Oleh: Joanes Pieter P.A. Calas
Manusia memiliki banyak dimensi yang dapat dikaji oleh semua disiplin ilmu. Tapi secara garis besar, dimensi manusia dibagi atas dua, sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu, manusia memiliki ciri biologis yang melekat atas pribadinya. Ciri ini tentu tidak dapat ditukar, ataupun dibagi kepada siapa saja. Karena struktur biologis dan kondisi biologis seorang merupakan suatu kesatuan yang membentuk suatu sistem kerja atas tubuhnya.
Pada dimensi sosial, manusia mengakui bahwa kekurangannya sebagai makhluk individu tidak dapat mendukung keberlangsungan hidupnya.
Dia menyadari, bahwa keberadaan orang lain di sekitar menjadi penopang aktivitas sosialnya. Sehingga mendorong seorang individu untuk senantiasa berelasi dengan manusia lain untuk mendukung kehidupannya.
Saat berinteraksi dengan manusia lain, hak individu seorang manusia secara terpaksa harus ditinggalkan, mengingat bahwa adanya pusaran hak- hak orang lain di luar dirinya yang perlu dihargai.
Kehidupan sosial itu sendiri yang menjadi alat kontrol bagi dirinya untuk menciptakan kehidupan yang konformis.
Bentuk kedewasaan sosial ini datang dari proses pembiasaan yang dibangun secara kontinu.
Sehingga saat berinteraksi dengan sesama tidak ada taburan dominasi hak-hak individu di atas individu lain yang bisa mengikat kebebasan orang lain, melainkan akumulasi hak-hak bersama yang dibentuk atas kesepakatan kolektif.
Dalam konteks pendidikan, upaya memperkuat dimensi sosial seseorang dapat difasilitasi dalam bentuk-bentuk pembelajaran yang bermuara pada kecerdasan sosial.
Mengingat anak- anak perlu mempersiapkan diri untuk memasuki era demokratisasi, suatu era yang ditandai dengan keragama prilaku, dengan cara terlibat dan memahami secara langsung proses pendemokrasian ketika mereka sedang berada di-setting belajar (sekolah).
Penghargaan terhadap ketidakpastian, ketidaktentuan, perbedaan atau keragaman perlu ditumbukan sedini mungkin. Keterlambatan hanya akan memunculkan peluang terjadinya social disorder
Emotional Social Learning
Kompetensi sosial emosional merupakan kemampuan untuk memahami, mengelola dan mengaktualisasikan aspek-aspek sosial dan emosional kehidupan seseorang, sehingga seorang anak mampu meraih keberhasilan dalam hidupnya.
Pembelajaran sosial emosional penting diterapkan untuk melahirkan output siswa yang holistic, tidak monoton pada kecerdasan inteligensi, tetapi keterampilan sosial emosional yang juga harus tumbuh bersama kecerdasan inteligensi.
Mengingat, setiap anak akan menempati masa hidup yang paling panjang di lingkungan masyarakat, bukan di sekolah.
Hal ini penting, karena dengan mengenali sosial emosional anak didik, kita dapat mementukan langkah apa yang akan kita ambil ke depan.
Anak dibiasakan untuk membangun keterampilan sosial untuk menjadi mitra yang baik di lingkungan sosial.
Pembelajaran sosial emosional berbasis kesadaran penuh akan berdampak baik bagi anak didik. Dengan pembelajaran ini kita dapat memahami potensi anak didik kita.
Latihan berkesadaran penuh menjadi sangat relevan dan penting bagi siapapun untuk dapat menjalankan peran dan tanggung jawab dengan bahagia dan secara opimal. Ini termasuk pendidik, murid, dan orang tua.
Menurut Hawkins (2017) latihan berkesadaran penuh dapat membangun keterhubungan diri sendiri dengan berbagai kompetensi emosi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, sebelum memberikan respons dalam sebuah situasi sosial yang menantang, kita berhenti, bernafas dengan sadar, mengamati pikiran, perasaan diri sendiri maupun orang lain dan mengambil tindakan yang lebih responsif bukan reaktif.
