Claransia
Bila engkau bertemu seorang gadis depan galeri foto dengan rambut hitam terurai. Juga sedang asik berseliweran dekat warung puisi kakek Joko Pinurbo dengan mata berkedip dan senyum sumringah memeluk kaki langit. Itu kekasih saya. Ia sedang mencari tali puisi yang terlepas.Jika kemudian engkau masuk pada kedua bola matanya.
Usahakan jalan pelan-pelan dari sisi sudut mata seperti orang buta; lalu keluar seperti orang bisu. Seolah-olah engkau mati dan tak mengenal kata-kata. Claransia seorang perempuan pelukis wajah. Punya puisi kamar-kamar mata bukan galeri foto umum.
Ia rupanya cukup tangkas menjahit lirikan lalu berpuisi lewat tarian kedipan mata. Dengan rambut Panjang sebahu juga, ia semakin cekat dan cepat memainkan jemari; bertemu dan bertamu dalam sajak. Claransia memang hanyalah perempuan dengan rambut panjang sebahu, namun tangannya terus berjingkrak-jingkrak memetik rembulan.
Seribu Rembulan Terbenam di Getsemani
Hati seseorang yang terbagi ialah seperti benih yang jatuh di tengah semak duri; lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya hingga mati. ‘Sebab seorang hamba tidak bisa mengabdi pada dua tuan’. Ada juga orang yang tidak dapat kawin karena kemaunnya sendiri demi kerajaan Allah. Rupanya kemolekan adalah kebohongan dan kecantikan adalah sia-sia. Selanjutnya siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti!
Seorang lelaki coba menyimpan percakapan kekasih-kekasihnya dalam tebing pengantar tidur. Biarlah ranjang kayu mahoni mendengarnya sebagai kidung duka di muka selimut. Badai mengekor di luar jendela. parasnya dalam ingatan; suka dan duka lahir bersama dalam pucuk dadanya. Luka-lukanya juga mengering lambat. Badai semakin menebal jendela.
Selepas depan muka cermin retak menggali luka, tengah malam seribu rembulan juga terbenam pada sudut matanya. Arahnya dalam. Coba meneropong tebing dada, kekasih-kekasihnya sibuk menakar kabar juga terlelap pada beranda dunia maya. Tak lupa mengecup makian jugasumpah serapah. Tajamkan sunyi ke liang hati. Kata mereka: gembala kami sedang mengencani serigala tambang! Ini tipuan. Mereka lupa berkaca. Itu tipuan. Rupanya ini tanah yang umatnya beribu-ribu, tetapi lebih mencintai rajutan kedipan mata ketimbang gembala-gembala di kendang betlehem. Retak menggali luka.
Ranjangnya kini jadi gudang kata-kata. Air mata mencoba mencuci kaki langit sehabis hari tak biasa kekasih-kekasihnya sibuk membunuh doa di atas bibirnya yang ranum. Kemudian ia coba berangkat pada pojok kapela kenangan. Merajut sepanjang bilik bibir kecupan. Depan persimpangan kata-kata, ia langsung mencuci kepala. Seorang tamu menanggal senyum depan muka pintu, di atasnya obor panjang belum tiduran. Berdoa saja!
Pariwisata
Kedipan matanya dilarang mati. Lengkungan bibir juga jangan diambil. Ini kalimat perintah sebelumnya dipikir matang-matang!
Kemudian ada banyak kertas kecil berontak muncul dalam kamar kepala. Teriak! Darah sedang mengalir Panjang. Rapi tertanam. Ini puisi sekadar berseliweran mencari air mata juga pariwisata gratis.
Namanya Magdalena. Cukup cantik dalam intonasi ucapan juga cucian mata. Ia seorang perempuan muda berwarna sepiring doa pada warung kecil dekat pasar lama. Setelah sekian lama gagal memadu kasih dekat kontrakan muram, kini ia membuat puisi makian perasaan sepanjang terowongan sunyi lembaran merah. Katanya singkat berair mata: perempuan zaman sekarang seperti dipermainkan dalam perasaan. Ini Magdalena sepertinya kemiskinan pelukan juga ketiadaan kecupan. Jalan cemberut dan menelanjangi kaki mengemis diri pada usapan kenangan.
Namanya Magdalena. Cukup seksi dalam diksi identitas diri. Ia seorang perempuan muda korban pariwisata. Dikecup dan ditipu serangkaian rayuan berkelas pelupa diri.
Ketika kata-kata pariwisata numpang: nasibnya tinggal rangka dalam lorong kusam permainan lelaki. Pasar gelap belum mati-mati dan dunia sedang kebanjiran tangisan.
Kerikil Depan Rumah Seorang Dukun
Tidak menunggu sakit untuk berpulang. Sekalipun pesan tak kunjung datang sebelum berangkat. Hidup hanya sekadar menunda kematian. Mari kita bergegas buat lingkaran. Batasi diri dengan hidup dalam garis bulat pagar pembatas lalu perbanyak doa, kasih juga ditenun panjang-panjang. Kirim cinta dalam-dalam kepada mereka yang memandang bapa; kita masih di tengah jalan.
Ada kerikil depan rumah seorang dukun tetangga pak kepala desa. Mondar-mandir menyapa kaki yang ditinggal sepatu sneakers putih. Tadi sebelum berangkat menyambut bis kayu TMA Trans, sebuah sepatu putih memilih mogok dekat terminal kusam tengah kampung. Harus cari, sneakers putih tersebut menyimpan banyak harapan.
Tepat hari pernikahan anak perempuan kepala desa, hanya kado sepatu putih yang datang. Tunangannya terpeleset oleh kerikil depan rumah seorang dukun. Doa-doa berdatangan. Ucapan berterbangan. Kemudian dari dukun ke dukun, kerikil depan rumah tersebut adalah perasaan seorang dukun yang sering digantung oleh anak perempuan kepala desa juga ingatan tetangga yang cemburu pada pemilik sepatu sneakers putih tersebut.