sejatinya bukan kecelakaan pertama pada proyek PLTP Dieng ini. Tercatat setidaknya sudah dua kali terjadi kecelakaan serius di PLTP Dieng sebelumnya.
Pertama, pada 30 Juni 2007 terjadi ledakan keras dari pipa brand water unit 9 milik PLTP Dieng. Peristiwa ini menyebabkan setidaknya 14 orang yang berada di sekitar pipa mengalami luka serius.
Kedua, pada 13 Juni 2016 terjadi ledakan di sumur Pad 30 saat para pekerja sedang melakukan pembersihan rutin. Akibat ledakan ini, enam orang pekerja mengalami luka bakar serius dan harus dirawat intensif di RSUD Wonosobo.
Tidak hanya di Dieng, peristiwa kecelakaan dari proyek PLTP kerap kali terjadi dan terus berulang, mulai dari kebocoran gas H2S, ledakan sumur dan pipa, hingga semburan lumpur panas yang mirip dengan semburan lumpur Lapindo.
Peristiwa bencana ini tidak jarang menyebabkan korban jiwa hingga merugikan warga yang sudah sejak lama beraktivitas di sekitar tapak tersebut.
Di Mandailing Natal, Sumatera Utara, contohnya, dalam dua tahun terakhir, terjadi tiga kali kecelakaan di proyek PLTP milik PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Desa Sibanggor Julu.
Pertama, peristiwa kebocoran gas H2S dari salah satu wellpad PT SMGP di Desa Sibanggor Julu pada 25 Januari 2021. Peristiwa yang terjadi di tengah persawahan dan pemukiman warga tersebut terjadi pada tengah hari saat warga tengah menggarap lahannya.
Kebocoran gas H2S tersebut menyebabkan lima warga meninggal, dua di antaranya anak-anak, serta setidaknya 49 warga dirawat di rumah sakit.
Kedua, pada 14 Mei 2021, terjadi ledakan dan kebakaran pada proyek PLTP milik PT SMGP yang hanya berjarak 300 meter dari pemukiman sehingga warga harus mengungsi hingga api bisa dipadamkan.
Ketiga, pada Minggu, 6 Maret 2022, terjadi kembali kebocoran gas H2S di Sibanggor Julu yang berasal dari salah satu sumur milik PT SMGP. Dari peristiwa ini, setidaknya 58 warga yang harus dirawat karena mengalami mual, pusing, muntah hingga pingsan.
Di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, potretnya pun tidak jauh lebih baik. Di proyek panas bumi Mataloko, berulang kali terjadi semburan lumpur panas dan gas yang muncul tiba-tiba di tengah perkebunan warga sejak 2009.
Daya rusak semburan lumpur panas disertai gas hidrogen sulfida (H2S) ini dirasakan setidaknya oleh warga di 11 desa yang tersebar di sekitar wilayah PLTP Mataloko, mulai dari atap seng yang kini lebih cepat berkarat dan bolong, tren penyakit infeksi saluran pernafasan yang semakin meningkat, hancurnya lahan persawahan dan ladang akibat terendam lumpur, hingga kegagalan panen warga karena hasil kebunnya tidak berbuah. Mulai dari kakao, kopi, cengkeh, alpukat, vanili, kemiri, dan jagung.
Pun begitu di tapak PLTP Ulumbu di Manggarai, NTT, yang beroperasi sejak 2011.
Uap panas yang keluar dari sumur-sumur geothermal di PLTP Ulumbu mengandung gas yang juga mempercepat korosi di atap-atap seng warga. Juga penurunan produktivitas pertanian warga sejak hadirnya PLTP Ulumbu.
Bahkan elang dan nuri yang kerap ditemui warga kini mulai menghilang. Aktivitas PLTP Ulumbu 6 juga menimbulkan permasalahan sosial, saling curiga antarwarga kampung, karena permasalahan pasokan air yang kini juga diambil untuk PLTP Ulumbu.
Kini di Wae Sano, Manggarai Barat, Flores, juga terancam permasalahan yang sama dengan Mataloko dan Ulumbu.
Pada 28 September 2021 lalu telah ditandatangani perjanjian kerja sama pengadaan lahan untuk proyek panas bumi antara Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dengan PT Geo Dipa Energi, perusahaan yang sama dengan pengelola PLTP Dieng, yang sudah berkali-kali mengalami kecelakaan.
Jelas saja rencana proyek PLTP Wae Sano ditolak keras oleh warga, karena titik-titik rencana pengeboran berada di ruang hidup warga, mulai dari pemukiman, lahan pencaharian, sumber air, rumah adat, gereja, dan sekolah.
Saat ini terdapat 64 Wilayah Kerja Panas (WKP) Bumi yang sedang dan akan dieksploitasi untuk PLTP. Artinya, ada 64 ancaman krisis dan teror yang sama dengan potret di tapak-tapak yang telah disebutkan di atas.
Lagi lagi rakyat yang ditumbalkan untuk pembangkitan energi yang diklaim bersih, rendah karbon, tapi menimbulkan banyak korban ini. Kini tercatat setidaknya terdapat 22 tapak WKP yang ditolakan warga setempat, baik yang sudah beroperasi maupun masih dalam tahap eksplorasi.
Untuk itu Jaringan Anti Tambang (Jatam) Indonesia mendesak untuk menghentikan seluruh tahap operasi proyek PLTP di seluruh daratan Indonesia. Pengurus negara harus melakukan langkah hukum yang tegas untuk menindak pengabaian keselamatan yang dilakukan oleh perusahaan selama ini.
Kemudian, mengevaluasi seluruh kontrak di 64 WKP, dimulai dari Sorik Marapi di Mandailing Natal, Dieng di Jawa Tengah, serta Mataloko, Ulumbu dan Wae Sano di Flores, untuk menjamin keselamatan ruang hidup warga.
Selanjutnya, membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM, Ahli, Masyarakat Sipil dan Korban untuk menyelidiki secara transparan dan akuntabel akar masalah serta dampak yang ditimbulkan di proyek panas bumi Mandailing Natal dan Dieng.***
Rilis: Jatam Indonesia