Labuan Bajo, Vox NTT- Carut marut permasalahan Hutan Bowosie yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur masih belum berakhir.
Penolakan sekelompok masyarakat yang menamakan diri Kesatuan Masyarakat Racang Buka (KMRB) terhadap pembangunan pemanfaatan lahan Hutan Bowosie oleh pemerintah pusat melalui BPOLBF semakin tidak kuat karena tidak sesuai data dan dokumen legal dalam menguasai lahan negara ini.
Menurut Kepala Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Kabupaten Manggarai Barat, Stefanus Nali, kegiatan perambahan pada Kawasan Hutan Nggorang Bowosie sudah dilakukan warga sejak tahun 1998.
Sesuai data Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai saat itu, kegiatan perambahan mulanya dilakukan pada area hutan yang saat ini tepat berada di depan SPBU Wardun.
“Memang perambahan yang ada sudah dilakukan sejak tahun 1998, di depan SPBU Wardun dengan jumlah perambah 53 orang, itu sesuai data Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai saat itu,” Ucap Stef saat diwawancarai wartawan di ruang kerjanya, selasa (26/04/2022).
Nali menjelaskan, status hukum Kawasan Hutan Nggorang Bowosie (RTK 108) sebagai lahan negara sebelumnya sudah tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan nomor 89/Kts-II/1983 tertanggal 2 desember tahun 1983.
SK ini memuat ketentuan terkait Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Nusa Tenggara Timur seluas ± 1.667.962 Ha sebagai Kawawan Hutan yang di dalamnya termsuk kawasan Hutan Nggorang Bowosie.
“Terkait status kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 itu sudah ditetapkan sejak tahun 1983, melalui SK Menteri Kehutanan nomor 89 tahun 1983. Sejak SK itu dikeluarkan untuk Kawasan Hutan (KH) Nggorang Bowosie, dari tahun 93 – 97 dilakukan penataan batas bersamaan dengan wilayah ulayat Boleng , Pacar, sebagian Macang Pacar dan Mbeliling. Dan itu sudah selesai semua, di mana untuk total luas KH Nggorang Bowosie itu 20.984,48 Ha dengan total pilar 2.995 buah,” jelasnya.
BACA JUGA: Warga: “BPOLBF Aktor Utama Miskinkan Masyarakat Manggarai Barat”
Dalam berita acara tata batas antara lahan masyarakat dengan kawasan hutan, ia menyebutkan bahwa kawasan hutan ditandai dengan penanaman pilar dimulai dari sebelah Toko Roti Theresa hingga area depan kantor PU Kabupaten Mabar.
“Pilarnya sampai di atas Toko Roti menyusuri jalan sampai depan kantor PU naik ke atas dan di belakang pemukiman Kaper, sebelah kiri jalan itu kehutanan dan kanan masyarakat. Rumah warga yang di depan SPBU Wardun itu masuk kawasan hutan,” sebutnya.
Mengetahui adanya warga yang melakukan perambahan pada kawasan hutan ini pada tanggal 22 Desember 1998, Camat Komodo mengeluarkan surat dengan nomor 054.4/670/XII/1998 yang kemudian dilanjutkan dengan surat Kepala Desa Persiapan Gorontalo dengan nomoro Pem.054.4/01/XII/1998 tanggal 23 Desember 1998 perihal larangan untuk membagi lahan dan menebas Hutan Tutupan Negara kepada saudara Ibrahim A. hanta dkk serta surat Camat komodo nomor 054.4/04/I/1999 tanggal 6 Januari 1999 perihal larangan untuk membagi lahan dan menebas Hutan Tutupan Negara, di mana penyelesaiannya saat itu berupa membuat surat pengakuan oleh masing-masing pelaku.
Meskipun telah dikeluarkannya surat larangan perambahan baik oleh Camat Komodo maupun Kepala Desa persiapan Gorontalo, jumlah perambah ternyata semakin meningkat.
