Oleh: Siprianus Edi Hardum
(Praktisi hukum dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta)
Pada 24 Maret 2022, Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana datang ke Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menyerahkan SK pengangkatan dan NIP kepada ratusan CPNS baru.
Pada kesempatan itu, Bima Haria Wibisana menyatakan, ia menyayangkan kebijakan Pemda Manggarai yang mengaktifkan kembali para ASN pelaku tindak pidana korupsi.
“Mereka kok masih bekerja, semestinya sudah tidak bisa karena ada suratnya dari BKN untuk memberhentikan mereka,” kata Kepala BKN Bima Haria Wibisana, sebagaimana dikutip sebuah media online.
Menurut Bima, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tapi bekerja tanpa Nomor Induk Pegawai (NIP) dianggap ilegal. Nanti tidak bisa dieksekusi (NIP) karena tidak ada aturan yang bisa menghidupkan status kepegawaian mereka yang sudah mati nggak ada lagi.
Bima mengatakan, demikian kutipan media online, Bupati pasca putusan PTUN mestinya menerbitkan SK pemberhentian lagi dengan merujuk keputusan BKN yang tidak akan mengatifkan lagi NIP ASN bermasalah yang telah diblokir.
Sebagaimana diberitakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang telah memutuskan menerima gugatan sejumlah PNS di tiga kabupaten itu.
Para PNS itu menggugat bahwa pemecatan mereka sebagai PNS oleh bupati masing-masing karena dinilai telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Majelis hakim PTUN dalam putusannya bahwa tindakan tiga bupati itu tidak benar.
Majelis hakim memerintahkan agar para PNS diangkat kembali sebagai PNS serta pulihkan harkat dan martabat mereka. Putusan PTUN Kupang itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkrach).
Kabupaten Manggarai ada 9 PNS yang menghadapi masalah itu. Tidak lama setelah setelah putusan itu keluar, Bupatinya waktu itu, Deno Kamelus mengaktifkan kembali 9 orang itu menjadi PNS.
Namun, walaupun mereka sudah menerima gaji tetapi Nomor Induk Kepegawaian (NIP) mereka belum dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
Di Manggarai Timur ada 11 orang dipecat dari PNS namun gugatan mereka diterima PTUN Kupang pada tahun 2018. Namun, bupatinya belum mengaktifkan kembali mereka karena harus menunggu persetujuan dari BKN. Di Manggarai Barat juga sama dengan di Manggarai Timur.
Jadi benarkah pernyataan Bima dan SK BKN? Mari simak!
Konsekuensi Negara Hukum
Indonesia adalah negara demokrasi. Ciri utara negara demokrasi adalah menjunjung tinggi hukum. Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila diatur jelas dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi,”Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dengan adanya hukum, maka tidak boleh terjadi penindasan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya; oleh kelompok masyarakat yang satu terhadap kelompok masyarakat lainnya; atau oleh pemerintah terhadap masyarakat, atau oleh masyarakat terhadap pemerintah. Negara dalam arti sempit adalah pemerintah.
Untuk mengatur dan menyelesaikan “sengketa” antara pemerintah dengan masyarakat maka dibentuklah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pengangkatan dan Pemecatan PNS
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), berbunyi,”Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan”.
Siapa itu pejabat Pembina Kepegawaian? Sesuai Pasal 1 angka 14 UU ASN bahwa pejabat Pembina kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan Pembinaan ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mereka adalah Presiden, Menteri (Sekretaris Jenderal), Gubernur (Sekda Provinsi), Bupati/Wali Kota (Sekda Kabupaten/Kota) (Pasal 154 UU ASN).
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017) berbunyi,”Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS kepada: a) menteri di kementerian;b) pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;c) sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural; d) gubernur di provinsi; dan e) bupati/walikota di kabupaten/kota”.
Pemecatan PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota bisa menggunakan dua perangkat peraturan perundang-undangan.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). PP 53/2010 ini merupakan aturan turunan dari dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (UU 8/1974) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (UU 43/1999) tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Kedua, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) (UU 5/20214).
Dalam ketentuan pertimbangan dibentuknya UU 5/2014, di poin d, menyebutkan bahwa UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti.
Namun, dalam ketentuan Penutup UU 5/2014 yakni dalam Pasal 139 menyebutkan bahwa “pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ini”.
