Vox NTT- Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI) mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap massa aksi di Jayapura, Provinsi Papua, Selasa (10/5/2022).
Aksi tersebut merupakan penolakan terhadap Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.
Aksi ini merupakan aksi lanjutan dari serangkaian aksi sebelumnya, di mana ratusan bahkan ribuan mahasiswa dan masyarakat meminta kepada pemerintah untuk menghentikan rencana pemekaran beberapa wilayah di Indonesia.
Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, Alboin Samosir, mengatakan aksi yang semula berjalan dengan damai, kemudian ditanggapi dengan sikap represif oleh aparat. Salah satu bentuk sikap represif ini adalah dengan membubarkan paksa, pemukulan, pengejaran, penembakan, dan penangkapan 7 aktivis Papua.
Alboin pun mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh pihak keamanan, yang dinilai terkesan berlebihan dalam mengamankan aksi massa.
“Tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan menjadi bukti betapa pemerintah anti terhadap kritikan dan sedang menutup pintu demokrasi yang sesunguhnya harus dijunjung tinggi oleh pemerintah dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik,” jelasnya dalam rilis yang diterima wartawan, Kamis (12/05/2022).
Menurut dia, pada dasarnya setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali dijaga dan dilindungi haknya dalam menyampaikan pendapat.
Hal ini terwujud dalam Pasal 5 UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan dan Pasal 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Berlandaskan perlindungan ini sudah patut dan seyogianya pihak keamanan dalam menghadapi massa aksi dapat bertindak persuasif dan humanis dengan tetap membiarkan para demonstran menyampaikan pendapatnya di muka hukum dengan menghormati pranata yang ada,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ada evaluasi di tubuh pihak keamanan untuk lebih memperhatikan hak-hak para demonstran yang ingin menyampaikan permasalahan yang sedang mereka alami. Sehingga isu dan substansi yang mereka suarakan dapat tersampaikan dengan baik dan kemudian tidak tertutupi oleh tindakan represif yang dilakukan pihak keamanan.
Berkaitan dengan aksi yang disuarakan oleh mahasiswa dan masyarakat Papua tentang penolakan terhadap Daerah Otonomi Baru, Alboin menyampaikan, sudah seharusnya pemerintah mendengarkan dan memperhatikan aspirasi yang telah disampaikan oleh warga Papua.
Kata dia, sesuai dengan amanat Pasal 76 ayat (1) UU No 2 tahun 2021, di mana pemekaran wilayah harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
Hal ini hanya bisa terwujud apabila terjadi musyawarah mufakat antara pemerintah pusat dengan MRP, DPRP, dan tokoh-tokoh Papua.
“Namun sampai saat ini terdapat nuansa sentralistik terhadap daerah otonom Papua dan Papua Barat dan ingin mengabaikan peran Majelis Rakyat Papua dalam memberikan pertimbangan dan masukan dalam pembentukan daerah otonomi baru. Tentu saja hal ini akan merugikan masyarakat. Papua di mana secara antropologis, sosial, dan budaya, masyarakat papua lebih mengerti apa yang saat ini mereka inginkan,” tuturnya
“Di tengah situasi pemerintah yang sedang memoratorium pemekaran di seluruh Indonesia, tetapi bersikap lain dengan Papua dan Papua Barat tentu saja meninggalkan sejumlah pertanyaan di mana pemekaran wilayah ini rawan ditunggangi oleh pihak-pihak lain dan di tengah situasi keuangan Negara yang belum sepenuhnya pulih, maka wacana ini harusnya dipertimbangkan kembali,” tutupnya.
Penulis: Leo Jehatu
Editor: Ardy Abba