Ruteng, Vox NTT- Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman terus berkicau melawan wacana perpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Sebab menurut BKH, perpanjang masa jabatan presiden sudah jelas melawan konstitusi. Data yang dihimpun, perpanjang masa memang melawan konstitusi.
Sebab Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 telah menegaskan bahwa Pemilu dilakukan lima tahun sekali. Selain itu, Pasal 7 UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden dan wakilnya bersifat tetap yakni lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Di balik rencana tersebut, BKH mengajak agar tidak boleh takut melumpuhkan argumentasi dari mereka yang mengatasnamakan rakyat mau memperpanjang masa jabatan presiden dengan menabrak konstitusi.
“Hiiih, jangan takut dicap kadrun, dibuli, dibilang bodoh/tolol, dicaci maki, dan diancam sekalipun untuk mengatakan kebenaran, termasuk utk melumpuhkan argumentasi dari mereka yg mengatasnamakan rakyat mau perpanjang masa jabatan presiden dgn menabrak konstitusi.#RakyatMonitor,” cuit BKH lewat akun twitter-nya.
Sebenarnya tidak hanya BKH yang mengkritisi dan memberikan catatan atas munculnya wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi yang digulirkan sejumlah partai politik koalisi pemerintah, yakni Golkar, PKB, dan PAN.
Ada banyak pihak yang mengkritisi. Salah satunya Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Dilansir Bisnis.com, Direktur Eksekutif PSHK, Gita Putri Damayanti mengatakan wacana penundaan Pemilu 2024 tersebut amatlah problematik karena tidak memiliki kepada alas argumentasi konstitusional yang kuat dan lebih mengacu pada kepentingan politik praktis dan ekonomi jangka pendek elit penguasa.
Wacana tersebut juga membawa potensi imbas lain, yaitu bertambahnya masa jabatan Presiden serta lembaga lain yang dipilih melalui Pemilu seperti MPR, DPR, DPD, DPRD, bahkan Kepala Daerah.
Menurut Gita, jika terealisasi, usulan ini jelas bentuk pelanggaran terhadap Konstitusi. Sebab Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 telah menegaskan bahwa Pemilu dilakukan lima tahun sekali.
“Selain itu, Pasal 7 UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden dan wakilnya bersifat tetap yakni lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Terlebih konstitusi kita tidak membuka ruang penundaan pelaksanaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan,” ujat Gita dalam keterangannya, Jumat (4/3/2022).
Selain itu, penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan dengan mengubah bentuk konstitusi sangat cacat moral dan etika. Sudah jelas nilai-nilai konstitusionalisme justru bertujuan untuk membatasi kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan mengatur struktur fundamental ketatanegaraan.
“Perlu dipahami setiap periode presiden dan wakilnya memiliki tantangannya tersendiri dalam merealisasikan program-programnya, dan tentunya memiliki strategi masing-masing. Untuk itu diperlukan terobosan untuk merealisasikan program menjelang masa akhir jabatannya, bukan malah memperpanjang jabatan,” tegas Gita.
Merespons wacana yang melawan konstitusi tersebut, PSHK secara tegas mendesak presiden dan seluruh partai politik yang menjadi fraksi di DPR untuk bersikap setia dan bertanggungjawab dalam menjalankan ketentuan-ketentuan konstitusi.
“Presiden, wapres dan DPR sebaiknya fokus pada pekerjaan rumah yang belum selesai dalam waktu 2 tahun ke depan, di antaranya menyelesaikan persoalan Covid-19, mempercepat pemulihan ekonomi, menyelesaikan persoalan konflik agraria, pelanggaran HAM dan meningkatkan kinerja legislasi DPR,” ujarnya.
Penulis: Ardy Abba