Oleh: Vivin da Silva
(Wakil Ketua DPC GMNI Kupang Bidang Kaderisasi dan Ideologi; Awardee LPDP Universitas Negeri Yogyakarta)
Pada 01 Juni, diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sejak tahun 2016 tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Joko Widodo, yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Berbicara tentang hari bersejarah ini tentu tidak terlepas dari sebuah proses dialektika panjang dan alot, antara para tokoh bangsa dan seluruh anggota forum sidang Dokuritsu Junbi Cosakai tepat 77 tahun silam.
Pada akhirnya di antara ketiga gagasan yang disampaikan oleh Prof. Mohammad Yamin S.H, Prof. Mr. Dr. Supomo, dan Ir. Soekarno pada sidang tersebut, pemikiran Soekarno dianggap hasil sintesis paling penting.
Pandangan ini sekaligus mengakhiri perdebatan soal ke mana arah bangsa yang baru saja berdiri ini.
Dengan demikian, lahirlah Pancasila sebagai preferensi dari pemikiran Soekarno yang terdiri dari lima prinsip yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau peri kemanusiaan, Demokrasi, Kesejahteraan dan Ketuhanan.
Berikutnya menurut Soekarno, kelima sila tersebut dapat diperas menjadi “Tri Sila” yang meliputi, Sosio-nasionalisme yang merupakan sintesis dari Kebangsaan (nasionalisme) dengan Peri kemanusiaan (internasionalisme), Sosio-demokrasi yang merupakan sintesis dari Mufakat (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial, serta Ketuhanan.
Berikutnya Soekarno juga mengusulkan “Tri Sila” tersebut juga dapat diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah gotong-royong.
Dasar negara ini kemudian terus terwujud melalui pembahasan piagam Jakarta, dan hingga hari ini masih berdiri kokoh tanpa redup sebagai dasar pijak bangsa memasuki setiap babak sejarah dengan berbagai tantangannya.
De-Sukarnoisasi Pancasila pada Masa Orde Baru
De-sukarnoisasi adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk memperkecil peranan dan kehadiran Soekarno dalam sejarah dan dari ingatan bangsa Indonesia serta menghilangkan pengkultusan dirinya.
Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun ikut melanggengkan proses de-sukarnoisasi di banyak aspek. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam.
Bahwa upaya Soeharto ‘membunuh’ Soekarno dari hati dan ingatan rakyat dilakukan dengan sangat masif.
Bahkan sejarah pun diputar, ditambahi dan diubah demi menjauhkan sosok Soekarno dari hati rakyat Indonesia kala itu.
Pancasila di masa orde baru tetap dijadikan sebagai dasar negara. Namun, sebagai bentuk upaya de-sukarnoisasi yang lebih fundamental maka peran Soekarno dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara dikurangi.
Sepuluh tahun pertama, rezim Orde Baru melakukan konsolidasi di lapangan politik dan pemenuhan kehidupan ekonomi yang lebih stabil dan lebih baik.
Maka pada paro kedua dekade 1970, tepat 10 tahun setelah pelantikannya sebagai presiden, pada 1976 Soeharto masuk ke hal yang substansial, yakni di lapangan ideologi.
Pada 1978, Nugroho Susantoanto, seorang sejarawan dan tantara yang kemudian menjadi rektor UI serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku Naskah Proklamasi dan Rumusan Pancasila yang otentik.
Buku ini menjelaskan bahwa Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945 bersamaan dengan disahkannya UUD 1945, serta Pancasila pertama kali dirumuskan oleh Muhamad Yamin, dengan demikian pada buku ini menolak dengan tegas lahirnya Pancasila yang dikaitkan dengan seorang tokoh mutlak.
Hari lahir Pancasila pada masa itu tidak pernah dirayakan karena dianggap tidak bermanfaat, yang dirayakan adalah hari Kesaktian Pancasila pada 01 Oktober sebagai sebuah pengingat akan jasa pahlawan revolusi yang gugur pada tanggal 30 September 1965.
Pancasila versi pemerintah Orde Baru ini dicoba untuk ditanamkan melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).P4 yang juga disebut Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru.
Panduan P4 dibentuk dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Eka Prasetya Pancakarsa, yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
Produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR tersebut telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.
Dalam perjalanannya 36 butir pancasila dikembangkan lagi menjadi 45 butir oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).
Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, yang menghormati jasa para pahlawannya.
Selain itu dengan memahami sejarah kita bisa mendapat pelajaran berharga dari masa lalu untuk menghadapi hari ini dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Mungkin Sebagian besar dari kita hari ini secara tidak langsung masih sangat dekat dengan beberapa bagian kecil dari produk orde baru tersebut.
Salah satunya adalah dehistorisasi berupa hari peringatan kesaktian Pancasila tanpa adanya kedalaman makna seperti apa kesaktian Pancasila di atas ideologi yang lain dalam proses indoktrinasi yang dilakukan.
