Diari Tuhan 2
Pagi yang basah.
Isak mereka masih terngiang di telingaku. Merdu merindu begitu akrab
Tangis yang pecah di tengah derita yang sedang kualami tak menghentikan aksi para serdadu itu Ada harap yang membuncah sampai tumpah untuk menyudahinya
Namun ada ambisi yang telah membakar untuk menghabisinya Aku tak bisa berbuat banyak
Hanya diam sebab aku begitu mencintai mereka
Sebelum melanjutkan perjalanan kalau itu, aku menitipkan pesan kepada mereka
Aku pergi
Jangan tangisi aku
Bukankah kita sedang meramu waktu untuk bertemu lagi?
Diari Tuhan 1
Zaman sedang naik kelas setelah kemarin lulus
Melahirkan manusia berkelas yang kemarinnya lugu, hingga siapa kepada siapa pun tak segan saling meracuni.
Aku pun dibunuh setelah diberi cumbu paling hangat, paling mesra.
Kau tahu? Aku diberi peluk paling nyaman. Sebelum pelukan itu menjadi ucapan selamat tinggal, ia pernah menjadi suatu penguatan.
Kau tahu? Mereka membunuh-Ku. Tetapi tidak ada tulang-tulangku yang dipatahkan.
Entahlah, apakah mereka masih punya hati?
Kau tahu? Dalam sujud paling khusyuk, mereka merayuku.
“Aku mencintaimu Tuhan”. Lantas mengapa mereka meninggalkanku?
Apakah itu cara mencintai paling tulus?
Kisah Pilu Seorang Anak
/1/ Keringat mengalir begitu sengit
Darah tercecer dimana-mana
Pun luka mulai menganga
Setelah kaki tak lagi sanggup melangkah, ia digantung.
Sendirian. Di sana.
Di palang penghinaan
/2/ Ia pun menangis. Isaknya sendu.
Lalu berujar pelan penuh aduh
“Bapa, sebegitunyakah Kau, meninggalkan aku seorang diri?”
Ia ditinggal dalam sebuah kisah bernama sengsara,
Bersama suasana yang dibalut derita, akibat jatuh cinta
Pada manusia.
/3/ Ia lahir di Palung paling hina
Dan wafat di palang penghinaan
Semuanya dilakukan agar Ia bisa mencintai manusia
Dari segala kelas. Paling hina sekalipun.
/4/ Sebegitu jatuh dan cintakah Ia pada manusia
Sehingga begitu mudah dijatuhkan?
Ia disakiti. Hatinya terluka.
Tuhan, masih mampukah Engkau mencintai manusia?
/5/ Ia wafat
Terpaku di salib.
Ada yang berkabung
Ada yang bersenandung
Sebuah duka yang mendalamkah?
“Sudah selesai”
Tobat?
“Tuhan ampunilah anak-Mu yang berdosa ini”
Begitulah kalimat yang tak lagi asing di telingaku.
Penuh penyesalan.
Sarat harap akan pertobatan.
Kau sadar bahwa kau berdosa?
Entahlah.
Dalam renung paling agung aku selalu bertanya-tanya.
Setulus itukah kau berdoa?
(Pieter Labina, mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Maumere)