Kupang, Vox NTT-Secara teritorial, wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) tercatat sebagai Provinsi Terdepan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratis Timor Leste (RDTL); baik Darat, Laut dan Udara; maupun dengan Negara Australia dari zonasi Laut dan Udara.
Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa, mengatakan keamanan dan pertahanan NKRI menjadi sangat vital di NTT. Fakta membuktikan bahwa dari sisi keamanan wilayah, Polda NTT sudah masuk kategori tipe A dengan Kapolda berpangkat Irjen.
“Namun miris dan sangat memprihatinkan bahwa dari sisi pertahanan di NTT, memperlihatkan wajah NKRI sangat ketinggalan yakni NTT hanya sekelas Komando Resor Militer (KOREM) bukan Komando Daerah Militer (KODAM) sendiri. Sampai kapan NTT terus di bawah KODAM IX Udayana Bali?” tukas Gabriel melalui keterangan resminya, Sabtu (21/5/2022).
Guna menjawab kebutuhan pertahanan di NTT, Gabriel mendorong agar Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Menteri Pertahanan RI dan Komisi I DPR RI wajib menjadikan NTT Wilayah KODAM sendiri.
“Kami mendorong terbentuknya KODAM EL TARI NTT sehingga dapat membuka akses pembentukan KOREM baru di wilayah Sumba sebagai pulau terdepan Indonesia yang berbatasan dengan Australia dari sisi Laut dan Udara,” kata Gabriel.
Selain itu, Gabriel juga mengemukakan fakta lain, yakni putra-putri NTT yang berminat menjadi Anggota TNI baik itu melalui jalur Tamtama dan Bintara, secara khusus Akademi Militer (Akmil) selalu dipersulit dengan alasan kuota maupun hasil tes psikologi.
Berdasarkan sumber yang dihimpun PADMA Indonesia, hampir setiap tahun kemauan putera-puteri NTT untuk mengabdi negara dengan menjadi anggota TNI sangat tinggi.
Namun demikian, cita-cita putera-puteri NTT selalu kandas karena proses perekrutan Akmil harus melalui KODAM Udayana Bali yang lebih mengutamakan putera-puteri dari Bali bukan dari NTT.
“Fakta membuktikan bahwa sejak tahun 2016-2019, calon Akmil asal NTT tidak ada satupun yang lolos seleksi Akmil dengan alasan nilai akademik dan psikologis yang tidak memenuhi syarat, sehingga jatah untuk NTT dialihkan ke Bali,” ujar Gabriel.
Sementara itu, lanjut Gabriel, proses perekrutan tahun 2020, NTT hanya dapat 1 orang dari seharusnya jatah 5 orang, dengan alasan nilai psikologi calon Akmil asal NTT tidak memenuhi syarat.
Sedangkan proses seleksi tahun 2021, NTT hanya mendapat jatah 2 orang dari kuota KODAM IX Udayana sebanyak 30 orang. Dari 30 orang, Bali mendapat jatah 24 orang, sementara NTB mendapat jatah 4 orang.
“Fakta ini sangat miris dan terkesan diskriminatif karena diduga ada ego sektoral. Sebab, Bali selalu dominan mendapat jatah lulusan Akmil. Masyarakat NTT tentu merasa kecewa karena NTT selalu ‘dianaktirikan’,” sorot Gabriel.
Gabriel membandingkan, fakta miris di NTT justru terjadi sebaliknya di wilayah Papua yang selalu memprioritaskan putra-putri Papua untuk masuk TNI melalui jalur Akmil dengan jatah di atas 20 orang per-KODAM setiap tahun, sehingga setiap tahun 40-an putra-putri lolos Akmil dari 2 KODAM di Papua.
Gabriel menyinggung fakta lain, meski kecewa karena tes psikologi dinyatakan gagal, namun beberapa putra-putri NTT justru dinyatakan lolos seleksi Akmil di Luar Negeri seperti di Amerika Serikat sebagaimana pengalaman dua bersaudara asal Manggarai yang menjadi lulusan terbaik dan menjadi penerbang pesawat tempur Milliter Amerika.
Gabriel mengaku, terpanggil untuk menyuarakan kepentingan putera-puteri NTT sebagai bumi yang melahirkan Pancasila dan tidak menjadi “anak tiri” di NKRI, maka PADMA Indonesia mendesak Anggota Komisi I DPR RI, Menteri Pertahanan RI dan Panglima TNI, agar segera membentuk KOREM Sumba dan KODAM EL TARI NTT pada 5 Oktober 2022, bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata.
“Kami juga meminta atensi serius Menteri Pertahanan RI, Panglima TNI dan Anggota Komisi I DPR RI untuk memperhatikan putera-puteri NTT agar diterima di Akmil NKRI sehingga mereka tidak tergiur untuk masuk Akmil di Luar Negeri seperti Amerika maupun Australia, karena merasa didiskriminasi dan dianaktirikan di NKRI,” tandas Gabriel. [*]