Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiwa Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang
Masa depan suatu bangsa tidak akan cemerlang ketika kualitas generasi penerusnya mengalami kemerosotan (dekadensi).
Berbanding terbalik dengan hal tersebut, masa depan suatu bangsa akan cemerlang ketika pertumbuhan kuantitas dari generasi penerusnya senada dengan peningkatan kualitas diri.
Artinya, pendidikan yang diterapkan mencakupi segala kebutuhan generasi muda.
Generasi muda atau yang seringkali kita sebut dengan kaum milenial diharapkan memiliki peningkatan bukan sekadar dalam ranah pengetahuan, tetapi meliputi moralitas, rasa nasionalisme dan sebagainya.
Dalam artian adanya peningkatan yang memadai dalam kehidupan generasi muda baik dari dalam diri sendiri maupun ditengah masyarakat.
Hal itu mengingat saat sekarang ini sangat identik dengan perkembangan teknologi informasi, yang merupakan produk dari modernisasi.
Sehingga, kehidupan fundamental generasi muda harus dipupuk dengan baik dan benar serta mencakupi keberadaan dan esensinya di tengah perkembangan zaman yang marak ini.
Dekadensi moral pada era milenial sekarang ini terjadi ketika arus modernisasi mampu menyuguhkan segala sesuatu yang berimbas pada merosotnya moral penduduk Indonesia terlebih kalangan pemuda.
Masalah krisis moral yang dialami khususnya di kalangan pemuda telah meluas, dan dapat mengancam masa depan bangsa.
Hal ini tentu harus segera diselesaikan, mengingat cita-cita Indonesia maju yang selalu disuarakan, namun sampai saat ini belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Perlu menuntut proses namun, harus menjadikan manusia sebagi subjek dari proses itu.
Bukan objek, sehingga sungguh melahirkan suatu tatanan kehidupan yang bermuara pada nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam mengkonstruksi moral generasi muda di era milenial tentu bukan perkara mudah, dan harus dilakukan sejak dini.
Menurut hemat saya ada dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemerosotan moral di era milenial saat ini, yaitu lingkungan keluarga, dan pengaruh lingkungan dan media massa.
Lingkungan keluarga menjadi fondasi pertama bagi seorang anak, di mana karakternya akan sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga.
Selanjutnya pengaruh lingkungan dan media massa juga akan membentuk jati diri yang sesungguhnya.
Artinya, dalam lingkungan dan dalam mengakses media massa, diperlukan sikap kritis dalam mencerna informasi yang ditawarkan.
Pada tahap inilah yang menjadi penentu seseorang memiliki moral yang baik atau tidak.
Dewasa ini, pengaruh lingkungan dan media massa atau perkembangan teknologi banyak menyebabkan terjadinya dekadensi moral karena salah dalam memaknai dan memanfaatkan perkembangan teknologi.
Fenomena dekadensi moral dapat di recovery dengan menanamkan pendidikan karakter sejak dini dalam lingkungan keluarga.
Pada fase ini, peran orang tua dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosi anak sangat vital dan akan menjadi sifat bawaan dari anak tersebut.
Penanaman karakter dalam lingkungan keluarga belum cukup dalam mongkonstruksi moral, sebab ketika beranjak dewasa anak tersebut akan menemukan lingkungan baru yang juga akan membentuk kepribadiannya.
Penanaman karakter dalam lingkungan keluarga akan menjadi fondasi karakter selanjutnya, namun tak sedikit yang mengalami kemundurun sebab pengaruh dari lingkungan baru tersebut.
Dalam mengkonstruksi moral generasi bangsa, tiga elemen negara yang meliputi masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta harus membangun sinergitas dalam menciptakan generasi emas Indonesia.
Adapun pemerintah dengan tupoksinya sebagai pemangku kebijakan, dapat menciptakan regulasi pendidikan yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai luhur, maupun pembinaan karakter kaum intelektual muda Indonesia.
Pembinaan karakter dalam instansi pendidikan formal belum mencapai output yang diharapkan.
Menurut saya hal ini terjadi karena pendidikan karakter tersebut banyak berupa teori, tanpa ada ruang implementasi dari nilai-nilai karakter atau moral.
