(Sebuah Refleksi)

Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
Ka SMPK Frateran Ndao

“Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir…Ki Hadjar Dewantara

“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”… Ki Hadjar Dewantara

“Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya, guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang manfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama”… Ki Hadjar Dewantara

Belakangan ini, di ruang publik ramai di perbincangkan tentang wacana perubahan kurikulum.

Ada banyak masyarakat yang pro, namun tak sedikit pula yang kontra dengan wacana tersebut, dengan berbagai argument ataupun alasan.

Namun, terlepas dari pro dan kontra tersebut, yang jelas IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka) sedang diuji cobakan di 2500 satuan pendidikan dan akan diujicobakan lagi di tahun ajaran baru 2022/2023 kepada sekolah-sekolah yang kepala sekolahnya lulus seleksi sebagai kepala sekolah penggerak di dua tahap dan lolos verifikasi.

Maka selama kurun waktu tahun ajaran 2022 hingga 2024, kurikulum merdeka diujicobakan ke sekolah- sekolah penggerak yang ditetapkan oleh dirjen pendidikan usia dini dan dikdasmen atau juga sekolah-sekolah melalui jalur mandiri, yakni mandiri belajar, mandiri berubah dan mandiri berbagi.

Mandiri belajar artinya menerapkan kurikulum merdeka, beberapa bagian dan prinsip kurikulum merdeka, tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan pada stuan pendidikan PAUD, kelas 1, 4, 7 dan 10.

Sedangkan mandiri berubah, artinya: menerapkan kurikulum merdeka dengan menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan pada satuan pendidikan  PAUD, kelas 1, 4, 7 dan 10.

Dan mandiri berbagi artinya: menerapkan kurikulum merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar pada satuan pendidikan PAUD, kelas 1, 4, 7 dan 10. Dan ditahun 2024 kurikulum merdeka akan dievaluasi efektivitasnya, baru ditetapkan apakah akan menjadi kurikulum Nasional atau tidak.

Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa kurikulum merdeka tidak serta merta menjadi kurikulum Nasional menggantikan kurikulum 2013 (Kurtilas), melainkan melalui evaluasi, refleksi dan atau kajian yang mendalam.

Jika hasil dari evaluasi, refleksi dan atau kajian dari semua sekolah penggerak, yang menjadi sample atau pioner ujicoba kurukulum merdeka (kumer) ternyata lebih efektif atau berdaya guna bagi kebutuhan peserta didik, maka kemungkinan besar kurikulum merdeka akan dijadikan sebagai kurikulum nasional.

Namun, harus dipahami bahwa roh atau spiritnya, sehingga mengapa kurikulum perlu diubah. Kurikulum diubah bukan karena presiden diganti dan menteri diganti, sehingga kurikulum diganti.

Kesannya memang demikian, namun tidak sesederhana itu cara berpikirnya. Pendididikan di Indonesia tidak maju-maju, bukan juga karena gonta ganti kurikulum yang terus menerus, melainkan sangat tergantung dari berbagai faktor, orangtua (keluarga), peserta didik, satuan pendidikan, dalam hal ini, pendidik dan tenaga kependidikan (tendik), infrasttruktur (sarana dan prasarana) pendidikkan, serta pemerintah (masyarakat).

Kolaborasi dan sinergitas yang baik dari tri pusat pendidikan ini, sesungguhnya  menjadi kunci kesuksesan pendidikkan di Indonesia, dan bukan gonta ganti kurikulumnya.

Jadi, sebaik apapun kurikulum, sangat tergantung dari man atau manusianya. Oleh karena itu, sejauh kuriukulum sebelumnya telah dievaluasi atau dikaji secara mendalam dengan melibatkan berbagai stakeholder, termasuk berbagai organisasi pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini hingga pendidikan menengah, maka sah-sah saja pergantian kurikulum.

Sebab, melalui evaluasi dan refleksi yang berkesinambungan, maka akan terjadi perbaikan dan perubahan wajah pendidikan melalui perubahan kurikulum sebagai core-nya.

Jadi, adalah sebuah keniscayaan jika kurikulum di ganti, sebab peserta didik yang ada tahun ini, berbeda dengan peserta didik di tahun kemarin.

Herakleitos berujar “bahwa tidak mungkin kita turun 2 x  ke air sungai yang sama”. Mengapa? Sebab, air sungai yang kita turun pertama tadi sudah mengalir, yang ada air yang baru.

