Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Kemampuan setiap manusia sangatlah berbedah. Tidak heran jika setiap pribadi menghasilkan jawaban yang berbedah.
Sehingga, salah paham atas soal apa saja menjadi makin marak. Entah untuk apa mempersoalkannya, yang pasti bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang tidak perna puas akan dirinya.
Akhirnya berbagai macam cara dijalani demi tercapainya “suatu kepuasan”. Untuk itu perlulah suatu sikap analisis agar mampu menata kembali ruang-ruang pemahaman. Sehingga, segala yang megarah pada kepuasan mampu dicerna dengan baik.
Analisis (Inggris: analyze), sebagai kata mulai digunakan sejak 1573 . Kata ini tentu turut berperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan di era Renaisans.
Keunggulan manusia pada masa itu dalam hal analyze, yaitu mereka terbebas dari dogma-dogma teks gereja yang menyesatkan akal sehat, karena tak sesuai dengan kewarasan pikiran logis.
Teks Bibel telah dianalisis segala bentuk kesalahannya oleh pemikir masa itu, sehingga memunculkan sikap baru dalam memahami apapun.
Kecerdasan dan kemampuan individu mendapat tempat untuk dipuja dan dipuji. Semua itu tak mungkin terjadi tanpa kemampuan menganalisis. Di era renaisans itu memunculkan “Humanisme Klasik” yang meningkatkan kebudayaan Yunani-Romawi.
Inti dari “Humanisme Klasik” yakni bebas mencari keyakinan berbeda, yang tak dikendalikan oleh aparat gereja.
Gereja, bukan lagi otoritas yang semena-mena dalam menentukan kebenaran, maka selanjutnya memunculkan individualisme, dengan fokus perhatian pada setiap pribadi.
Kemampuan menganalisis, tak ubahnya membuat momen renaisans bagi diri sendiri, untuk menjadi invidu yang tak tertipu oleh apapun isi media.
Media kapitalis seperti otoritas gereja di Abad Kegelapan, karena mampu memberikan informasi apapun, tanpa keterlibatan aktif dari penerima pesan.
Warga atau masyarakat umum bisa dilibatkan dalam suatu reportase sebagai citizen reporter, namun tak terarah untuk mengubah suatu opini publik yang kritis.
Hal itu karena teks yang ditulis warga, bukanlah peristiwa yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara secara khusus.
Padahal negaralah yang harusnya dikritisi oleh warga yang menjadi penerima pesan-pesan media.
Analisis menurut KBBI yakni: (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya);
(2) Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan;
(3) Penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat bagiannya dan sebagainya;
(4) Penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya; (5) Pemecahan persoalan yg dimulai dengan dugaan akan kebenarannya.
Teks secara umum merupakan suatu kesatuan dari segi isi, sintaksis, dan pragmatik untuk menjadi ungkapan bahasa.
Isi atau konten adalah gagasan atau gambaran yang disampaikan secara eksplisit dan implisit maupun secara denotatif dan konotatif.
Isi sangat erat kaitannya dengan semantik , yang bisa diungkap secara terang, lugas maupun tersembunyi dalam simbol dan kode.
Dalam tatabahasa, sintaksis disebut sebagai tatakalimat. Secara sintaksis, teks harus memperlihatkan keterhubungan atau pertautan satu dengan yang lainnya.
Hal itu akan tampak apabila unsur-unsur yang berfungsi sebagai konjungsi dipergunakan secara konsisten.
Dengan adanya konjungsi, maka setiap makna akan terus bersambung hingga diakhir paragraf atau alinea.
Pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam konteks tertentu terutama keserasian dalam memahami teks secara keseluruhan.
Bentuk dasar teks sebagaimana dalam KBBI yakni naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, maupun wacana tertulis lainnya.
Dalam KBBI, teks dibagi atas diskursif teks yang mengaitkan fakta secara bernalar; ekspresif teks yang mengungkapkan perasaan dan pertimbangan dalam diri pengarang; evaluatif teks untuk mempengaruhi pendapat dan perasaan pembaca; film teks berupa penerjemahan percakapan, uraian, dan sebgainya ke dalam bahasa lain dan diproyeksikan pada bagian bawah layar putih; informatif teks yang hanya menyajikan berita faktual tanpa komentar; naratif teks yang tidak bersifat dialog, dan isinya merupakan suatu kisah sejarah, deretan peristiwa, dan sebagainya; persuasif teks yang fungsi utamanya mempengaruhi pendapat, perasaan, dan perbuatan pembaca.
