Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Salah satu fenomena yang sering kali kita temui dalam diri orang lain atau dalam diri sendiri adalah fenomena “hidup ikut-ikutan” atau “hidup ikut arus”.
Di zaman ini, atau zaman belakangan, fenomena ini sekiranya tak pernah luntur dari catatan sejarah.
Hampir setiap manusia pastinya pernah mengikuti tren yang sedang membumi dan membudaya di masanya, entah itu tren berpakaian, berdandan, atau bernalar.
Hal paling pasti yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah bahwa “hidup ikut-ikutan” atau “hidup ikut tren” ini merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri.
Manusia sering kali cenderung untuk menyesuaikan gaya hidup dan perilaku mereka dengan kelompok atau komunitas sosial. Sehingga kemajuan yang dialami tidak dirasakan sebagai ketertinggalan.
Hidup ikut-ikutan atau dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai konformitas pada dasarnya didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok (Rita dan Indah 2005).
Myers (2010) mengemukakan bahwa konformitas berarti perubahan perilaku pada individu sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok.
Ditambahkan oleh Myers, konformitas bukan sekadar berperilaku seperti orang lain, melainkan juga dipengaruhi oleh bagaimana orang lain berperilaku.
Konformitas adalah proses dalam diri anggota kelompok untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma yang ada dalam kelompok (Riggio, 2009).
Hal ini dilakukan sebagai gambaran kepatuhan anggota terhadap norma kelompok dan hal tersebut akan sangat membantu mempertahankan keteraturan dan keseragaman dalam kelompok.
Dalam sudut pandang filosofis, hidup ikut-ikutan atau disebut juga dengan konformitas merupakan hal yang secara umum dipandang sebagai hal yang bersifat negatif.
Sebab, pada dasarnya filsafat itu sendiri berdiri di atas landasan kritisisme. Kritik merupakan jantung filsafat.
Ia mempertanyakan segala sesuatu, termasuk segala kebudayaan dan kebiasaan lingkungan sosial kita sebagai manusia.
Para filsuf, dalam ajaran ataupun karya-karya mereka sering kali mengeritiki orang-orang yang kurang kritis dan hidup ikut-ikutan atau sekadar ikut arus.
Mereka sangat membenci orang-orang yang tanpa berpikir panjang mengikuti kebiasaan lingkungan sosial mereka di sekitarnya.
Bagi mereka hal itu sama seperti ketika ada orang berdiam, kita berdiam, atau ketika orang berlari, kita juga ikut berlari, walaupun arah lari tersebut menuju jurang penuh nestapa, baik dalam bentuk kehancuran diri kita, walaupun kehancuran alam.
Salah satu filsuf yang sangat antusias mengeritiki orang-orang yang hidup ikut-ikutan pada masanya adalah Friedrich Nietzsche.
Ia adalah seorang filsuf besar asal Jerman, yang lahir pada tahun 1844. Dalam bukunya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra, dalam bab berjudul The Bestowing Virtue, Friedrich Nietzsche menulis sesuatu yang mengejutkan.
Zarathustra “Zarathustra adalah yang pertama pertama melihat bahwa pertempuran antara yang baik dan jahat itu adalah roda yang menggerakkan segalanya.”
Menurutnya, Zarathustra lebih jujur ketimbang pemikir lainnya. Maka, Nietzsche memakai nama Zarathustra sebagai tokoh dalam bukunya.
Seorang bijak yang juga merupakan tokoh sentral dari buku tersebut, ia mengatakan kepada para pengikutnya untuk berhenti mengikutinya.
“Dia berkata, Sekarang aku pergi sendiri, murid-muridku. Kalian juga pergilah sekarang, pergilah sendirian. Aku menginginkannya demikian. Aku menasihatimu: pergilah dariku, dan jaga dirimu dari Zarathustra. Dan lebih baik lagi; malulah padanya (be ashamed of him). Mungkin dia telah menipumu.”Kata-kata ini merupakan bagian penting dalam kajian ini.
Yang dimaksud dari kalimat itu ialah bahwa, seorang guru yang terkenal akan kebijaksanaannya memberitahu para pengikutnya untuk malu dan pergi darinya, meninggalkanya, dan mencurigainya.
Mengapa dia melakukan itu? Dalam sebuah surat kepada saudara perempuannya, Nietzsche menulis, “Jika engkau ingin berjuang untuk kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah; jika engkau ingin menjadi penyembah kebenaran, maka bertanyalah”.
Dan menurut saya, surat yang ditulis Nietzsche kepada saudara perempuannya itu berkaitan erat dengan Zarathustra yang menyuruh para pengikutnya untuk meninggalkannya karena mereka masih beriman, beriman pada visi realitas Zarathustra.
Zarathustra sejatinya ingin para pengikutnya menjadi penyelidik yang menyelidiki sendiri realitas melalui kacamata mereka. Dia tidak ingin pengikut.
Dia tidak ingin orang percaya apa yang dia katakan. Dia ingin mereka meragukannya, bertanya, memverifikasi apa yang dia katakan untuk diri mereka sendiri, dan melihat apakah mereka sampai pada visi realitas yang sama.
Dan jika mereka sampai pada visi realitas yang sama, maka mereka bisa bersama menjadi pengelana di dunia ini. Mereka bisa setara.
Namun, jika mereka hanya percaya apa yang dia katakan, maka mereka menjadi pengikut.
Pengikut berarti belajar mengikuti peta pemikiran dan visi orang lain, dan dengan melakukan itu, mereka kehilangan hubungan langsung dengan realitas.
Jika mereka kehilangan hubungan langsung dengan realitas, mereka semua kehilangan nilai yang berasal dari perspektif unik mereka sendiri atau nilai yang sudah tertanam dalam diri mereka.
Mereka kehilangan nilai verifikasi independen dan kemungkinan-kemungkinan seseorang mengoreksi kita.
Namun, para penyelidik (the inquirers), para pencari kebenaran, di sisi lain, membuat peta pemikiran mereka sendiri dan memelihara hubungan mereka dengan realitas.
Dan karena itu, mereka memberi kita nilai aktual melalui perspektif unik mereka tentang Dunia.
Bertolak dari apa yang sudah dikemukakan oleh Nietzsche, tentunya sulit jika diliat begitu saja.
Namun, dalam argumen yang dibuat Nietzsche, mau mengajarkan akan suatu sikap kritis dalam menunjang kehidupan lebih khusus berani mebangun prinsip yang jelas dan tegas dalam menjalankan kehidupan yang dihadapkan pada berbagai perkembangan zaman.
Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita harus percaya pada diri kita sendiri dan tidak sekadar hidup ikut arus? Jangan pernah ragu untuk percaya pada diri kita sendiri.
Persiapkanlah sendiri jalan hidup dan pilihan yang harus kita pilih secara konsisten.
Sehingga, adanya perkembangan tidak menghanyutkan kita pada suatu titik kefakuman, dan bermuarah pada pelarian hidup yang tidak jelas.