Oleh: Wilkun
Pelaku Usaha, Tinggal di Manggarai Barat, NTT
Jagat media massa dan media sosial sedang hangat berbincang soal masalah di restoran Mai Ceng’go, Manggarai Barat, NTT. Masalah ini mengagetkan publik. Mengapa? Sebab dalam berita MetroTV, Benny Harman anggota dewan dari partai Demokrat menganiaya karyawan restoran Mai Ceng’go.
Begitu kejamkah wakil rakyat itu? Ini tentu pertanyaan publik yang muncul. Beruntung, Benny Harman sendiri mengklarifikasinya melalui konferensi pers di Restoran Mai Ceng’go itu.
Semenjak masalah ini viral, reaksi publik pun beragam. Ada yang melihatnya sebagai masalah hukum semata. Ada pula yang melihatnya sebagai persoalan yang sarat dengan pesan politik tertentu. Semua tanggapan semacam itu adalah hal biasa.
Namun, hemat saya, satu sisi yang tidak boleh luput dari perhatian kita adalah sisi budaya. Budaya yang saya maksudkan adalah budaya lokal Manggarai.
Mengapa? Sebab nama restoran “Mai Ceng’go” itu saya begitu yakin diambil dari bahasa Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Setiap pemberian nama apapun, termasuk nama restoran “Mai Ceng’go” pada restoran itu mempunyai arti tertentu.
Nama adalah Tanda
Nomen est omen. Artinya nama adalah tanda. Begitu bunyi sebuah adagium. Setiap nama selalu mempunyai arti sesuai konteks sejarah, budaya dan perjuangan tertentu. Begitupun nama restoran Mai Ceng’go. Mai Ceng’go ini diambil dari bahasa Manggarai, NTT.
Mai artinya datang dan ceng’go artinya singgah atau bertamu. Mai Ceng’go artinya datang singgah atau bertamu. Lazimnya, Mai Ceng’go itu lebih berisi ajakan dari tuan rumah kepada tamu.
Satu yang penting diingat di sini bahwa tuan rumah yang mengajak tamu harus mempunyai tutur dan tindak yang adab.
Keberadaban ditunjukkan dengan sikap ramah, jujur, tulus dan sopan. Semua nilai moral ini wajib dijunjung tinggi.
Logisnya begini: bila tuan rumah menjunjung nilai moralitas seperti ini, maka tuan rumah itu adalah tuan rumah yang baik. Tidak lebih dan tidak kurang begitu.
Yang perlu ditekankan pula di sini adalah nilai moral sebagaimana disinggung di atas, tak hanya berlaku bagi tamu yang kaya dan pejabat saja tapi juga berlaku bagi semua orang.
Bagaimana nilai keutamaan ini mesti diterapkan oleh pihak restoran Mai Ceng’go sebagai pelaku bisnis?
Restoran Mai Cenggo Pelaku Bisnis
Restoran Mai Ceng’go merupakan pelaku bisnis di kota pariwisata super premium. Sebagai pelaku bisnis, maka restoran Mai Ceng’go tentu mencari keuntungan.
Siapa pun tidak bisa menyangkal ini. Mengapa? Sebab tidak ada bisnis yang tak mencari keuntungan. Bisnis yang tidak mencari keuntungan bukan lagi bisnis.
Meski begitu, dalam dunia bisnis, pengusaha tak hanya mencari profit semata tapi juga menjaga sisi kemanusiaan. Ini bisa dijelaskan begini: pelaku usaha seperti Restoran Mai Ceng’go tak hanya mencari keuntungan dengan melukai perasaan dan martabat para tamu yang berkunjung (cenggo).
Sebaiknya, berbisnislah dengan ditopang oleh etika pelayanan yang manusiawi. Apakah ini sudah terjadi pada restoran Mai Ceng’go? Rupanya ada yang kontradiktif di sana.
Nama yang disandang restoran itu tidak sesuai dengan tutur dan tindak pelayan restoran.
Kontradiksi sebuah Nama
Soal kontradiksi ini, Anda bisa bilang bahwa ini mengada-ada. Tentu saja penilaian publik semacam ini tak dapat dihindari tapi di ruang terbatas ini, saya tunjukkan kontradiksi itu.
Pertama, pelayan restoran bertutur dan bertindak penuh dusta. Dusta dalam bahasa Manggarai diungkapkan dengan istilah “sesa mu’u eta, ngampang nai wa'”.
Artinya kurang lebih begini: lain di mulut lain pula di hati. Ini yang terjadi di sana. Apakah ini khayalan? Tentu tidak.
Bolehlah kita melihat kembali pernyataan pers yang disampaikan Benny Harman. Di sana, pelayan restoran sudah berdusta terhadap anggota dewan yang bertamu (cenggo) di saat itu.