“Kepemilikan lahan kita tidak tahu persis berapa per orang karena kita minta data juga tidak dikasih, kita juga keterbatasan anggota dan penambahan terus berjalan,” katanya.
Situasi ini pun menyebabkan adanya sosialisasi penjelasan hukum terhadap tanah di kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 kepada 58 orang perambah yang dilakukan oleh Camat Komodo saat itu.
Hingga pada tanggal 1 Desember 2004, Bupati Manggarai Barat pun mengeluarkan surat dengan nomor DPKLH.522.7/271/XII/2004 perihal larangan membangun rumah dalam kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108.
Lanjut Nali, upaya untuk memberikan pemahaman kepada warga untuk tidak melakukan perambahan dalam kawasan hutan ini kembali dilakukan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dengan mengeluarkan surat nomor DPKLH.522.11/04/I/2005 tertanggal 8 Januari 2005 perihal penertiban hukum, di mana membahas tentang langkah hukum penertiban perambahan Kawasan Hutan Nggorang Bowosie yang menghasilkan beberapa poin di antaranya:
1. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang status kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 (termasuk surat keputusan Menteri Kehutanan nomor: 89/Kts-II/1983 dan peta kawasan serta berita acara tata batas) bersama-sama oleh Dinas Pertambngan Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Polres Manggarai Barat serta Kepala Desa Gorontalo dan Kepala Desa Golo Bilas)
2. Setiap orang dilarang melakukan kegiataan (pembangunan rumah dan pembukaan kebun baru di dalam kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 sejak hari ini tanggal 15 Januari 2005.
3. Barangsiapa yang melanggar keputusan rapat ini akan ditindak tegas melalui proses hukum sesuai prosedur hukum yang berlaku.
4. Membuat laporan tertulis kepada Menteri Kehutanan RI tentang adanya kegiatan perambahan Hutan Nggorang Bowosie oleh masyarakat.
“Sejak tanggal 15 januari 2005 aktivitas di dalam kawasan hutan khususnya pada area Patung Komodo sedikit berkurang dan dianggap status kuo, yang sudah ada dibiarkan tapi jangan ada penambahan lahan baru,” ujarnya.
Namun pada 6 Februari 2009, KPH kembali menemukan kepemilikan rumah baru dalam kawasan hutan lokasi depan kantor PU sampai dengan area Patung Komodo Wae Mata dengan hasil pendataan sebanyak 62 pemilik rumah dan terdapat 32 unit rumah yang baru dibangun pada tahun 2005 ke atas.
Hal ini pun menyebabkan Bupati Manggarai Barat, (Alm) Fidelis Pranda pada tahun 2011 mengeluarkan Surat dengan Nomor DK.522.71 /IV/2011 tanggal 21 April 2011 perihal Larangan membangun rumah di dalam kawasan
Hutan Nggorang Bowosie RTK 108, dan kepada Kapolres Manggarai Barat melalui surat nomor DPKLH.522.11/16/I/2005 perihal Laporan Tindak Pidana Okupasi Kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 dengan hasil surat pernyataan atas nama Danie Dakul dan Abdul Jaharudin.
Keputusan ini kemudian, tambah Nali, ditindaklanjuti dengan melakukan kegiatan rekonstruksi tata batas kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTk 108 sepanjang 8 Km yang dituangkan dalam surat bernomor DPKLH 522.6/142/VI/2006 tertanggal 2 Juni 2006 mulai dari Desa Nggorang, Desa golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu.
Di tahun 2012, dalam rangka menyelesaian permasalahan dalam kawasan hutan di Kabupaten Manggarai Barat dilakukanlah usulan perubahan peruntukan dan fungsi Kawasan Hutan di Kabupaten Manggarai Barat seluas 2.277 Ha yang pada hasil pengukuran mendapati seluas 4.036 Ha yang
tersebar di beberapa kawasan hutan di seluruh wilayah Manggarai Barat.