Itu berarti PP 53/2010 tentang Disiplin PNS sebagai peraturan turunan dari UU 8/1974 1974 tentang sebagaimana diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan.
Aturan turunan dari UU 5/2014 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Menagemen PNS.
Pasal 87 ayat (2) UU ASN menyebutkan, “PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana”.
Selanjutnya, Pasal 87 ayat (4) UU 5/2014 menyebutkan, PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: pertama, melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Ketiga, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Keempat, dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
PP 20 Tahun 2020 sebagai aturan turunan dari UU ASN, Pasal 250 menyebutkan, PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila, pertama, melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan; ketiga, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan keempat, dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Gugat ke PTUN
PNS yang tidak terima dengan hukuman yang diterimanya, maka dilakukan upaya administratif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32 PP 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Upaya administratif terdiri dari keberatan dan banding administratif.
Apabila upaya administratif telah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil, maka PNS mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN).
Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berbunyi,”Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan”.
Harus Dieksekusi
Ketika putusan PTUN keluar dan berkekuatan hukum tetap (inkrach) maka putusannya harus dieksekusi.
Pasal 116 UU 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN mengatur, pertama, 14 sejak putusan dibacakan pihak mengirim salinan putusan kepada para pihak.
Kedua, kalau dalam waktu tiga bulan sejak 14 hari putusan dibacakan, putusan itu belum dilaksanakan oleh pihak tergugat (pihak yang kalah), maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Ketiga, jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
Bupati tentu atasannya adalah Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Presiden.
Keempat, instasi atasan sebagaimana dimaksud dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat yang dimaksud melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Kelima, dalam hal instansi atasan tidak mengindahkan ketentuan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut”.
Kalau Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota yang memberi sanksi PNS seperti pemecatan mentaati hukum (undang-undang) maka segera mengangkat PNS yang telah dipecat itu menjadi PNS.
Begitu terima salinan putusan PTUN, maka salinan putusan itu diberikan kepada Badan Kepegawain Nasional (BKN) agar NIP PNS yang bersangkutan kembali diaktifkan, serta gajinya yang dibekukan selama ia menjalani hukuman harus dibayar negara.
BKN Tidak Berwenang
Keberadaan BKN dipayungi dua peraturan Perundang-undangan.
Pertama, UU ASN. Dalam UU ini hanya tiga pasal yang secara eksplisit mengatur BKN yakni pasal 47 mengenai fungsi BKN; pasal 49 mengenai tugas BKN dan mengenai kewenangan BKN.
Dari fungsi, tugas dan kewenangan BKN dalam UU ASN, penulis tidak temukan ketentuan bahwa BKN berhak dan berwenang menahan NIP (Nomor Induk Kepegawaian) PNS yang sempat diblokir karena dipecat kemudian harus diaktifkan kembali atas perintah pengadilan (putusan PTUN).
Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2013 tentang BKN. Pasal 1 ayat (1) Perpres ini berbunyi,”Badan Kepegawaian Negara adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi”.
Pasal 3 poin b Perpres menyatakan BKN menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan pengadaan, mutasi, pemberhentian dan pensiun, serta status dan kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil.
Apakah pada Pasal 3 poin 3 ini sehingga BKN masih enggan memberikan mengeluarkan NIP PNS di Matim, Manggarai dan Mabar?
Menurut penulis tidak.
BKN begitu ada pemberitahuan dari bupati dan atau pejabat yang berwenang mengangkat kembali para PNS itu sebagai pelaksanaan dari putusan pengadilan, maka BKN harus keluarkan NIP PNS itu.
Oleh karena itu, saya meminta para kepala daerah di Indonesia, terutama Bupati Manggarai Hery Nabit jangan ikuti imbauan Kepala BKN yang salah itu ! Ingat, bupati, wali kota dan gubernur adalah perpanjangan tangan Presiden, bukan bawahan BKN terutama kebijakan soal mengangkat, memecat dan mengaktifkan kembali PNS yang telah dipecat!
Ingat, keputusan BKN dalam bentuk apa pun berada di bawah putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap. Saya meminta Kepala BKN Bima Haria Wibisana agar tidak keliru memahami peraturan perundang-undangan.
Pahami tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jangan tabrak Undang-undang alias tidak ngawur!