Selanjutnya kehadiran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi patologi dalam pembinaan karakter.
Sebab HAM secara tidak langsung membatasi dominasi tenaga pendidik terhadap murid.
Sehingga, acuan yang diterapkan dalam sistem pendidikan belum mencapai tujuannya, sebab hanya sebatas teguran. Jika kesalahan diulang-ulangi oleh peserta didik.
Selanjutnya peran masyarakat, dan swasta dalam pembinaan karakter genarasi muda dapat direalisasikan dengan menumbuhkan dan melestarikan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Hal ini sangat penting untuk diciptakan, karena lingkungan masyarakat menjadi tempat tumbuh dan berkembang seorang anak setelah keluar dari lingkungan keluarga.
Lunturnya norma-norma di tengah masyarakat dapat kita lihat dari benyaknya kasus kriminalitas dan kenakalan remaja, sehingga memicu terjadinya dekadensi moral di era milenial.
Dengan memaksimalkan fungsi tiga elemen negara tersebut dan memanfaat modrenisasi atau perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin sebutan Smart Cities dapat dicapai oleh bangsa Indonesia.
Al Mukhollis Siagian dalam bukunya yang berjudul The Dinamics of Life menyatakan bahwa sebutan Smart Cities bagi Indonesia masih dalam bentuk Eupehisme.
Sejalan dengan itu keadaan moral generasi muda yang mengalami kemerosotan di era milenial ini menjadi penghambat dari terwujudnya Smart Cities.
Pada Hakikatnya konsep Smart Cities sejalan dengan Indonesia maju, di mana indikator tercapainya ialah terbentuknya generasi emas Indonesia yang memiliki kualitas Sumber Daya Manusia SDM mumpuni, dan tidak mengesampingkan moralitas, serta rasa nasionalisme.
Artinya generasi emas atau Smart Cities dalam merealisasikan Indonesia Maju memiliki tiga indikator yaitu peningkatan kualitas SDM, peningkatan moralitas, dan peningkatan rasa nasionalisme.
Namun tiga hal ini belum sepenuhnya terbentuk dalam individu masyarakat Indonesia.
Yang semestinya, ini sudah menjadi satu dalam diri masyarakat Indonesia yang notabenenya memiliki potensi dasar dalam diri setiap manusia Indonesia. Yang mana, hak kebebasan sudah diberikan sepenuhnya.
Dengan memaksimal peran dari tiga elemen negara (mayarakat, pemerintah, dan swasta) tadi, dalam menciptakan lingkungan yang syarat akan nilai-nilai luhur dan pendidikan karakter, baik di lingkungan pendidikan formal, dan lingkungan masyarakat, menjadi syarat terciptanya Smart Cities dan tercapainya cita-cita Indonesia maju.
Dalam memaksimalkan perannya sinergitas dari tiga elemen tersebut harus dibentuk, sehingga tercipta koordinasi yang baik dalam usaha mengkonstruksi moral tersebut di era milenial ini.
Dengan begitu ketika fungsi tersebut dapat dijalankan secara konsisten cita-cita Indonesia maju akan dapat tercapai dengan terbentuknya Smart Cities.
Di samping itu, dalam kerinduan manusia Indonesia akan kemajuan manusia Indonesia dalam bidang sumber daya manusia, alam, dan kesejahteraan dapat juga dicapai dalam suatu tatanan nilai-nilai moral bangsa yang bersumber dari nilai-nilai luhur.
Yang secara jelas terpatri dalam tubuh Pancasila. Sehingga, segala bentuk upaya yang diselenggarakan oleh para pemangku jabatan pemerintahan dapat juga direalisasikan dalam kehidupan manusia Indonesia di dalam bumi Indonesia.
Terlepas dari nilai-nilai luhur tersebut, kiranya generasi muda Indonesia mampu untuk memacu dirinya sebagai manusia Indonesia.
Dalam hal ini segala potensi-potensinya menuju keutuhan dan kepenuhan dirinya dan tujuan bangsa menuju pada suatu keterbukaan universal baik dalam bidang pendidikan, budaya, dan agama.
Akhirnya kecakapan-kecakapan manusia Indonesia mencapai tupoksinya. “Bangsa maju manusia merdeka”.