Ruteng, Vox NTT- Menjelang akhir semester genap tahun akademik 2021-2022, Progam Studi (Prodi) Pendidikan Teologi Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendikan (FKIP) Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng menggelar seminar dengan tema, “Dialog sebagai Strategi Transfomasi Peradaban Iman dan Budaya”.
Seminar ini menghadirkan tiga pembicara internal, yakni Dr. Inosensius Sutam, Lic. (dosen dan tokoh budaya Manggarai), Frasiskus Sales Lega, M.Th (Dosen Teologi) dan Fransiskus Nala, In Re Biblika (ahli Kitab Suci), serta dihadiri para dosen dan mahasiswa Prodi Pendidikan Teologi.
Seminar ini dibuka secara resmi oleh Ketua Perodi Pendidikan Teologi FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Pater Oswaldus Bule, Lic. Paed., Jumat (3/6/2022)
Pater Os, dalam sambutannya, menekankan pentingnya dialog bagi generasi muda bangsa agar bisa hidup pada alam demokratis, yang saling menghargai dan mengakui perbedaan individu, budaya, suku dan agama serta hidup lebih berkembang pada masyarakat pluralis.
Sementara itu, pada sesi seminar, Doktor Inosensius Sutam mempresentasikan materi tentang “Dimensi-dimensi Feminisme di Mangggarai”.
Menurutnya, dialog pada konteks dimensi-dimensi feminisme di Manggarai dipahami dalam rangka pemahaman budaya Manggarai secara benar, sehingga memiliki gambaran, sikap dan perilaku yang saling menghargai dan memberi peran sesuai dengan hekakat esksistensinya.
Selajutnya, Frans Sales Lega, M.Th., sebagai pembicara kedua mensharing hasil penelitiannya tentang Kumpul Kope sebagai Wadah Dialog Antaragama Di Manggarai”.
Frans mengatakan kompul kope merupakan suatu kearifan lokal yang perlu dikembangkan dan dilestarikan, terutama pada masyarakat pluralis karena secara tidak langsung merupakan suatu bentuk dialog antaragama.
Lebih lanjut, pembicara ketiga, Romo Frans Nala mengukapkan kajian analisis tentang “Dimensi Pastoral-Transformatif dari Mukjizat Penggandaan Roti dalam Injil Yohanes 6:1-15”.
Dalam pemarannya, ahli Kitab Suci ini menekankan, bahwa Mukjuzat “Penggandaan Roti” yang dilakukan Yesus merupakan merupakan bentuk dialog iman tak langsung antara Yesus dengan para murid dan para pendengar.
Secara terpisah, Ketua penyelenggara yang sekaligus menjadi moderator, Dr. Hendrikus Midun, S.Fil., M.Pd., menyatakan, bahwa seminar ini merupakan tradisi rutin Prodi Pendidikan Teologi pada setiap semester.
“Ini adalah kegiatan rutin Prodi Pendidikan Teologi pada setiap semester. Terkait dengan tema ini, sebelumnya dipilih dan ditawarkan kepada para pembicara karena dianggap masih kontekstual dan relevan dengan kondisi hidup masyarat saat ini,” ungkapnya.
Sebagai moderator, Doktor Hendrik memberikan beberapa catatan akhir seminar. Pertama, dialog merupakan upaya menyintesis peradapan (lama-baru), gambaran (kuno-modern) dan sikap yang tampak saling bersebrangan dalam komunitas manusia.
Kedua, dialog diungkapkan dalam beragam bentuk, konteks dan situasi. Pada konteks “dimensi-dimensi feminisme” di Maggarai, dialog dipahami sebagai jalan untuk memahami lebih dalam budaya Manggarai terkait dengan kesetaraan gender.
Oleh karena itu, kata Doktor Hendrik, dialog yang dijalankan mestinya terbuka terhadap proses formatifikasi, transformasi dan transubstansi budaya.
Melalui dialog, setiap orang perlu memiliki gambaran, sikap dan perilaku yang saling menghargai dan menghormati, serta diberi peran sesuai dengan hakikat esksistensinya.
Ketiga, dialog pada konteks “pluralitas agama” dapat dilakukan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan sederhana, seperti kumpul kope atau arisan kumpul dana.
Walaupun bentuk dan metode dialog seperti tampak sangat sederhana, namun karena setiap individu memiliki itikat baik, maka dialog dapat menjadi jembatan yang melahirkan sikap saling mahahami, menghargai martabat manusia dalam budaya dan agama yang berbeda.
