(Sebuah Refleksi Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022)
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
Ka SMPK Frateran Ndao
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.”… Ir Soekarno.
“Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraa”… Ir. Soekarno.“Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok mana pun, juga agama, atau kelompok etnis mana pun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”… Ir. Soekarno.
Demikianlah tema hari lahir Pancasila 1 Juni 2022, yang patut kita renungan bersama sebagai warga negara Indonesia.
Hari lahir Pancsila dijadikan sebagai libur Nasional, yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 oleh presiden Jokowi.
Dengan ditetapkan 1 juni sebagai hari libur Nasional, itu artinya betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar Negara.
Sebagai dasar Negara, maka Pancasila sebagai fondasi yang kokoh kuat demi tegaknya NKRI. Pancasila yang terdiri dari 5 sila harus dapat menjiwai hidup setiap anak bangsa.
Kalau kita renungan 5 butir Pancasila terintegrasi menjadi satu kata yang utuh, yakni Pancasila atau 5 menjadi 1 “ five in one ”.
Hal ini juga mau mencerminkan semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda beda, tetapi tetap satu.
Bahwa Negara Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama dan budaya, yang tersebar di berbagai pulau di wilayah Indonsia adalah sesungguhnya merupakan kekayaan bangsa yang harus dipelihara, dirawat, dan dijaga, dalam taman Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, hingga saat ini masih saja ada oknum atau kelompok yang mencoba mengganggu NKRI. Dan jika ada yang mengganggu, maka mereka termasuk orang-orang durhaka, yang lahir dari ibu pertiwi, namun mengkhianati ibu pertiwi Indonesia. Dan pertanyaannya adalah apa yang mereka cari?
Bukankah Allah menciptakan dan menghendaki keberagam itu? Untuk itu, dalam rangka menyonsong hari lahir pancasila, yang diperingati tanggal 1 Juni, baiklah kita merenungkan dasar dan arah bangsa indonesia dari lirik lagu yang diciptakan oleh mendiang Franky Sahilatua dengan judul “Pancasila Rumah Kita”.
Judul lagu ini mengandung makna Pancasila sebagai rumah adalah tempat kediaman kita bersama. Sebagai rumah, sebagaimana rumah tempat tinggal kita masing-masing, maka harus menjadikan penghuni rumah merasa aman, nyaman dan at home.
Dieja lebih jauh Pancasila rumah kita juga bermakna sebagai salah satu dasar yang menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia untuk mencapai cita cita seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, setiap warga Indonesia harus bisa memaknai lirik-lirik lagu yang teruntai menjadi sebuah alunan yang indah: Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua, Nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya.
Untuk semua, puji namanya, untuk semua cinta sesama, untuk semua warna menyatu, untuk semua bersambung rasa, untuk semua saling berbagi, pada setiap insan, sama dapat sama rasa, ohh Indonesia, oh Indonesia.
Demikianlah syair lagu “pancasila rumah kita” yang sangat sederhana, namun sarat maknanya. Intinya menurut hemat saya, lagu Pancasila rumah kita mengajak semua kita untuk merasa memiliki dan menghayati nilai-nilai pancasila, sehingga kita sebagai satu keluarga ibu pertiwi, yakni Indonseia, dengan Pancasila sebagai perekat atau pemersatu diantara keberagaman.
Berbeda atau beragam itu indah, ibarat kembang yang berwarna warni di dalam taman bhinneka Tunggal Ika.
Dan sekali lagi Allah menciptakan keberagaman ataupun ke unikan untuk saling memperkaya, saling melengkapi dan saling mengisi.
Lalu, jika Allah menciptakan dan menghendaki adanya keberagaman, mengapa manusia ingin menolak atau mau menentang atau meniadakannya? Siapakah engkau, wahai manusia yang tidak tahu diri?
Engkau hanyalah sebutir debu, mengapa engkau tidak menghormati Tuhan yang telah menciptakan engkau? Tuhan menciptakan engkau, saya dan kita manusia berbeda satu dengan yang lain, agar kita saling menghormati perbedaan-perbedaan itu.
Oleh karena itu, sesungguhnya Pancasila adalah anugerah dari Tuhan untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama dan budaya, menjadi rumah kita bersama dalam bingkai NKRI.
Dan jika setiap warga negara Indonsia sungguh menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila pancasila, maka sesungguhnya akan menjunjung tinggi martabat dan peradaban kita sebagai bangsa Indonesia.
Namun, faktanya tidaklah demikian, sebab nilai martabat sebagai manusia dan peradaban kita dewasa ini semakin hari semakin memprihatinkan dengan adanya degradasi kemanusiaan.
Kita bisa lihat di televise atau di sosmed, para elit politik, para pengamat politisi, para ademisi yang katanya bergelar profesor, doktor, atau lainnya yang sering mempertontonkan ucapan atau kata-kata atau kritikan yang merendahkan, yang melecehkan, yang menghina, yang menghujat, yang destruktif, serta ujaran kebencian, bahkan sampai “membunuh” karakter, yang tidak mencermin titel atau gelarnya.
Bagaimana mungkin seorang profesor, doktor, yang lebih beradab dari seorang anak SD yang tahu menghormati orang lain? Harusnya sebagai seorang memiliki gelar atau titel yang menterang, harus lebih rendah hati, lebih bijaksana, lebih memberikan solusi atau kritikan yang konstruktif, yang membuat kesejukan, kedamaian, lebih santun dan beradab atau belajar dari ilmu padi atau bambu yang semakin berisi semakin merunduk atau semakin tinggi kedudukan semakin merunduk alias rendah hati.