Ketika teks itu menjadi bagian dari suatu media, maka hal itu bisa dianalis dengan semiotika. Teks dapat membesar dalam banyak bagian, seperti rekaman atau catatan dalam tulisan, audio maupun video.
Teks semacam itu, secara materi tidak lagi memiliki kaitan dari pengirim atau penerima pesan atau independen.
Teks kemudian menjadi sekumpulan tanda (kata-kata, gambar, kesan, patung, bayang-bayang, tamsilan, suara-suara maupun sikap tubuh) yang sudah dikonstruksi atau diinterpretasikan.
Analisis tekstual bisa dilakukan dengan rhetorical analysis (analisis retorikal), discourse analysis (analisis wacana) dan content analysis (analisis isi). Ketiga bentuk analisis tersebut terpisah dari semiotika.
Dalam bidang media dan ilmu komunikasi,“analisis isi” menjadi tandingan berat semiotika. Semiotika berkaitan dengan studi kultural, sedangkan “analisis isi” merupakan tradisi utama riset ilmu sosial.
Semiotika melakuan analisis teks media sebagai struktur keseluruhan dan melakukan investigasi secara laten, terhadap makna-makna konotatif.
“Analisis isi” biasanya melakukan pendekatan kuantitatif. Semiotika jarang dalam bentuk kuantitatif dan malah menolak pendekatan itu.
Daniel Chandler dalam “Semiotics for Beginners” bisa menjadi acuan untuk melakukan analisis teks secara semiotik. Panduan analisis teks tersebut ditulis pada 1994 untuk mahasiswa University of Wales, Aberystwyth.
Chandler berhasil menghimpun sejumlah cara menganalisis teks seperti semiotika Saussurean dan semiotika post-Saussurean (semiotika Strukturalis dan kritik terhadap post-Strukturalis) maupun semiotika Peircean. Semiotika adalah studi tentang tanda.
Ilmu yang mempelajari semiotika disebut semiologi (Yunani: semions yang berarti tanda). Perjalanan ilmu semiotika bermula dari ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913).
Ia bukan hanya pembangun ilmu linguistik, tapi juga apa yang kini dinyatakan sebagai ilmu semiotika.
Kemudian muncul figur kunci dalam perkembangan awal semiotika yakni filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan selanjutnya Charles William Morris (1901-1979),yang membangun semiotika behaviouris.
Tokoh-tokoh terdepan dalam linguistik modern yakni Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Umberto Eco (lahir:1932) dan Julia Kristeva (lahir:1941).
Selain Saussure, terdapat juga ahli bahasa lainnya yang bekerja atas kerangka semiotika, seperti Louis Hjelmslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Strukturalis utama bukan hanya Saussure tapi juga Claude Lévi-Strauss (lahir:1908) di bidang antropologi, lalu Jacques Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah metode analisis yang dilakukan banyak ahli semiotika berdasarkan model linguistik Saussure.
Strukturalis berusaha untuk menggambarkan organisasi secara keseluruhan sistem tanda sebagai “bahasa”.
Levi-Strauss menggambarkannya dalam pengertian yang berkaitan dengan mitos, aturan kekerabatan dan totemisme. Lacan dengan pemahaman terhadap alam bawah sadar.
Barthes dan Greimas dengan “tata bahasa narasi”. Mereka terlibat dalam pencarian untuk “struktur-struktur mendalam” yang mendasari “fitur permukaan” fenomena.
Namun semiotika sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian strukturalis, dengan hubungan-hubungan internal bagian dalam sistem mandiri, lalu berusaha untuk mengeksplorasi penggunaan tanda dalam situasi sosial tertentu.
Teori semiotik modern juga kadang-kadang bersekutu dengan pendekatan Marxis yang menekankan peran ideologi.
Analisis teks media ala semiotika yang menekankan peran ideologi, sangat direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh kalangan pers mahasiswa.
Hal agar mereka tidak terbuai oleh pesan-pesan media yang tentu saja berbasis kapitalisme.