Rikardo, pelayan restoran, meminta Benny Harman untuk meninggalkan meja yang sudah dipesan. Rikardo berdalil bahwa sudah ada “tamu terhormat” yang sudah memesan.
Namun, setelah dicaritahu lebih lanjut oleh pihak Benny Harman, ternyata tamu terhormat itu masih misterius dan baru memesan setelah Beny Harman diminta tinggalkan meja itu. Jelas ini adalah dusta.
Kedua, pelayan restoran bersikap plin plan. Sikap plin-plan, orang Manggarai menyebutnya: “somor ngger olo, sumir ngger musi”.
Terjemahannya kurang lebih begini: ke depan omong lain dan ke belakang omong lain pula. Namun, apakah ini omong kosong? Rupanya tidak.
Bolehlah bila kita kembali mencermati pernyataan pers yang dibuat Benny Harman. Saat Benny Harman ingin bertemu manager restoran Mai Ceng’go, semula pihak restoran menjawab bahwa “tuan manager” ada di tempat.
Tak lama berselang, pelayan restoran pun bilang bahwa ia sedang di Bali. Ini jelas sikap plin-plan, bukan?
Ketiga, restoran Mai Ceng’go menjadi arena perseteruan para pihak. Dalam bahasa Manggarai, “hia pijang bike niang, ndasing bike laing“.
Para pihak yang berseteru adalah pihak Benny Harman dan pihak tamu terhormat yang kini masih misterius.
Masalah Restoran Mai Ceng’go hanyalah satu di antara banyaknya kasus.
Namun, masalah ini memuat pesan penting yang ingin disampaikan kepada pelaku bisnis di kota pariwisata super premium.
Pesan dari Masalah Restoran Mai Ceng’go
Masalah ini paling tidak memberi banyak pesan berikut:
Pertama, utamakan keramahan dan kesantunan dalam melayani orang. Orang Manggarai menyebutnya dengan istilah “tawa lima gantang reges lima leke”.
Artinya senyum dan ramah. Setiap pelayan menjadikan keramahan dan senyuman sebagai modal utama.
Mungkin tak salah orang bilang bahwa senyum penting persis karena satu kali senyum hilang curiga. Dua kali senyum orang makin bersahabat. Tiga kali senyum orang jatuh cinta.
Kedua, Benny Harman melawan keangkuhan “para tuan”. Para tuan yang yang dimaksud adalah kelompok pengusaha yang bersikap angkuh.
Para tuan adalah minoritas pemodal yang menjadikan harta lebih penting ketimbang harga diri. Para tuan yang dimaksud pula adalah hartawan yang mengutamakan keuntungan bisnis ketimbang harkat dan martabat manusia.
Sampai di sini, Benny Harman bisa menjadi simbol perlawanan para korban keangkuhan dan kesewang-wenangan para tuan yang berduit.
Ketiga, mengoreksi pelayanan restoran yang tidak manusiawi di kota pariwisata super premium. Predikat pariwisata super premium tentu masih cita-cita. Cita-cita ini akan menjadi kenyataan, jika kualitas pelayanan diperbaiki.
Dari pelayanan yang biadab menjadi beradab. Kalimat ini mungkin kedengaran kasar tapi penting untuk kebaikan dunia usaha. Soal pelayanan yang tidak manusiawi ini, setiap orang mempunyai pengalaman yang sama.
Saya begitu yakin bahwa Anda yang pernah berkunjung ke daerah pariwisata yang lain sudah merasakan perbedaan. Ambillah contoh berikut.
Kala Anda kembali dari kota Yogyakarta atau Bali kemudian tiba di NTT, termasuk Manggarai Barat, tak usah Anda berdusta untuk bilang bahwa ada yang lain. Apa yang lain? Begitu mahalnya senyuman para pelayan restoran.
Tutur kata dan tindak pun tidak seindah harapan layaknya kota pariwisata andalan. Soal ini bisa saja ada yang menyangkalnya. Tapi jejak digital tak bisa dihapus.
Tinggal saja publik membuka kembali berbagai rentetan kisah buruk sebelumnya.
Keempat, mendukung pelaku bisnis di daerah destinasi pariwisata super premium. Sebagai putra daerah, Benny Harman harus memberi dukungan.
Namun, ini dukungan dengan syarat yang tak bisa ditawar-tawar, yaitu semua pelaku pariwisata dan pebisnis harus menjaga kearifan budaya lokal Manggarai Barat seperti keramahan, kejujuran, ketulusan dan sopan santun.
Menjaga semua kearifan lokal ini sama dengan mewujudkan mimpi Manggarai Barat sebagai destinasi pariwisata super premium.
Di sini Benny Harman menyadari betul bahwa destinasi pariwisata super premium masihlah cita-cita. Belumlah menjadi kenyataan.