Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Berjalan dengan perkemangan zaman yang di mana teknologi juga ikut berkembang, memungkinkan manusia untuk senantiasa menimbun materi kehidupannya. Baik itu status, jabatan, dan lebih pada uang.
Segala cara dan perpektif diselaraskan dengan kehendaknya. Akibat sudah menjadi pilihan yang sangat jauh, jika kebutuhan materi diperjuangkan.
Apapun itu intinya dinikmati. Pola pikir manusia juga turut berubah, seakan dengan sekali pikir yang diinginkan langsung terwujud. Namun, kenyataan tidak semanis ekspektasi.
Sikap kritis perlu dibangun dalam pola pikir manusia, berani menelaah sejauh mana untung dan rugi sebuah informasi ditawarkan dan perbuatan yang dijalankan.
Untuk itulah perlu ditinjau perjalanan zaman ini, zaman di mana rasio mengalami puncaknya. Sehingga, sangat menenggelamkan manusia hingga pada titik kekritisan rasionallitasnya.
Bukan teknologi dan zaman yang mengakibatkan kekacauan ini, melainkan rasio sangat mendapatkan peran penting.
Abad pencerahan atau renaissance merupakan suatu era ketika rasio menempati posisi yang diistimewakan.
Keistimewaan posisi ini didapat setelah adanya upaya melepas kurungan berpikir dan memisahkan kabut gelapan dogmatisme agama pada era sebelumnya.
Dengan rasio inilah slogan-slogan pencerahan seperti perintah untuk berpikir sendiri, janji-janji kesejahteraan, kesetaraan, dan kemanusiaan mulai menyebar.
Pada perkembangan berikutnya, rasio perlahan mulai merealisasikan sedikit janji-janjinya dengan memunculkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua hal tersebut juga yang membawa masyarakat modern pada kondisi di mana segala kebutuhan mudah untuk dipenuhi.
Namun rasionalitas di era modern ini justru memiliki posisi mendua, karena disatu sisi ialah yang membawa peradaban pada kemajuan, namun pada sisi lain ia jugalah yang menjadi akar segala penindasan dan eksploitasi.
Rasio yang semula memiliki rekam jejak mengkritisi segala dogmatisme, mitos dan status quo, justru berbalik arah dan kini rasiolah faktor penyebab pelanggengan status quo dan berubah menjadi mitos baru.
Sampai pada akhirnya janji-janji pencerahan yang sempat dihembuskan mulai dipertanyakan kembali.
Rasionalitas bermula dari kata ‘rasio’ yang menurut Herbert Marcuse mengacu pada definisi ‘rasio’ pada zaman Yunani Kuno, yang artinya kemampuan kognitif memilah antara yang benar dan yang salah sepanjang kebenaran dan kesalahan itu terutama merupakan suatu keadaan dari yang ada (being) dan dalam kenyataan (reality) (Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, 2015).
Kenyataan dalam masyarakat modern justru berkata lain, pengertian rasio ini mengalami penyempitan arti, rasio berfungsi semata-mata untuk mencapai tujuan tertentu.
Telah kita ketahui bersama bahwa rasio semula kritis terhadap segala sesuatu, khususnya dalam konteks abad pencerahan, rasio kritis terhadap kekuasaan agama dan segala bentuk mitos.
Namun kini dalam kehidupan masyarakat modern rasio telah menghamba di bawah kendali kekuasaan.
Rasio yang semula kerap mencari hal bernama kebenaran yang akhirnya memuat dimensi teoritis dan praktis, kini tereduksi menjadi teknis semata.
Marcuse memiliki istilah khusus dalam menyingkap tabir rasionalitas yang menyebabkan adanya segala bentuk penindasan, prose status quo, eksploitasi, serta tunduk pada kekuasaan.
Istilah yang digunakan Marcuse adalah rasionalitas teknologi, yaitu rasionalitas yang merujuk pada sebentuk pemikiran yang memiliki titik tekan pada efisiensi, produktivitas, dan hanya mementingkan kalkulasi untung rugi.
Karena rasionalitas ini menulari hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat modern saat itu, pada akhirnya rasionalitas ini menjadi sebuah sistem.
Sistem ini membentuk setidaknya dua pola pikir yang dominan, yang nantinya dua pola pikir ini akan memberikan gambaran yang lebih spesifik tentang rasionalitas teknologi. Dua pola pikir yang dimaksud adalah pola pikir instumentalisasi dan operasionalisasi.
Instrumentalisasi merujuk pada suatu pola pikir yang mereduksi manuia sebatas materi bagi tercapainya suatu tujuan.
Sedangkan operasionalisasi merujuk pada pola pikir yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan diukur dari mampu dan tidaknya ilmu tersebut diterapkan.