Atau dalam bahasa latinnya Panta Rhei kai Uden Menei, yang artinya semua mengalir, tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Dan melalui pemikirannya ini, ahli filsafat kuno yang hidup sezaman dengan Xenophanes itu, seakan mendobrak kemapanan.

Dan ini juga berlaku dalam dunia pendidikan, seperti yang digambarkan di atas, bahwa peserta didik setiap tahunnya berbeda.

Maka, sesungguhnya pergantian atau perubahan kurikulum tidak menunggu  presiden diganti dan atau menteri diganti, melainkan setiap tahun digantinm, sebab peserta didiknya berbeda atau tidak sama setiap tahunnya.

Jadi, sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan pergantian presiden dan atau pergantian menteri, kecuali Undang-undang pendidikan di ubah atau diganti.

Namun, menurut hemat saya, pergantian atau perubahan kurikulum, sekali lagi harus di mulai dengan evaluasi dan refleksi, serta kajian yang mendalam, dengan melibatkan berbagai stakeholder dan organisasi pendidikan, dalam dunia pendidikkan.

Sebab, dengan melalui evaluasi, refleksi dan kajian yang mandalam, maka akan ditemukan poin keunggulan ataupun  kelemahan.

Dan semua kegiatan itu ataupun pergantian atau perubahan kurikulum muaranya  adalah kebutuhan peserta didik untuk masa depannya, dan demi keselamatan serta  kebahagiaanya.

Dan kalau kita melihat sejarah pergantian kurikulum di Indonesia sejak masa pasca kemerdekaan sampai saat ini, maka sudah 10 kali pergantian atau perubahan kurikulum, yakni:

(1) Kurikulum 1947 atau “Rentjana Pelajaran 1947”

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran.

Orientasi Rencana Pelajaran 1947, tidak menekankan pada pendidikan pikiran, melainkan yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.

Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

(2). Kurikulum 1952 atau “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”

Pelaksanaan kurikulum 1947 atau “Rentjana Pelajaran 1947”, berlangsung selama 6 tahun, yang kemudian diganti dengan kurikulum “Rentjana Pelajaran Terurai 1952.

Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini, bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Silabus mata pelajarannya menunjukkan secara jelas bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode1991-1995).

Kehadiran kurikulum ini merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya, dengan merinci setiap mata pelajaran, sehingga dinamakan Rencana Pelajaran Terurai 1952.

3. Kurikulum 1964 atau “Rentjana Pendidikan 1964”

Pelaksanaan kurikulum 1952 atau “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”, berjalan selama 13 tahun, lalu diganti  dengan nama Rentjana Pendidikan 1964.

Kurikulum ini dipusatkan pada program Panca Wardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani.

Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral.

Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.

Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

4. Kurikulum 1968

Implementasi kurikulum 1964, hanya berjalan selama 4 tahun, lalu diganti dengan kurikulum 1968 yang bersifat politis.

Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

Dalam kurikulum ini tampak dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Panca wardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat.

“Hanya memuat mata pelajaran pokok saja,”. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.

Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

5. Kurikulum 1975

Kurikulum 1968 berjalan selama 7 tahun, lalu diganti dengan kurikulum 1975 yang menekankan pada tujuan, yakni agar pendidikan lebih efektif dan efisien.

Kurikulum ini, di pengaruhi oleh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (Management By Objective) yang terkenal saat itu.

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “Satuan Pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan,  yang dirinci menjadi: Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.

Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibuat sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

6. Kurikulum 1984

Kurikulum 1975 berlangsung selama 9 tahun, lalu diganti dengan kurikulum 1984 yang mengusung process skill approach.

Meski mengutamakan pendekatan proses, namun faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.

Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar, yaitu dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).

Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1984 berlangsung selama 10 tahun, yang kemudian diganti dengan kurikulum  1994 yang merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984.

Sayangnya, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil, sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar peserta didik  dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal.

Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.

Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat, apalagi diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.

Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi pelajaran saja.

8. Kurikulum 2004, “KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)”

Kurikulum 1994 dan suplemen 1999 berlangsung selama 10 tahun, lalau di gantikan dengan kurikulum 2004, yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: (1) pemilihan kompetensi yang sesuai; (2) spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; dan (3) pengembangan pembelajaran.

KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan (3) keberagaman.

Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

9. Kurikulum 2006, “KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)”

Pelaksanaan KBK hanya berjalan selama 2 tahun, lalu diganti dengan kurikulum 2006 atau KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Dan selanjutnya di terbitkannya permendikbud nomor 24 tahun 2006, yang mengatur pelaksanaan permendikbud nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan permendikbud nomor 23 tahun 2006 tentang standar kelulusan.

Kurikulum 2006 merupakan penyempurnaan dari kurikulum. Perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada jiwa dari desentralisasi sistem pendidikan.

Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.

Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran, dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah binaan dan pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat.

10. Kurikulum 2013 atau K-13 atau Kurtilas atau Kurnas.

Kurikulum 2006 berjalan selama 7 tahun, lalu diganti dengan kurikulum 2013 atau kurtilas. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap serta perilaku.

Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan.

Materi yang dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dsb, sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi Matematika.

Kurikulum 2013 hingga saat ini, sudah berjalan 9 tahun,  dan masih berlaku dan diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia.

Namun, kini muncul wacana bahwa kurikulum 2013 akan disempurnakan, melalui kurikulum paradigma baru atau kurikulum prototipe atau kurikulum merdeka, seiring dengan dirilisnya  program merdeka belajar, episode -7: tentang program sekolah penggerak dan episode – 15, tentang: kurikulum merdeka dan platform merdeka mengajar, oleh mendikbudristek Nadiem Makarim.

Artinya, Kurikulum merdeka sebelum ditetapkan sebagai kurikulum nasional, maka akan diujicobakan di beberapa sekolah penggerak, mulai tahun ajaran baru 2022/2023, hingga tahun 2023/2024, dari tingkat PAUD, hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/K).

Itu artinya kurikulum merdeka akan diujicobakan selama kurun waktu 3 tahun. Di tahun terakhir 2024, kurikulum merdeka yang diujicobakan di beberapa sekolah penggerak tersebut, akan dievaluasi, direfleksikan dan dikaji lebih mendalam, apakah lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan peserta didik?

Namun, yang perlu dipahami bahwa roh atau spirit, sehingga lahirnya wacana Kurikulum Merdeka adalah sebagai bagian dari upaya Kemendikbudristek untuk mengatasi krisis belajar (learning loss) yang telah lama kita hadapi, dan menjadi semakin parah karena pandemi Covid – 19.

Krisis ini ditandai oleh rendahnya hasil belajar peserta didik, bahkan dalam hal yang mendasar seperti literasi membaca.

Hal yang lain, juga dilandasi oleh semangat dan filosofi pendidikan Ki-Hajar Dewantara, di mana sekolah harus dapat menciptakan pelajar yang merdeka, bahagia, berdaya, dan memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk belajar dan menuntut ilmu.

Oleh karena itu, Peningkatan Kompetensi Kepala Sekolah dan Guru, sebagai ujung tombak atau key person penyelenggaraan pendidikan menjadi perhatian utama dalam implementasi kurikulum ini.

Kurikulum merdeka adalah kurikulum yang menyempurnakan pendidikan saat ini dengan lebih meningkatkan mutu proses dan hasil belajar peserta didik dengan bermuara pada pencapaian enam (6) dimensi Profil Pelajar Pancasila yakni, (1) Beriman Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak Mulia, (2) Berkebhinekaan Global, (3) Bergotong Royong, (4) Bernalar Kritis, (5) Mandiri, dan (6) Kreatif.

Kurikulum merdeka sangat mendorong penguatan karakter ini, dan tidak hanya berfokus pada peningkatan hard skills tetapi juga soft skills secara utuh.

Beberapa Karakteristik kurikulum merdeka yakni: pertama, kegiatan pembelajaran dirancang berbasis projek yang bertujuan untuk mengembangkan soft skills serta karakter.

Kedua, berfokus pada materi yang esensial. Ketiga, fleksibilitas untuk guru dalam melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal serta  melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid atau teach at the right level.

Akhirnya, Kurikulum Merdeka akan dijadikan kurikulum Nasional, sangat tergantung dari hasil evaluasi dan refleksi serta kajian yang mendalam dari berbagai stakeholder dan organisasi pendidikkan di tahun terakhir ujicoba kurikulum merdeka di beberapa sekolah penggerak, pada  tahun 2024.

Yang patut ditunggu adalah apakah ditahun 2024/2025, Indonesia akan memiliki Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional? Wait and see!!!