Dengan memahami dan mengenali sosial emosional anak didik, mengaplikasikannya dengan mindfulness maka akan membawa dampak yang sangat luas bagi anak didik.
Hal ini karena semua dan apa yang kita lakukan akan kembali kepada anak didik sebagai jati dirinya.
Pembelajaran tidak lagi menuntuk anak untuk reflektif terhadap hal – hal pokok tetapi lebih luas lagi, anak didik tidak hanya sebagai objek dalam pembelajaran tetapi juga subjek dalam pembelajaran.
Bentuk pembelajaran seperti ini menjadi dasar bagi seorang anak agar menjadi makhluk social yang unggul, yang mampu berpikir dari prespektif orang lain saat berinteraksi dengan sesama.
Ada lima kunci yang harus dikembangkan untuk bisa menguasai pembelajaran sosial emosional sehingga bisa diaktualisasikan semaksimal mungkin.
Pertama, Kesadaran diri. Ini titik start bagi seorang siswa memeriksa nilai-nilai yang ada dalam diri.
Peninjauan mendalam terhadap diri sendiri ini termasuk juga mengenal kelebihan dan kekurangan individu, memiliki wawasan positif, dan memiliki rasa optimisme yang baik, serta kondisi penguasaan kesadaran diri yang tinggi memerlukan kemampuan untuk mengenali bagaimana pemikiran, perasaan, dan aksi bisa terhubung dengan baik.
Kedua, Manajemen diri atau kemampuan mengelola diri memerlukan kematangan berpikir dan perilaku yang bisa memfasilitasi pengaturan emosi dan tindakan seseorang.
Hal ini termasuk kemampuan untuk menekan naluri negatif, mengelola kondisi psikis, dan tekun menghadapi tantangan untuk bisa mencapai tujuan personal.
Ketiga, Kesadaran sosial. Di sini termasuk kemampuan untuk bisa memahami, berpikir di luar aspek individu, berempati dan merasakan cinta kasih pada mereka yang berbeda latar belakang dan budaya.
Untuk menguasai hal ini diperlukan pengertian tentang nilai dan norma sosial sebagai alat kontrol atas prilaku dan kemampuan mengenal lingkungan-lingkungan sosial yang serba variatif.
Keempat, Keterampilan dalam mengelola hubungan. Hal yang baik akan berpeluang membuat siswa mampu berperilaku dan bertindak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang ada.
Keahlian ini meliputi cara berkomunikasi, menjadi pendengar yang bijak, mampu bekerja sama, menolak tekanan sosial, bernegosiasi dengan konflik dan kritik membangun, dan berani membuka diri sebagai bentuk sikap menghargai orang lain.
Kelima, Bisa membuat keputusan yang akuntabel meliputi pembelajaran tentang bagaimana membuat pilihan yang membangun tentang perilaku personal dan interaksi sosial dalam skenario berbeda.
Mempertimbangkan aspek etika sosial,sesuai standar nilai dan norma, memperhatikan aspek-aspek kesehatan baik pribadi maupun orang lain, serta win win solution, membuat evaluasi realistis dari berbagai konsekuensi berbeda.
Kelima poin penting ini harus bisa menguasai wilayah moral dan wilayah berpikir seseorang dalam situasi apapun; sebagai landasan dalam proses sosial, baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, serta menjalankan adaptasi sosial yang baik pula.
Untuk itu, di setiap kesempatan kegiatan belajar mengajar, guru menerapkan segala praktik baik ini lewat sebuah perencanaan yang telah terkonsep.
Jadi, pembelajaran sosial emosional merupakan sebuah proses di mana individu mampu mengaktifkan pengetahuan, perilaku, dan keahlian yang dimiliki untuk memahami dan mengontrol emosi, menetapkan tujuan positif sebagai standar utama, merasakan dan berempati pada orang lain, merawat relasi positif dalam waktu yang relatif panjang dengan orang lain, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.