Selanjutnya, berdasarkan perkembangan usulan masyarakat yang terus berkembang maka usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pun terus bertambah.
Pada 23 Desember 2013 Bupati Manggarai Barat mengeluarkan surat dengan Nomor EK.500/0/XII/2013 tentang usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan total luas usulan mencapai 6.2888,54 Ha.
“Karena persoalan itu, kebijakan bupati saat itu harus diminta ke kementrian kehutanan supaya yang ada di depan (SPBU) dibebaskan dari kawasan hutan, maka melalui perubahan tata ruang wilayah provinsi seluruh NTT kita mengajukan perubahan peruntukan kawasan hutan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, saat itu masyarakatnya hanya yang ada didepan SPBU saja, saat itu hanya mereka tidak ada yang lain,” tuturnya.
Nali pun menambahkan surat Bupati Manggarai Barat Nomor EK.500/0/XII/2013 perihal usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan berimbas pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016 tentang Perubahan Peruntukan kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 54.163 ha, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas 12.168 ha, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 11.811 ha di Provinsi NTT.
Dalam keputusan Menteri tersebut beserta lampiran peta menunjukan di wilayah Kabupaten Manggarai Barat RTK 108 Nggorang Bowosie terdiri dari 4 poligon yakni: 2 poligon di Desa Golo Lujang Kecamatan Boleng, 1 poligon di Desa Gorontalo dan 1 Poligon di Kelurahan Wae Kelambu Kecamatan Komodo. Untuk poligon Desa Gorontalo luasannya ± 38 ha yang merupakan hasil perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Provinsi NTT dengan peruntukan alokasipenggunaan lain (APL).
“Dari hasil usulan review tata ruang provinsi maka ada sebagian kawasan di mabar yang dilkeluarkan, kita usulkan 6.000 an hektar diseluruh Mabar namun yang disetujui hanya 194 Ha, salah satunya didepan SPBU wardun itu 38,47 ha, terus Wae Nahi 11,,16 ha, dan lainnya di Golo Lujang, itu menjadi kawasan APL, sehinggah keluarlah SK mentri Kehutanan no 357 tahun 2016 untuk membatasi mana kawasan hutan yang dikeluarkan mana yang masih dipertahankan menjadi kawasan hutan. Batasnya pas dibelakang perumahan yang ada (depan SPBU Wardun) sekarang ini sampai diatas bukit, pendataan kita desember 2021 itu ada 2-3 rumah yang terpaksa harus terpotong bagian belakangnya.karena batasnya hanya sampai disitu. Berdasarkan pendataan kita hasil peninjauan tim terpadu pada luas 38 Ha itu dan SK itu sampai hari ini belum ada perubahan, ” papar Nali.
“Adapun masyarakat yang sekarang ini baru, KMRB saya baru dengar belakangan, waktu penyelesaian dari 2004 – 2018 kita belum mengenal yang namanya masyarakat Rancang Buka, yang kita urus hanya yang depan SPBU Wardun. Itu tadi, kalau data kami yang dari Kabupaten Manggarai, perambahan itu dilakukan mungkin hanya 55 orang pada tahun 98, yang sekarang yang dibilang 200-an orang itu belum ada datanya di kami, dari Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai juga tidak ada soal mereka. Dan Kenyataannya yang kita lihat selama dari 2004 – 2015 itu tidak ada pemukiman, hanya hutan,” lanjutnya.
Selain itu Nali menambahkan, sebelum dilakukannya pengajuan surat Bupati Manggarai Barat Nomor EK.500/0/XII/2013, pada tanggal 23 April 2013 Pemkab Mabar terlebih dahulu mengeluarkan surat edaran Bupati Manggarai Barat dengan Nomor Eko.500/16/IV/2013 perihal Larangan Membagi Tanah dalam kawasan hutan Negara.