Dua pola pikir yang menulari masyarakat ini pada akhirnya menciptakan sistem yang mengalieanasi manusia dan mengancam kebebasan karena sistem ini melahirkan kontrol-kontrol yang kuat.
Rasionalitas dan Komodifikasi Tubuh
Menurut Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan. komodifikasi adalah tindakan atau proses yang memperlakukan sesuatu sebagai produk yang bisa dibeli dan dijual.
Dengan demikian komodifikasi tubuh berarti menjadikan tubuh sebagai sesuatu yang bisa dibeli dan dijual atau singkatnya tubuh yang dijadikan komoditas.
Poin penting yang bisa ditarik adalah adanya hubungan antara pola pikir instrumentalisasi dengan komodifikasi tubuh.
Instrumentalisasi berarti menjadikan manusia sebatas materi guna mencapai tujuan tertentu.
Dalam kaitannya dengan komodifikasi tubuh berarti tubuh manusia dijadikan materi guna mencapai suatu tujuan yang tidak lain tujuan ini adalah uang.
Fenomena komodifikasi tubuh ini sering dijumpai dalam media informasi di era kapitalisme sampai saat sekarang ini.
Di dalam sistem kapitalisme, tubuh perempuan disegmentasi menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, payudara, pinggul, hidung dan seterusnya) yang secara bersama-sama membentuk konsep atau makna tertentu, misalnya liar, patuh, agresif, sensual dan seterusnya yang masing-masing memiliki nilai ekonominya.
Tentu komodifikasi ini tidak hanya berlaku bagi perempuan, laki-laki pun mengalami hal serupa. Dalam hal ini laki-laki bisa disegmentasi ke dalam tanda-tanda (otot lengannya, perut six pack, wajah dan seterusnya) yang juga mengandung makna seperti kegagahan, kejantanan dan lain-lain.
Pemanfaatan komodifikasi tubuh umumnya digunakan oleh para produsen untuk menarik minat minat konsumen atau digunakan sebagai media promosi.
Iklan-iklan kecantikan sudah pasti menggunakan perempuan cantik sebagai modelnya atau laki-laki yang dijadikan model dalam iklan susu yang berfungsi mempercepat masa tumbuh otot.
Masing-masing iklan tadi menggunakan bagian tubuh untuk dijadikan daya tariknya, entah itu bagian wajah, kulit, otot dan lain sebagainya.
Penggunaan model manusia dalam menarik minat pembeli atau dalam bahasa yang lebih radikal untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah adalah fenomena yang bisa ditafsirkan sebagai dampak dari logika instrumentalisasi.
Sebuah fenomena yang akan semakin mendapat tempatnya di zaman teknologi yang berkembang pesat.
Sehingga, disini tentunya diperlukan suatu pemahaman baru yang bertumpuh pada sikap atau cara berpikir kritis dalam menghadapi tawaran-tawaran atau dengan kata lain informasi yang didapatkan.
Meninjau lebih dalam lagi mengenai hakikat manusia yang dalam rana ciptaan memiliki nilai yang sangat tinggi dan bersifat mulia (bermakna).
Jika disandingkan dengan kemajuan teknologi dan lebih pada mengumpulkan pundi-pundi rupiah, maka sangat jelaslah jalan modifikasi tubuh melalui pola pikir instrumentalis menjadi sangat rendah bagi manusia.
Perihal materi tentunya dibituhkan dalam kehidupan, namun sangat dibutuhkan suatu pola berpikir yang kritis menerobos jauh sebab dan akibatnya nanti.
Sehingga, dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat manusia dapat seantiasa bertanya dalam hatinya.
Apakah perkembangan teknologi akan melayani umat manusia atau justru sebaliknya? Atau mendorong pada posisi yang bertentangan dengan kebenaran?
Tentunya untuk menjawab persoalan ini, tidak segampang jika manusia seorang diri saja. Perlulah peran serta sumbangsi elemen-elemen pemerintah, organisasi-organisasi dan juga masyarakat.
Yang notabenenya senantiasa berjuang menegakkan persoalan kemanusiaan sat ini. Tentunya keterkaitan dalam menilai sesuatu selalu berdasarkan banyak faktor.
Sehingga, untuk menjawab faktor-faktor itu, perlulah membangun dalam diri akan suatu pola pikir yang kritis yang mampu menunjang kehidupan yang berada pada makna sesungguhnya bukan senantiasa menyenangkan namun berakhir kesedihan.
Lebih dari memecahkan problem ini dan proses yang dijalankan, tergantung pada upaya apa yang akan dilakukan pada peradaban atau justru akan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan. Tetap menyantap tanpa menyaring.