Keempat, peristiwa alkitabiah “Penggandaan Roti” yang dibuat Yesus dua ribuan tahun yang lalu merupakan suatu bentuk dialog (iman) tak langsung antara Yesus dengan para murid dan para pengikutnya diharapkan dapat melahirkan pemahaman yang baik dan benar tentang misi kemanusiaan dan keselamatan yang dibawa Yesus dari Nazaret.
Kelima, dialog sebagai suatu peradapan pada masyarakat pluralis dan globalis mesti dilandasai oleh sikap inklusif terhadap nilai-nilai yang dihayati dalam budaya, tradisi dan agama lain.
Lebih lanjut, Doktor Teknologi Pembelajaran, alumni Universitas Negeri Malang itu mengucapkan terima kasih kepada pemateri, civitas academika Prodi Pendidikan Teologi, dan semua pihak yang dengan caranya masing-masing mendukung dan menyukseskan kegiatan seminar tersebut.
Terhadap pelaksanaan seminar dialog iman dan budaya ini, salah satu perserta, Herlina Jeni, mahasiswa semester VI Prodi Pendidikan Teologi menyatakan, bahwa penghayatan iman yang kontekstual adalah menyatu atau berdialog dengan budaya.
“Secara pribadi, saya bersyukur dapat mengikuti seminar ini. Makalah yang dipresentasikan pemateri sangat menarik dan bermaanfaat untuk dipelajari lebih lanjut. Sebab dialog iman dan budaya adalah proses inkultrasi, yang terus dipelajari. Budaya dan agama tidak bisa dilepaspisahkan,” terang Jeny.
Menurut Jeny, kegiatan seminar dialog iman dan budaya ini mendorng dan memotivasi generasi muda untuk mencintai dan mempertahakan nilia-nilai luhur budaya.
Sementara itu, Yustina Ratu Rosari Duwung, mahasiswa semester IV Prodi Pendidikan Teologi menjelaskan, dari seminar ini membangkitkan motivasi perempuan. Lebih khusus melalui materi dimensi-dimensi feminisme dalam kebudayaan Manggarai, yang dipresentasikan oleh Pastor Inosensius Sutam.
“Selain itu, setelah mengikuti seminar ini, kami digerakkan untuk menghargai sesama manusia,
Berjuang menguatkan persaudaraan dan tolerasi, menghargai perbedaan agama sebagai kekayaan.Serta mengajarkan kami untuk menghayati agama secara kontektual. Sebagaimana yang telah dipresentasikan oleh Pak Frans dan Romo Fransiskus Nala,” ungkapnya.
Rati, demikian panggilan Yustina Ratu Rosari Duwung , mengungkapkan, posisi atau peran perempuan dalam kebudayaan manggarai sangatlah penting. Perempuan bukanlah makhluk yang lemah. Dari seminar ini, menyadarkan kaum hawa, bahwa kaum perempuan (hawa) memiliki kesetaraan dengan laki-laki (adam)
Lebih dari itu, Rati menegaskan, dari seminar ini menyadarkan setiap orang, lebih khusus (kami) generasi muda untuk menghargai dan memahami sesama serta menjunjung tinggi martabat manusia, tanpa dibatasi oleh suku, agama dan budaya.
“Manusia diciptakan secitra dengan Allah. Sehingga, setiap pribadi manisia wajib saling menghargai, menghormati sesame, dan menjujung tinggi martabat manusia. Tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain hanya karena beda agama, budaya, suku, dan ras. ”
Rati menambahkan, dari seminar ini juga membelajarkan generasi muda untuk menjadi pribadi yang memahami prinsip moderasi beragama, yakni menghayati nilai-nilai agama secara kontektual.
Menurut Rati, hal ini penting, pasalnya radikalisme dan intoleransi selalu menjadi virus yang menyerang atau menggangu keharmonisan bangsa yang sangat pluralis ini. Sehingga, melalui seminar ini, mengarahkan (kami) generasi muda untuk menjadi agen toleransi. Baik dalam lingkungan kampus maupun di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, lanjutnya, dialog teks dan konteks sangat penting.
“Seminar ini penting bagi kami sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Teologi, yang kelak dapat menjadi agen pendidikan dan pastoral yang humanis dan menjunjung tinggi nilai tolerasi. Dengan terus belajar mendialogkan kitab suci dan budaya (kontekstual). Disertai terbuka terhadap orang lain, baik sesama agama maupun antarpenganut agama,” jelasnya.
Kontributor: Feliks Hatam