Itulah fakta yang kasat mata yang terjadi dewasa ini, yang menunjukan martabat dan peradaban kita mengalami penurunan atau surut. Yang anehnya mereka berbicara seringkali atas nama rakyat kecil. Padahal kalau dilihat, justru rakyat kecil yang mungkin tidak punya gelar atau titel malah lebih bermartabat dan lebih beradab dari pada para profesor atau doktor, apalagi katanya lulusan luar negeri.
Justru ketika mereka bicara yang tidak pantas yang tidak mencermin kualitas gelar atau titelnya, akan menjadi tanda tanya? Apa profesor benaran atau provokator atau doktor benaran atau drakula? Mengapa? Karena gelar atau titel tidak mencermin kualitas dirinya alias tidak bermartabat dan tidak beradab.
Martabat adalah nilai yang melekat dalam diri manusia yang mendasari penghormatan terhadap manusia itu sendiri. Jadi, bagaimana orang lain bisa menghormati diri kita, kalau kita sendiri tidak mau menghormati orang lain?Itu artinya pula bahwa ketika kita menghormati orang lain, itu sama dengan kita menghormati diri kita sendiri.
Demikian juga dengan peradaban yang berasal dari kata adab yang dalam pengertian ini mengandung pengertian tata krama, perilaku atau sopan santun. Dengan demikian peradaban adalah segenap prilaku sopan santun.
Dengan demikian peradaban adalah segenap prilaku sopan santun dan tata krama yang diwujudkan oleh setiap manusia dari waktu ke waktu baik dalam realitas politik, ekonomi dan sosial lainnya.
Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban sering diidentikkan dengan kata kebudayaan.
Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan.
Peradaban (civilization) dapat diartikan sebagai hubungannya dengan kewarganegaraan, karena diambil dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warga Negara yang berkemajuan.
Dalam hal ini dapat diartikan dengan dua cara (1) proses menjadi berkeadaban, (2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju.
Jadi, konsep peradaban bersifat mencakup semua. Oleh karena itu, menjadi beradab adalah menjadi santun dan berakhlak baik dan peduli pada orang lain, bersih dan sopan serta higienis dalam kebiasaan pribadi dan sebagainya.
Sebuah peradaban tinggi seharusnya bisa menjaga keagungan manusianya, memberikan kepuasan terhadap fisik, estetika psikis, dan kreativitas manusianya.
Menurut Prof Dr. Koentjaraningrat, Peradaban ialah bagian-bagian yang halus dan juga indah layaknya seni. Masyarakat yang telah maju didalam kebudayaan berarti mempunyai peradaban yang tinggi.
Namun, jika kita melihat dalam konteks keIndonesiaan kita, sepertinya martabat dan keadaban kita, semakin hari semakin mengalami degradasi, dengan melihat fakta melalui TV atau narasi-narasi melalui sosial media dari oknum-oknum baik yang berpendikkan maupun yang kurang atau tidak berpendidikan.
Yang sangat memprihatikan adalah justeru oknum-oknum yang memiliki gelar atau titel, yang menurut hemat saya sangat tidak bermartabat dan tidak beradab, itu artinya tidak berkualitas.
Dan jika di negeri Indonesia sendiri tidak bermartabat dan tidak beradab, bagaimana mungkin bisa membangun martabat dan peradaban dunia? Artinya seruan bangkit bersama membangun peradaban dunia, sebagaimana tema yang diusung dalam peringatan hari lahir pancasila 1 Juni 2022, harus dimulai dari diri setiap anak bangsa, keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia, maka buahnya dapat membangun perdaban dunia.
Jangan sampai bangkit bersama membangun peradaban dunia global, sedangkan dalam negeri sendiri bobrok.
Namun, jikalau dunia yang dimakasudkan adalah dunia diri setiap anak bangsa, maka itu benar, sebab untuk mengubah dunia yang besar, harus dumulai dari dunia yang paling kecil, yakni diri sendiri, keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa dan dunia yang luas atau global.
Oleh karena itu, jadikan peringatan hari lahir pancasila 1 Juni tahun 2022 ini, sebagai momentum untuk mereflesi diri sebagai anak bangsa, apakah sudah menghayati dan memgimplementasikan sila-sila dalam pancasila dalam kehidupan sebagai anak bangsa?
Apakah sebagai anak bangsa kita sudah menjadi warga Negara Indonesia yang pancasilais?Apakah sebagai anak bangsa kita sudah menjadi anak bangsa yang bermartabat dan beradab?
Kita hanya akan bisa menjadi anak bangsa yang bermartabat dan beradab, manakala kita menghayati sila-sila dalam pancasila, mulai dari sila pertama ke-Tuhanan Yang Maha Esa,hingga sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila pertama ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung makna cinta kepada Tuhan, yang diwujudkan lewat cinta kepada sesama yang diwujudkan melalui sila kedua hingga sila ke lima dari pancasila.
Bahwa manusia yang bermartabat dan beradab itu, adalah manusia yang rendah hati, di mana hatinya menjadi istana Tuhan, dan sesamanya menjadi teman, sehinga dia memperlakukan sesama sebagai teman atau homo homin socius.
Dan bukan sebaliknya, memperlakukan sesamanya seperti serigala yang suka memangsa atau homo homini lupus. Akhirnya, Salam Pancasila: Saya Pancasila, saya Indonesia. NKRI harga mati!!!