Perawan Tua
Namaku Alisa. Aku adalah seorang perawan tua yang tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tuaku. Ayahku meninggal tanpa keluhan sakit lima tahun lalu. Sedangkan ibuku meninggal karena kecelakaan bersamaku.
Waktu itu umurku dua puluh tahun. Dan karena kecelakaan itu, aku kehilangan kaki kiriku.
Dulu, sebelum aku kehilangan kakiku, orang sering bilang bahwa aku cantik. Aku sendiri pun mengakui itu, sebab begitu banyaknya lelaki yang menyukaiku.
Namun, setelah kecelakaan yang membuat kakiku harus terpotong dari bagian yang lainnya, aku merasa kecantikan itu hilang tak tersisa sedikit pun pada tubuhku.
Dan karena itu, akhirnya tak ada seorang lelaki pun yang datang melamar dan memperistriku.
Berbulan-bulan setelah kejadian itu aku coba mengikhlaskan kenyataan yang terjadi, tapi ada saja yang membuatku menangis histeris ketika bayangan itu mulai datang dalam pikiranku.
Aku merasa kehilangan banyak hal. Bukan hanya ibu dan kaki kiriku, melainkan masa depan dan kebahagiaanku.
Aku kehilangan seseorang tepat sebulan setelah itu. Ketika aku masih berada dalam perawatan intensif, aku mendapati pesan dari Adrian, lelaki yang selama ini aku kagumi.
Aku mengenalnya sejak tujuh tahun lalu, tepatnya saat kelas satu SMA. Dan sejak itulah kami berpacaran.
Aku juga masih ingat, seminggu sebelum kecelakaan itu, ia bilang kepadaku bahwa dalam waktu dekat ia bersama keluarganya akan datang melamarku.
Namun, pesan yang dikirimnya membuat kawah menganga dalam dadaku, luka pada tubuhku terasa bertambah.
“Enu, dari hati yang paling dalam aku minta maaf, aku pikir hubungan kita berakhir sampai di sini.”
Memang semenjak aku mengalami peristiwa yang membuat tubuhku tidak lagi senormal yang ia kenal, aku sudah membayangkan bahwa aku akan kehilangan dirinya.
Sebab, aku tahu, dunia ini menjadi indah karena ia begitu lengkap dan memiliki segalanya. Tentu begitu pula bagi dirinya, bukan?
Aku sudah tahu dia tak mau menikahi perempuan ganjil sepertiku yang hanya mempunyai satu kaki. Tapi tidak bisakah dia sedikit berempati kepadaku.
Setidaknya, ia memahat luka baru dalam dadaku ketika luka pada kakiku sedikit kering.
Aku tak membalas pesannya. Dan aku pikir ia tahu bahwa aku sedang mengeluarkan air mata kesedihan saat membaca pesannya.
Dan barangkali karena ia menyadari bahwa hatiku begitu sakit dan air mataku mengalir tak terbendung, akhirnya ia mengirim pesan yang kedua.
“Enu, aku harap engkau bisa terima ini,” katanya.
Aku memang manusia perasa. Tapi aku juga manusia yang menyadari segala sesuatu. Meski aku tak bisa terima kenyataan itu, tapi aku sadar dia tak akan menerima ketidak-terimaanku begitu saja.
Di tengah kondisiku yang begini, aku hanya mampu merasa kebahagiaan dan masa depan tidak akan menghampiriku.
Karena itu, aku kerap berpikir barangkali kematian ibu lebih baik daripada kehilangan kaki sepertiku.
Kini dalam kesendirianku, aku tak tega membayangkan usiaku yang tak kunjung kubendung.
***
Sebelum aku mendapati kaki kiriku remuk dan kepala ibu yang hancur tidak berbentuk, aku punya niat untuk membelikan sesuatu untuk ibu.
Karena itu, aku memaksa ibu untuk menemaniku pergi ke kota, membelikan hadiah untuknya yang berulang tahun besok.
Ibu sempat menolak karena tak mau ulang tahunnya merepotkanku. Dan kalau saja aku tidak memaksanya hingga meluluhkan hatinya, mungkin saja kami tidak jadi berangkat dan kesialan itu tidak terjadi pada kami.
Tapi ibu menuruti ajakanku. Beberapa menit kemudian aku mengeluarkan sepeda motorku dari garasi. Jarak kota dari rumahku memang tidak jauh dan bisa ditempuh dengan waktu setengah jam.
Aku dengan cepat mempersiapkan diri. Ketika ibu keluar dari rumah lalu dengan segera ia naik ke boncenganku. Kutarik tuas gas sepeda motor kesayanganku.
Dalam perjalanan, aku merasa bangga jika kali ini aku bisa memberikan hadiah ulang tahun untuk ibu. Maka, jika sampai di toko serba ada yang akan kami datangi, akan kubelikan sesuatu yang sangat disenangi ibu.
Tapi di simpang empat lampu merah, aku tak bisa mengendalikan laju kendaraanku. Entah mengapa rem motorku tidak berfungsi sama sekali.
Kepanikan benar-benar membuatku dan ibu berteriak minta tolong. Tapi bagaimana mungkin pertolongan datang dalam tempo waktu tidak sampai setengah menit.
Maka, saat itu juga kami menghantam sebuah truk besar dari arah berlawanan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Kepalaku pusing untuk mengurutkan kembali kisah ini.