Selain itu juga sebelum diterbitkannya SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016 ini, Pada Tahun 2014 Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat mengeluarkan sebuah surat dengan Nomor DK.522/123/7/2014 perihal larangan membagi tanah dalam kawasan hutan Negara tanggal 3 Juli 2014 yang ditujukan kepada Para Camat se – Kabupaten Manggarai Barat, Para Kepala Desa/Lurah se- Kabupaten Manggarai Barat, Para Tua Golo Se- Kabupaten Manggarai Barat, yang dilanjutkan dengan surat nomor DK.522/167.a/X/2014 tanggal 2 Oktober 2014 perihal larangan membagi tanah dalam kawasan hutan Negara Nggorang bowosie RTK 108 yang ditujukan kepada Camat Komodo, Camat Boleng, Kepala Desa Gorontalo, Kepala Desa Golo Bilas, Kepala Desa Nggorang Kepala Desa Tanjung Boleng, Tua Golo Kaper, Tua Golo Wae Mata, Tua Golo Nggorang, Tua Golo Rangko, Tua Golo Lancang dan Tua Golo Sernaru.
Pada tahun 2015, Bupati Manggarai Barat membentuk tim terpadu pengendalian perambahan hutan di kawasan hutan Nggorang bowosie RTK 108 lokasi Patung Komodo Kabupaten Manggarai Barat melalui SK Nomor Kep/HK/2015 tanggal Oktober 2015 menyusul hasil telaahan Dinas Kehutanan Kepada Bupati Manggarai Barat dalam surat dengan Nomor DK.522/157/X/2015 tanggal 29 Oktober 2015 perihal upaya penyelesaian
perambahan di kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 menyusul terjadinya perambahan yang semakin marak dan pembukaan lahan secara besar-besaran di lokasi Patung Komodo dan sekitarnya.
“Perambahaan secara besar besaran itu terjadi tahun 2015 yang di wae mata di belakang 38 itu dan kita langsung melakukan operasi terpadu, kita bongkar semua yang ada di dalam kawasan hutan itu basecamp dan pondok terakhir kita tangka tangan pelaku ada 3 orang dan langsung lapor ke Polsek Komodo, diambil keterangan sampai dengan olah TKP, hanya setelah itu kami sudah tidak tau kelanjutannya, praktis sejak 2015 – 2017 tidak ada kegiatan perambahan,” ucapnya.
BACA JUGA: Konsorsium Pembaruan Agraria Desak BPOLBF Hentikan Perampasan Tanah atas nama Pembangunan
“Namun sejak 2018 mulai lagi kegiatan, kita lakukan operasi tim terpadu lagi tapi belum tangkap tangan, 2019 hingga 2020, saat itu kita tangkap tangan 8 orang di Wae Nahi. Dan kita ambil keterangan setelah itu berapa hari kemudian kita melakukan pulbaket kita temukan ada 11,17 Ha yang perambahan baru, jadi ditambah 59,87 Ha perambahan lama di tahun 2015, maka total perambahan 71,04 hingga September 2020,” sambungnya.
Sejak tahun 2015 sampai 2018 kegiatan perambahan memang masih ada yang dilaksanakan secara sporadik dan secara tersembunyi. Itu hanya dilakukan oleh oknum- oknum tertentu saja. Namun di lapangan tidak ditemukan pelaku dan saat dilakukan operasi sudah pelaku lari.
“Terkait SKB, tim IP4T termasuk saya, awalnya sesuai surat bupati itu, kita sampaikan bahwa IP4T ini bukan pembagian baru tapi mendata kepemilkan lahan didalam kawasan hutan yang dikuasai masyarakat, itu tugas tim IP4T. data itu kita kumpulkan bukan pembagian baru, hasil IP4T yang kita identifikasi kepemilikan itu ada 13 hektare yang hasil akhirnya berada di dalam lokasi 38 hasil review tata ruang provinsi. Jadi, tidak ada persoalan. Kalau dilihat dari peta yang dihasilkan dengan hasil review sesuai dengan SK 357 perubahan peruntukan kawasan hutan hasil IP4T seluas 13,18 Ha berada di atas lahan 38 Ha di mana itu sebelumnya sudah dikeluarkan, ” katanya.
