Rantau
1
Ayah, ibu, malam sudah naik pitam
Di saat mataku tak mampu memejam lembar-lembar kata yang kembang
Mendulang teguh sinom di dahi.
Urat-urat berita tumbuh subur pada kalbu
Yang menggurat-garit segala sakit
Tanah tabah dicangkul kemarau
Tubuh waktu tersapu kental.
Ayah, ibu, kecupan bulir- bulir nasi
Dua kali sehari pada kompor nadi
Nekat menawan getah
Bagi tekun mendulang mimpi
Di mata air, air mataku.
2
Papa, mama, tubuhku menggigil
Dari angan yang kumasak subur
Pada kalbu;
“Semoga kalian menjelma geriap hujan di kemarau tubuhku
dan angin yang memanjati tebing-tebing susu dan madu”.
Rowombojo, 20-2-2022
Halaman Tubuh
Daftar isi tubuhku belum ranum
Sesuai pemberitahuan koran
teman ayah dari kota;
“kejut dan parut di perutmu belum mengalahkan pukulan ayah pada biaya sekolah yang membatu dan harga pangan yang subur”
Tetapi sungguh melalui dengung petir
Ibu menjahit pikiran ayah dengan rapi
Agar tidak berlindung di kolong meja
Penyimpan kuman bertahun-tahun kemudian.
Rowombojo, 21-2-2022
Firdaus
(Mark Manson & Najwa Shihab)
Aku dan kamu tenggelam begitu dalam pada pertanyaan:
“Bagaimana bisa kita saling memuridkan diri jika cinta masing-masing masih menggurui?”
Engkau pancang patok di kaki pohon congkak
Menegakan ingatanmu yang lindap luka
Aku hidangkan permen kata dan kopi tinta
Suapi kalbu yang selalu diganjal lawamah
Habiskan, jangan sisakan.
Lalu kamu memamerkan perih
Dengan menggelinding kata-kata padaku:
“usaha bikin kita tak waras, maka bersikap bodoh amat jadi seni percaturan ikatan”
Namun, langit-langit gua membuka kalbuku;
“bukan kehendaku seutuhnya menyerahkanmu pada pelukan luka,
Tapi, gusarmu sendiri yang bersemayam di kepala.
Tentang itu, cukuplah menyusu air yang didih dari guyuran tetangga,
Tetapi bukalah tudung saji hatiku kan kau temukan air yang tasik”
Usai mengusik kita menggenggam lampin, mengeram hingga tetas.
Meja belajar, 22 -2-2022
Potret Mimpi
Aku berenang pada rimbun sabda-Mu
Dan menabung segala sesap
Pada rasi bintang dan melayang-layang
di pondok bahasa dan sidik jari-Mu sendiri.
Tuhan, jika langit adalah bibir-Mu
Aku ingin menyisipkan diriku pada tiang awan
dan jatuh bersama hujan bagi bumi yang menunggu.
Tuhan jika langit adalah napas-Mu
sesapkan aku pada angin
agar tak mampu lagi menjarah
hadir dan temu pada lengan doa.
Bersolek ilmu yang runcing
Dan hikmah yang masam,
Harum pelangi tak menumpang takdir
Pada tajuk tubuhku yang masak hujan.
Pantai Kota Raja, 20-2-2022
Hujan dari Bandara
Aku mengutus air mata mengantar pacarku ke bandara melalui pipa patah yang sulit membendung tabah dan lara dari saku baju kesetiaan.
Sebab, air mata selalu mengajariku bagaimana menghitung usia jarak antara air dari mata waktu mereka berpisah.
Usai usia jarak tumbuh pada kalbu
Aku menanam kata dengan air dari mata untuknya:
“ sayang, kutitipkan kataku pada saku bajumu, dekat dengan jantungmu agar engkau selalu ingat bahwa aku akan selalu menunggumu dengan rindu yang kemarau di jantung, lalu kelak basah kuyup dalam jiwamu yang membawa hujan”
Bandara Aroebosman Ende, 2022
*Alexander Wande Wegha, lahir di Rowombojo, Ende Flores pada 22 Januari 1998.Lulusan studi dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero -Maumere -Flores. Penulis biasa menulis cerpen dan puisi di belbagai buku ontologi puisi; beberapa surat kabar seperti Cakra Dunia, Nalar politik, Banera, Lontar pos, Pos Kupang, BMR Fox, Vox NTT, dan beberapa media lain. Penulis bergiat di kelas puisi Bekasi (PKB). Penulis bisa di hubungi melalui WhatsApp :082144019703, Facebook: Allex Romarea*