Oleh: Agustinus Patibayu
Mahasiswa semester 2 PGSD Unika Ruteng
Setelah pandemi Covid-19, masyarakat Indonesia heboh dengan munculnya masalah lain, yakni melonjaknya harga minyak goreng di pasaran.
Meroketnya harga minyak goreng secara signifikan membuat masyarakat merasa gerah, apalagi sampai saat ini masalah kenaikannya belum saja usai.
Dampak yang terjadi akibat kenaikan minyak goreng tentu merembes ke bilik ketahanan ekonomi masyarakat.
Apalagi, seperti kita tahu, Indonesia adalah negara berkembang dengan cengkeraman kemiskinan yang terus berlanjut.
Melansir Badan Pusat Statistik (BPS), persentase kemiskinan masyarakat kita berada di angka 9,71 persen per September 2021, menurun 0,43 persen poin terhadap Maret 2021.
Artinya jumlah penduduk miskin pada September 2021 sebesar 26,50 juta orang, menurun 1,04 juta orang terhadap Maret 2021.
Jumlah itu tetap cukup besar meskipun di sisi lain menunjukkan kemajuan pemberantasan kemiskinan.
Bertolak dari kenyataan tersebut, tidak heran jika munculnya masalah kenaikan harga minyak goreng ini mempersulit masyarakat dalam proses pengelolaan anggaran belanja.
Kondisi ini mengharuskan pemerintah mensiasati masalah ini dengan cepat.
Merujuk pada laporan Institut for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) kerugian ekonomi akibat kenaikan harga minyak goreng diperkirakan mencapai Rp 3,38 triliun.
Kerugian ini merupakan akumulasi dari selisih dari selisih harga rata-rata minyak goreng pada periode April 2021- Januari 2022 dibandingkan dengan sebelumnya.
Dari data itu, dapat ditarik rincian berikut, masyarakat dengan pengeluaran per kapita sebesar Rp1 juta-Rp1,5 juta per bulan mengalami kerugian paling besar, yakni 0,82 triliun.
Kerugian tersebut dihitung dengan menggunakan asumsi konsumsi minyak goreng sebesar 2,21 juta liter per hari.
Dampak pada Sektor UMKM dan Rumah Tangga
Harga minyak goreng sudah melambung sejak Desember 2021 menyusul lonjakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional.
Merujuk data Refinitiv, Kamis (24/3/2022), harga CPO sudah melambung 59% selama setahun menjadi MYR 6.242 per ton.
Harga CPO bahkan menembus rekor tertinggi pada 9 Maret 2022 di MYR 7.268 per ton.
Untuk menstabilkan harga minyak goreng, pemerintah, di Januari, kemudian mengambil kebijakan dengan memberikan subsidi sehingga harga minyak goreng dijual Rp 14.000 per liter.
Kenaikan harga minyak goreng tentu berdampak pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta anggaran belanja rumah tangga, padahal UMKM merupakan salah satu sektor pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil dalam program kerja Presiden Joko Widodo yang ditargetkan mencapai 20 juta unit per tahun 2022 ini.
Sayangnya, sektor yang terdampak cukup telak akibat kenaikan harga minyak goreng ini justru adalah UMKM.
Saat ini banyak masyarakat mengeluh, terlebih para penjual gorengan, pengusaha warung makan, dan ibu-ibu rumah tangga juga merasakan dampak kenaikan harga minyak goreng ini.
Akan tetapi, soalnya tidak hanya terletak pada masalah kenaikan harga. Situasi ini dipersulit dengan masalah kelangkaan.
Saat ini, minyak goreng tidak hanya mahal, tetapi juga menjadi barang langka. Kelangkaan minyak goreng di pasar mulai dirasakan masyarakat sekarang ini.
Mensiasati masalah kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng ini, ibu rumah tangga serta para konsumen lainnya terpaksa mengonsumsi makanan non lemak.
Ini merupakan suatu cara agar menjaga anggaran belanja serta pengeluarannya tidak terlalu besar.
Hanya saja, bagi pengusaha kecil seperti pengusaha gorengan, soalnya tentu saja menjadi lebih serius, salah satunya ialah dengan mensiasati harga barang.
Saat ini, banyak pengusaha terpaksa menaikkan harga produk untuk menjaga keberlangsungan usaha mereka.
Ulah Kartel Minyak?
Di satu sisi, masyarakat perlu tahu bahwa kenaikan harga minyak goreng memang masalah kelangkaan komoditas itu di pasar global.