“Format kepemilkan lahan sejak kapan, dari siapa, apa apa yang ada di dalam, usulannya 200-an orang tapi hanya beberapa orang saja yang diakomodasi dalam 13,18 Ha itu. Kementerian dan tim terpadu di Jakarta yang menentukan. Hasilnya seharusnya diusulkan ke Kementerian Kehutanan yang waktu itu diketuai oleh Kepala BPN Mabar Pak Marthen Ndeo hanya kita tidak tau sudah dilaporkan ke pusat atau belum,” katanya.
Dalam beberapa kesempatan Nali mengaku pihaknya sudah menyampaikan ke masyarakat. Namun ia mengaku tidak tahu apakah semua itu warga Gorontalo atau tidak.
Nali pun meminta jika ada yang dirugikan harap diajukan dan tidak boleh melakukan aktivitas di lapangan.
“Silakan ajukan lagi kita masih buak ruang, tahun 2018 melalui program Tora itu diberikan kesempatan dan diundang dalam sosialsisai di Exotic, Kades Gorontalo hadir dan diberikan kesempataan oleh KLHK untuk diajukan melalui program Tora tapi mereka tidak mengajukan, yang mengajukan hanya Golo Bilas, Melo, Cecer, Golo Welu. Tetapi sampai terkahir proses itu Desa Gorontalo tidak ada pengajuan,” jelas Nali.
Menurut Nali, penetapan tata batas hutan merupakan kewenangan pusat. Pihaknya di lapangan bersama BPOLBF hanya melakukan orientasi batas sesuai dengan peta tata batas SK 357.
Piahknya sudah melaporkan ke provinsi agar dilakukan tata batas. Sampai sekarang pun belum dilakukan tata batas oleh Balai Pemantapan Kawasan hutan wilayah 14 Kupang.
“Kita ada tanam patok kayu sementara Desember tahun 2020.
Memang anggaran untuk tata batas seharusnya ditanggung oleh Pemda Manggarai, tapi tetap dalam pekaksanaan tata batas yang berhak tanam pilar tata batas itu mereka. Untuk menyiapkan sarana pendukung dalam tata batas,” ujar Nali.
Ia mengaku BPOLBF memang awalnya mencari lokasi di luar kawasan, namun hal itu tidak ada. BPOLBF kemudian menanyakan ke KPH Kabupaten Manggarai Barat untuk menunjukkan lokasi.
“Saat orientasi juga sudah disampaikan bahwa di sini ada permasalahan, sebelah kanan sampai SPBU masih ada perambahan meskipun itu lahan negara,” ungkap Nali.
Ia menambahkan, dari Wae Nahi ke timur (arah Serenaru – Lancang) itu yang kosong. Pihaknya hanya menunjuk lokasiny.
Sesuai dengan Perpres Nomor 32 Tahun 2018 luas lahan yang dikelola BPOLBF 400 Ha. Namun di dalam itu ada 135 Ha yang dikelola secara otoritatif.
Luas lahan 135 Ha itu dikeluarkan dari kawsan hutan menjadi aset BPOLBF.
“Kewenangan kami di situ tidak ada. 265 Ha nya itu izin pengelolaan jasa wisata alam kepada BPOLBF dan itu tanggung jawab kami masih ada dan masih lahan negara. Berdasarkan Perpres 32 itu. Dari KLHK hanya persetujuan prinsip tukar menukar kawsan. Jadi yang 135 itu tukar menukar kawasan di Ngada seluas 500 Ha. Sehingga di NTT secara keseluruhan tidak mengalami perubahan dan itu sudah berproses. Yang dikerjakan BPOLBF ini itu di luar kasawan 38 Ha, pengembangan kawasan pariwisata terpadu dilakukan di luar area 38 Ha lahan APL,” katanya.
Sumber: Rilis