Eco menyatakan, ”Semiotika berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda”.
Dalam pengertian semiotik, tanda-tanda berupa kata, gambar, suara, gerakan dan objek.
Menurut Saussure, “Semiologi merupakan ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.
Filsuf Charles Peirce menyatakan doktrin formal tentang tanda erat kaitannya dengan logika. Ia menambahkan, bahwa “setiap pikiran atau gagasan adalah tanda”.
Para-pakar semiotika kontemporer mempelajari tanda-tanda, tidak sebagai unsur yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari semiotik sistem-sistem tanda (seperti media atau genre).
Mereka mempelajari bagaimana makna itu dibuat, tidak hanya dalam komunikasi, tapi juga dan konstruksi dan mempertahankan realitas.
Semiotika dan cabang linguistik yang dikenal sebagai semantik memberi makna yang sama terhadap tanda, tapi John Sturrock berpendapat ketika semantik berfokus pada makna kata, maka semiotika mengarahkan bagaimana tanda itu bermakna.
Berpikir secara analisis dalam teks, belumlah cukup untuk sebuah penyadaran. Salah satu sinonim dari analis yakni dekonstruksi.
Dekonstruksi berasal dari bahasa Prancis, déconstruction, yang pertama kali digunakan tahun 1973.
Dekonstruksi yakni “Membongkar atau menguji untuk mengungkap dasar atau komposisi dengan maksud untuk menyingkap bias, kekurangan, atau inkonsistensi”.
Dengan dekonstruksi, maka suatu teks media, bukanlah anggapan yang bisa menjadi kebenaran absolut.
Anggapan-anggapan harus selalu diperbaharui secara kontekstual. Hal itu tak bisa dilakukan media meski portal beritanya selalu update.
Teks media tak selamanya sesuai dengan konteks, terutama karena kurangnya penggunaan kata yang setaraf dengan suatu realitas.
Berita sebagai suatu teks dengan konsep 5W+1H, tambah mitos keberimbangan pemberitaan dalam dogma khayal jurnalistik berupa “Cover Both Side”, menjadi ujung tombak pengabur realitas.
Teks harus selalu bersama dengan konteks, padahal biasanya kita cenderung memisahkannya. Keterpisahan teks dan konteks disebut Jacques Derrida sebagai logosentrisme. Keterpisahan itu sering dianggap makna final dari sesuatu.
Filsuf Prancis, kelahiran Aljazair ini (1930- 2004) merupakan pengeritik filsafat Barat yang terunggul. Bila dalam analisis harus dilakukan berdasarkan suatu metode, namun dekonstruksi tidak sama sekali.
Derrida menyatakan “Dekonstruksi bukanlah suatu metode dan tak bisa dibuat dalam metode apapun.” Tak ada satupun instrumen metodologis dalam dekonstruksi sebagai halnya pada analisis.
Kalaupun ada instrumennya, maka itu berupa différance. Différance sendiri berada pada posisi yang mengambang antara “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda).
Penundaan atas pembuatan realitas baru dalam teks, membuat fakta permukaan menjadi berbeda permaknaannya. Makna sebuah teks bisa dibongkar dengan pertanyaan atau pernyataan yang dimulai, “apa itu” (what is) atau “apa itu bukan” (what isn’t).
Keduanya bisa dipakai untuk membedakan teks dengan realitas dan sebaliknya.
Dekonstruksi membuka daging dan isi perut suatu teks. Makna demi makna terbungkus dalam lapisan-lapisan kulit, yang ditekan, disembunyikan atau ditindas.
Dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam “teks”, yang selama ini telah ditekan atau ditindas.
Konsep semiotika atau semiologis, sangat bagus didalami, agar memudahkan praktik interpretasi teks.
Teks membungkus realitas dalam lapisan kulit yang tebal. Realitas telah dikonstruksi secara politik, budaya, lingistik, dan sejarah dalam berbagai teks media.
Pembongkaran teks media bisa dilakukan dengan melihat perbedaannya dengan realitas.
Berani berpikir secara berbeda atau menunda-nunda untuk percaya pada informasi yang disuntikkan media, merupakan cara gampang menjalankan praktik dekonstruksi teks. Untuk itu beranilah membangun sikap kritis dalam diri.