Karenanya, kenaikan harga baru-baru ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
Dilansir dari situs globalproductprices.com, Senin (21/3/2022), Afrika Selatan menjadi negara dengan harga minyak goreng termahal di dunia, seharga USD 5.35 per liter atau sekitar Rp76.000.
Swiss berada di urutan kedua, yakni pada angka USD 4,94 (Rp70.000) per liternya, diikuti oleh Kolombia seharga USD 4,93 per liter (Rp70.677) dan seterusnya.
Dibanding data-data itu, kenaikan harga minyak goreng di Indonesia dengan subsidi pemerintah menjadi Rp14.000.00/liter terhitung wajar meskipun masih kalah dari Malaysia yang berada di angka Rp7.650.00/liter.
Dijelaskan oleh para ekonom bahwa faktor kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh naiknya harga CPO (Crude Palm Oil) atau Minyak Sawit Mentah dunia.
Lonjaknya harga minyak mentah dipengaruhi beberapa faktor.
1). Turunnya panen sawit pada semester kedua. Akibatnya, ketika terjadi kenaikan harga CPO internasional, harga CPO di dalam negeri turut menyesuaikan harga internasional.
Adapun, ketersediaan minyak goreng per 25 Oktober 2021 mencapai 628.640 ton dengan ketahanan 1,49 bulan.
2). Penyebab lain yang menyebabkan melonjaknya harga minyak goreng yakni adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30.
3). Gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.
Sejak berlangsungnya pandemi Covid-19, para pelaku usaha sedang menghadapai masalah kelangkaan kontainer dan keterbatasan ruang atau space dikapal, misalnya kelangkaan peti kemas/kontainer untuk ekspor yang bukan hanya terjadi di Indonesia tapi secara global.
Akan tetapi, di sisi lain, isu miring di balik naiknya harga minyak goreng ini tetap menjadi topik perbincangan di masyarakat.
Sebagian masyarakat menganggap masalah minyak goreng adalah sebuah kepentingan politik.
Ada isu bahwa pemerintah tidak berpihak pada masyarakat, dan sebagian mengatakan ada kartel di balik kenaikan minyak goreng.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, misalnya menyebut bahwa ada mafia atau kartel minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar.
Jauh sebelumnya, ditahun 2009, KPPU menangani perkara kartel minyak goreng.
Saat itu terdapat 21 pelaku usaha minyak goreng di Indonesia melakukan mafia atau kartel yang terbukti melakukan kartel harga sehingga melanggar ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 11 UUD No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktik Monopoli Dan persaingan usaha tidak sehat (UU No.5/1999) yang mengakibatkan adanya kerugian yang diderita masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp1.270.000.000.000,- untuk minyak goreng kemasan bermerek dan Rp374.300.000.000,- untuk produk minyak goreng curah selama periode April 2008 hingga bulan Desember 2008.
Masalah 2009 sudah berlalu lantas bagaimana upaya pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng ditahun 2022 ini?
Seperti yang kita ketahu bahwa menstabilisasi harga kebutuhan pokok sepeti minyak goreng merupakan salah satu program kebijakan pemerintah.
Program tersebut guna untuk menjaga standar kelayakan hidup masyarakat.
Rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita di Indonesia mencapai 10,4 kg per tahun. Hal ini dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Melihat kasus di atas, tugas pada level pemerintahan tampaknya cukup rumit. Selain menjaga stabilitas harga minyak dengan subsidi, pemerintah juga dituntut untuk secara serius memerangi mafia minyak. Hal ini dilakukan tidak hanya dengan memperketat regulasi import minyak, tetapi komitmen tegas untuk pelaksanan pengawasannya.
Dua hal ini mesti berjalan imbang. Sementara itu, pada level lebih kecil dalam masyarakat, ada banyak hal yang perlu kita lakukan untuk mengatasi masalah kenaikan harga minyak goreng, terutama bagi para ibu rumah tangga.
Untuk mempertahankan anggaran belanja akibat kenaikan minyak goreng yang cukup signifikan, kita bisa mensiasatinya dengan mengurangi pemakaian minyak goreng dan mulai mengonsumsi makanan non lemak seperti memasak dengan cara di panggang dan direbus.
Dalam hal ini misalnya dengan memanggang atau bakar. Teknik memasak ini membuat kalori makanan berkurang, kebalikan dengan saat menggoreng yang justru membuat makanan menyerap minyak goreng sehingga memberi dampak negatif bagi tubuh.