Peringatan hari kesaktian Pancasila pada 01 Oktober seakan-akan mengikat pemahaman serta memori pembenturan Pancasila dengan komunisme.
Namun terlepas dari semua itu, samasekali tak dapat dipungkiri bahwa hal ini adalah bagian dari babak sejarah yang mungkin lebih cocok disebut kecelakaan sejarah di tangan rezim orde baru masa itu.
Untuk berjalan menuju banyak kemajuan, bangsa ini harus menghadapi pasang surut dan berbagai kejatuhan.
Reduksi makna Pancasila di Dalam Empat Pilar Kebangsaan
Jika di Era Orde Baru ada program P4 atau Eka Prasetya Pancakarsa, maka di era Reformasi ini ada istilah lain yang disebut program sosialisasi empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Konsep empat pilar kebangsaan diperkenalkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada periode 2009-2014 di bawah kepemimpinan Taufik Kiemas.
Sosialisasi ini sampai sekarang pun masih secara massif dilakukan oleh pemerintah melalui Lembaga-lembaganya seperti MPR-RI juga DPD-RI.
Tidak hanya melalui sosialisasi, tapi juga metode kuliah umum, seminar bahkan perlombaan.
Di dalam sambutan buku “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” pimpinan MPR menyebutkan empat pilar adalah kumpulan nilai-nilai luhur yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat dan menjadi panduan dalam kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan bangsa dan negara yang adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.
Nilai-nilai luhur itu adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa penyebutan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara menurut MPR tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat.
Sekalipun memiliki payung hukum yang jelas melalui legitimasinya di peraturan perundang-undangan, yakni UU No 2 tahun 2011 penyebutan istilah empat pilar sepertinya kurang tepat untuk diterapkan.
Memang benar bahwa ditilik secara historis, istilah ini diidentikkan dengan sokoguru perumahan model Jawa klasik, tiap- tiap pilarnya mempunyai status dan fungsi sebanding, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.
Roboh satu di antaranya akan sangat membahayakan perumahan yang ditopang.
Berangkat dari term ini maka terlihat dengan jelas miskonsepsi antara historisitas istilah tersebut dengan penjelasan yang termuat di dalam proses indoktrinasi Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang adalah dasar negara dengan sendiri akan tereduksi maknanya jika disejajarkan dengan ketiga pilar lainnya.
Keempatnya memiliki makna filosofis yang berbeda, sebagai sumber dari segala sumber hukum maka nilai-nilai Pancasila termuat di dalam UUD 1945.
Pancasila merupakan unsur pokok dalam Pembukaan UUD 1945. Unsur pokok ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945, sebagai norma hukum dasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Begitupun NKRI dan Bhinekka Tunggal Ika yang menjadi pendukung sila-sila Pancasila. Artinya bahwa, Pancasila jelas merupakan dasar dari ketiga pilar yang lain itu tapi disejajarkan di dalam Empat Pilar.
Interpretasi MPR tentang empat pilar ini samasekali tidak valid, namun secara massif dipopulerkan bahkan terus disosialisasikan secara massif untuk diterima oleh masyarakat yang tentu memiliki keterbatasan pengetahuan kolektif.
Politisasi bahasa seperti ini menjadi bentuk kecelakaan berpikir yang sangat berakibat terhadap pemahaman yang keliru, di mana terjadi penyimpangan dan kerancuan makna Pancasila.
Istilah ini sangat berimplikasi secara teoritis mengubah pemahaman tentang Pancasila menjadi semakin membingungkan, bahkan menyesatkan masyarakat tentang makna dan filosofi negaranya sendiri.
Ketuhanan yang Berkebudayaan
Pada proses penyusunan sila-sila di dalam Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua pendapat dari berbagai golongan, tokoh maupun budaya.
Bangsa Indonesia merupakan Kausa Materialis Pancasila, nilai-nilai luhur Pancasila bukan sesuatu yang asing, melainkan yang digali dan diangkat dari situasi riil. Bersumber pada budaya masyarakat di Indonesia sendiri.
Oleh soekarno Ketuhanan diletakkan pada sila yang terakhir dengan tujuan sebagai pengokoh atau penguat dari prinsip-prinsip sebelumnya.
Dalam sila Ketuhanan Soekarno mengaitkannya dengan kenyataan geografis dan tradisi religius bangsa Indonesia.
Prinsip ketuhanan ini dimaksudkan untuk Menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”
Kutipan pidato Soekarno pada 01 Juni 1945 ini jelas menekankan sebuah bentuk Ketuhanan yang berkebudayaan.
Artinya negara sudah seharusnya memberikan kebebasan kepada masing-masing warga negara untuk menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
Sejak dicetuskan gagasan Pancasila, secara gamblang Soekarno telah mengecam keras segala bentuk keegoisan Agama. Namun apa yang dikhawatirkan sampai saat ini masih terjadi.
Di Indonesia yang sangat plural ini, bertahun-tahun warga penghayat kepercayaan hidup di dalam tekanan dan diskriminasi.