Terutama ketika aku terhempas keluar dan ibuku terhempas tepat di depan bodi truk itu. Roda depan dan belakang bagian kirinya menggilas kakiku bagian lutut ke bawah, hancur dan tulang-tulangnya remuk.
Ketika truk itu sudah melewatiku, aku melihat kepala ibu pecah tidak berbentuk digilas roda bagian kanan.
Yang aku ingat ialah bagaimana orang-orang dengan cepat melarikanku ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan ibu dikelilingi oleh orang-orang dan tak menunggu lama polisi ada di situ.
***
Berbulan-bulan aku tidak keluar rumah dan harus mengambil cuti dari pekerjaanku. Sebab, harus merawat dan rutin mengobati luka di kakiku yang diamputasi oleh dokter di rumah sakit.
Ketika aku menatap ayah, hatiku benar-benar tak tega. Di wajahnya selalu tergambar perasaan tak rela kehilangan istri dan putri kesayangannya yang cacat.
Satu tahun setelah peristiwa itu, luka di kakiku sudah sembuh. Namun, aku membutuhkan tongkat untuk menopang badanku agar bisa berpindah-pindah tempat.
Kini tongkat sudah menggantikan kakiku. Dan karena bantuannya, aku bisa beraktivitas di luar rumah untuk mengikuti berbagai kegiatan, semisal mengikuti acara bersama teman-temanku.
Seperti pada hajatan pernikahan Asti, sahabat karibku semenjak kuliah.
Atas izin ayah, aku berangkat bersama teman-temanku yang lain. Kami berangkat jauh sebelum acara mulai. Kami memang sudah tak sabar menyaksikan kebahagiaan Asti.
Karena itu, dari sekian banyak tamu undangan yang datang, kami adalah tamu yang paling awal tiba di ruang pesta itu.
Lima belas menit kemudian, menyusulah tamu-tamu lain dan petugas mengantar mereka duduk di belakang kami.
Saat aku serius menatap ke arah pengantin, kepalaku tertusuk oleh ingatan akan lelaki yang meninggalkanku.
Bahkan aku sempat berkhayal, andaikan aku tidak kehilangan kakiku, aku pasti tidak kehilangan Adrian dan dia pasti menikahiku.
Tiba-tiba seorang lelaki tampan di belakangku menyodorkan tangannya dan memperkenalkan dirinya, Firman.
Semua ingatanku buyar seketika. Aku terima tangannya dan memperkenalkan diriku. Sejak itu terjadilah percakapan antara aku dengannya dengan posisi aku membelakanginya.
Ia bilang dirinya masih bujang. Lalu ia bertanya kepadaku, apakah aku punya pacar? Lalu saya menjawab tidak.
Percakapan kami berlangsung mengalir seperti air sungai. Dari sekian lama percakapan kami, aku bisa tahu apa pekerjaannya dan dia juga mengetahui pekerjaanku.
Aku juga bisa menebak ia menyukai wajahku sebab ia beberapa kali memujiku “cantik”, katanya. Bahkan ia berkata sangat beruntung jika mendapatkan perempuan cantik seperti diriku.
Lalu aku senyum saja, meski hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Namun, di sisi lain aku menyadari kelemahanku pada bagian tubuhku yang lainnya, dan tak lain ialah kaki kiriku.
Lelaki itu meminta nomor teleponku. Ia bilang, ia akan meneleponku jika pulang dari pesta itu.
Beberapa menit kemudian, sebagian besar tamu undangan berpamitan pulang dengan memberi hormat kepada pengantin.
“Ayo kita foto bersama pengantin,” kata Andin.
“Ayo…” jawab Nita
“Ayo, ayo, ” kata Siska sambil berdiri.
Aku lihat pengantin perempuan memanggil-manggil dari panggung, akhirnya ketiga temanku langsung berjalan cepat menuju panggung, sementara aku duduk sendiri membelakangi beberapa lelaki tadi, termasuk Firman.
Aku melihat, beberapa tangan dari depan memanggilku dengan teriak “ayo Lis, sini!” Mendengar itu, Firman bilang “ Nona, dipanggil sama temannya, tuh.” Sambil menunjuk.
Karena paksaan dari teman-temanku di depan, akhirnya aku berjongkok mengambil tongkatku yang sedari tadi saya lepas di lantai.
Lalu aku berdiri dan melangkah menuju panggung pelaminan untuk berpose bersama temanku.
Aku bahagia sekali rasanya berada di panggung itu. Namun, saat kembali ke tempat duduk, lelaki yang meminta nomorku tidak ada di tempat duduknya.
Aku tahu, ia pergi karena melihatku yang berjalan pincang. Dan dengan secepat itulah ia mengubah citranya tentang aku.
Begitu pun tahun-tahun setelah itu. Ada lelaki yang meminta nomorku di media sosialku, namun begitu datang bertemu langsung di rumah, mereka tidak banyak bicara seperti saat bertelepon.
Dan tak ada satu pun yang mau datang untuk kedua kalinya.
Dan kini, usiaku empat puluhan. Aku sudah tidak muda lagi. Aku tetap menjadi seorang perawan tua.
Kini aku benar-benar sudah mengikhlaskan kenyataan hidupku, sebab aku tahu Tuhanlah yang mengatur semuanya.
Dan aku selalu berpikir bahwa kenyataan adalah yang terbaik dari sekian banyak yang tidak dinyatakan oleh Tuhan.
Aku hanya berdoa, ketika Tuhan hendak mengambilku, kiranya tak ada sakit yang menyiksa dalam kesendirianku.
Penulis: Fersi Darson