Oleh: Tobias Gunas
Profesor atau Professor dalam bahasa Inggris sudah dikenal luas dan digunakan sejak abad 14-16 Masehi. Awalnya Profesor merupakan tradisi di kampus-kampus Eropa, kemudian berkembang menjadi tradisi akademik di berbagai Perguruan Tinggi di dunia.
Kata Profesor (Prof) menunjukkan makna kepakaran seseorang dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan sains (IPTEKS). Akhir-akhir ini, ikwal Profesor disorot publik dan lembaga akademik di Indonesia, pasalnya telah hadir saudara kembarnya, yakni Profesor Honoris Causa.
Tentu, saja kehadirannya memantik pro-kontra di ruang publik dan akademik. Bagi kita muncul pertanyaan “apakah profesor honoris causa diberikan untuk sebuah prestise ataukah prestasi akademik?
Pemberian gelar profesor sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005. Undang-undang ini secara tegas mengatakan bahwa profesor adalah jabatan fungsional tertinggi yang diberikan kepada dosen di lingkup perguruan tinggi.
Sesuai aturannya, dosen yang mendapat jabatan fungsional profesor berhak menyandang gelar Guru Besar (GuBes). Syarat yang harus dipenuhi juga sangat kompleks mencakup tiga dharma, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan publikasi, dan pengabdian kepada masyarakat.
Publikasi ilmiah pada jurnal bereputasi internasional terindeks Scopus adalah aspek penilaian yang sangat tinggi, selain publikasi di jurnal ilmiah nasional terindeks Sinta.
Demikian juga, jenjang pendidikan harus doktor. Proses yang harus ditempuh tidak instan, atau dengan kata lain melalui jalan yang panjang dan berliku. Dalam jenjang karir, Profesor berawal dari jabatan fungsional asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar.
Demikian kompleksnya, dosen di PTN dan PTS bersusah payah menghabiskan waktu yang lama untuk mendapatkan jabatan akademik prestisius tersebut. Kalaupun berhasil, jafung tertinggi Profesor bisa madya dan full professor, tergantung capaian angka kreditnya.
Di dunia kampus, Profesor lebih dari sekadar jabatan fungsional tertinggi. Menyandang Profesor mengindikasi seorang dosen memiliki kapasitas keahlian dan produktivitas ilmiah yang tinggi.
Keahlian dan produktivitas ilmiah merupakan pusat keunggulannya (center of excellence). Karenanya, seorang Profesor harus memiliki keunggulan akademik yang lebih dari dosen-dosen lain.
Wawasan atau pandangan keilmuannya berkontribusi signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan masyarakat.
Kehadiran Profesor memberi dampak ganda terhadap PT, dunia akademik, dan peradaban keilmuan suatu bangsa. Jadi sangat jelas Profesor di kampus mengutamakan prestasi akademik.
Boleh dikatakan jauh dari nuansa atau kesan pencitraan dan prestise sosial dalam jafung tertinggi itu. Parameternya yang digunakan jelas dan obyektif.
Selain Profesor kampus, dikenal juga Profesor riset khusus untuk para peneliti yang berkarya di bidang penelitian. Tuntutan juga tidak ringan, yaitu kualitas riset yang dihasilkan menjadi tolah ukur.
Bahkan ada dosen yang harus menelan pil pahit kegagalan, dan yang lain tidak pernah mendapatkannya sampai pensiun. Masih segar dalam ingatan publik, kasus profesorship dosen dari FMIPA Universitas Indonesia yang tidak lolos dan berujung pada pengajuan Judicial Review di MK. Tragis, bukan?
Sejak bulan Juni tahun 2021, jagat akademik kita ramai karena dikejutkan dengan hadirnya saudara kembar Profesor HC (Honoris Causa). Kehadirannya mendampingi saudaranya yang senior Profesor sebagai jabatan fungsional tertinggi.
Tidak dapat dipungkiri, keberadaan gelar Profesor HC menimbulkan kontroversi karena tentu adanya perbedaan pandangan. Jawabannya tentu tidak bisa karena kelaziman seperti gelar Doktor HC.
Kalau dianalogikan dalam keluarga, dua saudara kembar itu pasti memiliki kesamaan dan perbedaan. Orang tua harus memiliki sikap dan pandangan yang jelas.
Dalam konteks ini, hemat penulis, perlu adanya solusi yang jelas dari pihak Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Pertama, pemerintah, dalam hal ini pihak Kemdikbudristek, membuat aturan tentang penganugerahan gelar Profesor Honoris Causa sebab belum dimuat dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.
Kedua, prosedur beserta sejumlah syarat perlu ditetapkan dengan jelas dan ketat. Misalnya, seorang kandidat Profesor HC perlu menyiapkan naskah akademik dan memiliki kontribusi keilmuan dalam bidang tertentu atau jasa yang luar biasa.
Selain itu, rekam jejak akademik yang bersangkutan harus terdokumentasi secara baik. Hal ini mencegah kemungkinan terjadinya pemberian gelar Profesor HC kepada orang yang salah.
Ketiga, integritas Profesor HC harus menjunjungi tinggi tiga aspek, yaitu Veritas (kejujuran), Probitas (kebenaran), Iustitia (Keadilan).
Keempat, asesmen terhadap dokumen pengusulan Profesor HC perlu melibatkan pihak ketiga, seperti lembaga pemantau pendidikan, untuk menjamin obyektivitas dan transparansi proses dan hasil penilaian.
Dan tidak kalah pentingnya, upaya bisnis gelar dapat diminimalisasi baik oleh pihak kampus, Kemdikbudristek maupun pemangku kepentingan lainnya. Kita sungguh berharap pemberian gelar Profesor HC dijauhkan dari nuansa politik dan populis.
Penulis: S1 Sastra Inggris dan S2 dalam bidang Pendidikan Bahasa. Ia sedang menempuh S3 bidang linguistik di Universitas Udayana Denpasar Bali.