Para penganut kepercayaan terpaksa harus menulis agama yang tidak mereka anut yaitu agama yang diakui di Indonesia.
Tidak hanya di kartu tanda penduduk (KTP) namun juga di kartu identitas lainnya, serta di dalam segala urusan administrasi publik yang mengharuskan mengisi kolom Agama dengan salah satu agama yang diakui di Indonesia.
Padahal jika ditelaah lebih jauh secara historis, aliran-aliran kepercayaan ini sebenarnya sudah ada, bahkan sebelum Indonesia Merdeka dan sebelum agama-agama yang diakui ini datang ke Indonesia.
Sebagai contoh, di NTT ada penganut aliran kepercayaan Marapu di Sumba, dan penganut aliran kepercayaan Hailaka di suku Boti – TTS.
Meski dalam prosesnya menuai kontroversi dari banyak pihak termasuk agama tertentu, secara nasional , pencantuman aliran kepercayaan pada kolom agama di KTP sebagai Official Religion sebetulnya telah dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada November 2017.
Kemudian ditindaklanjuti melalui Permendagri No.118 Tahun 2017. Namun sampai sekarang, hal tersebut masih sering menjadi masalah dalam urusan administrasi tertentu.
Ini merupakan dampak dari tidak adanya sosialisasi yang cukup dari pemerintah kepada masyarakat secara menyeluruh untuk lebih toleran akan hal ini.
Dengan demikian, eksistensi para penganut kepercayaan masih terus dipertanyakan.
Para penganut kepercayaan yang duduk di bangku sekolah pun belum mendapat Pendidikan agama yang seharusnya sesuai dengan aliran kepercayaannya dan diwajibkan mengikuti aturan sekolah untuk belajar salah satu agama sebagai syarat pemenuhan nilai.
Tidak hanya sampai di situ, di ranah yang lebih luas seperti politik, agama rentan jadi komoditas politik. Di tataran kepentingan Elite, ayat-ayat suci kerap kali dijadikan bahan kampanye, bahkan Politik identitas dari dekade ke dekade tidak pernah hilang dari setiap ajang kontestasi politik local maupun nasional.
Agama kerapkali berpotensi menyebabkan perpecahan, seperti konflik horizontal bahkan di tingkat yang lebih besar cacatnya pemahaman terhadap konsep beragama kemudian membawa orang kepada ekstremisme, radikalisme dan terorisme.
Relevansi Pancasila
Pidato Soekarno 1 Juni 1945 memuat tujuan agar kelima prinsip pancasila dalam pidatonya akan dijadikan dasar negara Indonesia merdeka, yang oleh Soekarno sendiri disebut sebagai Philosophische Grondschlag.
Hingga hari ini, 77 tahun sudah pancasila masih kokoh memeluk nusantara, sebagai rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengapa demikian?
Pancasila adalah kita, digali dari kehidupan bangsa Indonesia sendiri, berakar dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri untuk menyatukan kemajemukan dalam bangsa ini.
Jika ditelaah dari sila-sila yang ada di dalamnya, kita akan menemukan bahwa pancasila sendiri adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan dengan susunannya yang bersifat hierarkis piramidal: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari sila-sila yang lain.
Hubungan antara kelima sila pun bersifat logis, artinya tidak terdapat hubungan kontradiktif di dalamnya. Misalnya hubungan antara sila pertama dan keempat.
Sila pertama mengandung konsekuensi bahwa rakyat Indonesia mengakui kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa sedangkan sila keempat memuat prinsip kedaulatan rakyat.
Sepintas kita berpikir bahwa kedua sila ini menunjukkan pertentangan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat.
Negara Indonesia menganut kedaulatan rakyat dan ini yang disebut asas politik. Artinya bahwa adanya kedaulatan rakyat tidak dengan sendirinya meniadakan kedaulatan Tuhan.
Keduanya mempunyai kedudukan yang berbeda tetapi tidak terpisahkan.
Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 memuat prinsip bahwa negara Indonesia tidak mencampuri urusan peribadatan masing-masing agama, tetapi negara menjamin agar setiap warganya dapat menjalankan agama dan kepercayaannya dengan baik. Begitu pula dengan hubungan antara sila yang lain.
Dengan demikian pancasila yang merupakan falsafah negara ini haruslah kita jadikan sebagai sumber nilai (value) keutamaan (virtue). Sebagai titik tolak arah pemikiran, sikap dan perbuatan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, masih relevankah pancasila hari ini? Kita masih mudah diadu oleh isu SARA, hoax dan hate speech yang memprovokasi, perbedaan pilihan politik, bahkan berujung pada radikalisme, ekstrimisme hingga terorisme.
Satu-satunya cara untuk mengatasi semua ini adalah merevitalisasi nilai-nilai luhur dalam pancasila itu sendiri.
Tidak hanya dalam tataran teori, pembahasan dalam diskursus, seminar maupun simposium. Tapi mengimplemetasikannya dalam kehidupan sehari-hari.