Oleh: Imanuel Bethoven Yavan
Mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng
Tak ada mimpi yang bisa dilarang, tak ada mimpi yang bisa dicekam. Menjadi negara maju di masa depan adalah tujuan ibu pertiwi.
Nusantara tidak ingin dijuluki sebagai Macan Asia tertidur, lagi pula mau sampai kapan tertidur terus.
Demi mencapai tujuan tersebut ada banyak perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sepeti pemerataan infrastuktur, peningkatan lapangan kerja, pemeratan pendidikan dan masih banyak lagi. Salah satu yang paling menarik dan menantang adalah digitalisasi.
Digitalisasi dalam setiap aspek kehidupan menjadi satu deri beberapa kekuatan fundamental dalam menyongsong persaingan di tengah dinamika globalisasi. Yang terbaru hadir dalam bentuk e-voting atau pemilihan umum berbasis elektronik.
“Pengadopsian teknologi digital dalam giat Pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate, baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu”
Ini adalah pernyataan dari Menteri Kominfo Republik Indonesia Johnny G. Plate dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu.
Dalam kegiatan itu, Menteri Johnny menyatakan, ada beberapa negara yang sudah dan akan menerapkan e-voting dalam pelaksanaan pemilu.
Menteri Johnny memberi contoh Estonia yang telah menyelenggarakan pemilu e-voting sejak tahun 2005 dan India yang menggunakan blockchain (sistem penyimpanan bank data secara digital) pada Pemilu India tahun 2024.
Menteri Johnny pun sudah membangun komunikasi untuk kerja sama pemilu e-voting dengan Pemerintah India.
Pada aspek ini, politisi NasDem itu mengambil contoh negara yang luasnya tidak lebih besar dari luas wilayah Perairan Indonesia.
Sejatinya ini merupakan inovasi yang sangat baik dalam pesta rakyat Indonesia. Namun banyak pertimbangan yang perlu dipikirkan sebelum pelaksanaan e-voting, seperti insfastruktur, pengetahuan digital rakyat dan asas luberjurdil.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, rasanya Indonesia belum siap dalam melaksanakan pemilu e-voting.
Bahkan KPU sendiri masih ragu karena pertimbangan-pertimbangan di atas. Penulis beranggapan, Menteri Johnny seakan memposisikan diri sebagai orang Jakarta bukan sebagai orang yang berasal dari Manggarai, kampung halamannya.
Dilihat dari sebarannya, Manggarai merupakan daerah yang masih belum diakomodasi oleh jaringan internet yang memadai. Tetapi Menteri Johnny menganggap seluruh daerah Manggarai sudah difasilitasi oleh jaringan internet yang bagus.
Padahal keadaan yang terjadi saat ini masih jauh dari apa yang beliau pikirkan. Masyarakat Manggarai masih mengalami krisis jaringan internet di beberapa wilayah.
Dalam proses pemilihan e-voting, akses jaringan internet akan memainkan peranan vital sebagai komponen utama penyelenggaran.
Oleh karena itu, askes internet harus menyeluruh termasuk Manggarai.
Dengan skema blockchain yang diutarakan Mentri Johnny, maka data pemilu akan masuk ke bank data melalui jaringan internet. Skema ini biasanya digunakan oleh bank dalam penggunaan kartu kredit.
Namun dilansir dari nperf.com, peta cakupan jaringan di Manggarai, masih terdapat beberapa daerah yang belum terjangkau jaringan 4G.
Bahkan ada beberapa daerah yang tidak terjangkau jaringan internet sama sekali. Dari aspek tersebut tanda tanya tentang e-voting ini akan berhasil semakin besar.
Selain itu pengetahuan masyarakat tentang e-voting masih lemah. Masyarakat belum diberi edukasi tentang penyelenggaraan pemilu dengan sistem e-voting.
Menurut penulis, edukasi tentang e-voting ini harus dilakukan dengan tahapan-tahapan yang mendetail dan menyeluruh, mengingat ada 29,3 juta penduduk Indonesia (data tahun 2022) yang berada dalam usia lanjut dan masih mengerti dengan sistem pemilihan menggunakan internet.
Belum lagi hal ini diperparah oleh akses literatur yang kurang memadai sebagai bahan bacaan masyarakat tentang e-voting.
Asas pelaksanaan pemilu yang luberjurdil juga dipertanyakan. Bukan tidak mungkin terjadi pelanggaran luberjurdil dalam pelaksanaan pemilu e-voting akibat dari pemahaman digital yang rendah dan manipulasi sistem pemilihan e-voting oleh calon-calon kontestan pemilu pasti akan terjadi.
Bahkan hal inipun menjadi masalah yang besar di negara-negara maju seperti Jerman, Belanda dan Amerika.
Setiap timses calon kontestan tentu akan membentuk divisi IT untuk mengawal proses pemilihan atau mungkin akan mencoba membuat kecurangan dalam proses pemilihan e-voting.
Kecurangan sangat mungkin terjadi dalam proses e-voting, mengingat daya teknologi Indonesia masih dikembangankan, sehingga peretasan terhadap bank data bisa saja dilakukan oleh oknum-oknum yang ingin menodai jalannya pemilu.
Selain itu, penulis beranggapan akan ada golput masal yang terjadi jika pemilu e-voting diselenggarakan.
Sejak tahun 2004 terjadi peningkatan golput dalam pemilu, meski di tahun 2019 terjadi penurunan.
Jangan sampai, kesadaran masyarakat tentang buruknya golput melemah karena sistem e-voting yang belum stabil dan pengetahuan yang tidak memadai.
Akhirnya, penulis menyimpulkan Indonesia masih belum siap menyelenggarakan e-voting.
Dengan luas wilayah besar, pemenuhan infrastuktur yang belum maksimal, edukasi penyelenggaraan e-voting yang masih rendah dan berbagai aspek lainnya, membuat penulis beranggapan pemilu e-voting akan siap dilaksanakan pada tahun 2028.
Pada saat itu, penulis percaya Indonesia telah siap dan mampu melaksanakan e-voting karena perencanaan yang telah dilakukan sejak dini dan adopsi teknlogi telah dilakukan secara maksimal dari negara-negara yang telah sukses menyelenggarakan pemilu e-voting.