Labuan Bajo, Vox NTT- Lurah Wae Kelambu Markus Randu mendukung pembangunan di kawasan Hutan Bowosie oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF).
Markus menyebut, dirinya mendukung program tersebut asal saja bisa berdampak positif untuk masyarakat sekitar.
“Terkait program pemerintah kami dukung ketika niatnya baik kami tidak soalkan asalkan keluarga sekitaran Lancang dan sernaru berdampak baik terhadap program tersebut,” ujarnya.
Karena itu, dia meminta kepada BPOLBF agar terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar khususnya masyarakat Wae Kelambu.
“Sesering mungkin untuk melakukan sosialisasi dengan warga yang ada di sekitar sehingga masyarakat tahu progres pembangunan yang akan mereka jalankan,” pinta Markus.
Markus juga sesalkan terkait adanya perambahan hutan yang terjadi di hutan Bowosie.
“Tahun 2018 masyarakat melakukan pertemuan pada bulan Mei. Pertemuan itu terkait protes atas aksi penggundulan hutan oleh pendatang di wilayah tersebut,”kata dia.
Dia bersama masyarakat juga melakukan pertemuan untuk beraudiensi dengan pihak kehutanan yaitu KPH.
“Kita menanyakan apakah warga yang meraba hutan itu memang dilegalkan oleh KPH?” tanya Markus.
Karena itu kata dia, pemerintah kelurahan bersama masyarakat membuat pernyataan sikap yang dikirim ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) terkait maraknya perambahan hutan oleh orang luar.
Menurutnya, masyarakat di wilayahnya khusus Lancang dan Sernaru tidak pernah mengganggu kawasan itu.
“Berkaitan dengan hutan Bowosie secara ulayat berada di wilayah Lancang dan tetapi secara administrasi pemerintahan berada di kelurahan wWae Kelambu. Dalam hutan Bowosie merupakan hutan negara dan pemerintah. Masyarakat Sernaru dan Lancang tidak pernah mengambil atau mengganggu lahan hutan tersebut,” tegasnya
Apalagi hutan itu kata Markus, adalah sebagai penyangga sumber air untuk masyarakat Lancang Sernaru.
Sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria mendesak Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) agar menghentikan perampasan tanah atas nama pembangunan kawasan wisata super premium Labuan Bajo.
“Atas nama percepatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), Pemerintah Indonesia tidak henti-hentinya melakukan perampasan tanah rakyat disertai intimidasi dan kriminalisasi,” ujar Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, dalam rilis yang diterima awak media, Sabtu (23/04/2022).
Dewi mengungkapkan, pada Kamis, 21 April 2022, BPO-LBF menggusur kebun masyarakat untuk pembangunan jalan sebagai akses menuju proyek pengembangan wisata Hutan Bosowie di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Saat menggusur kebun masyarakat, kata dia, badan yang dipimpin Shana Fatina tersebut dikawal aparat gabungan TNI dan Polri.
Proyek ini merupakan bagian dari pengembangan kawasan wisata premium Labuan Bajo-Flores yang masuk ke dalam salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Tidak kurang 50 aparat gabungan TNI dan Polri melakukan pengawalan terhadap proses pembukaan jalan ini.
Proses pembukaan jalan ini menurut Dewi, mendapat hadangan dari warga. Warga yang berada di posko-posko penolakan awalnya secara baik meminta pihak BPOLBF melakukan dialog terlebih dahulu.
Namun permintaan tersebut tidak digubris sehingga warga meneriaki pihak BPOLBF dan bahkan berdiri menghadang ekskavator.
Ujungnya, salah seorang warga Rancang Buka, Paulinus Jek ditangkap oleh aparat kepolisian dengan dalih pengamanan.
Meskipun dibebaskan beberapa saat kemudian, pihak BPOPLF terus melanjutkan upaya penggusuran kebun-kebun dan tanah masyarakat.
Dewi mengatakan, penolakan yang dilakukan warga merupakan respons terhadap pembangunan yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
“Apalagi, pembangunan ini nantinya akan menggusur tanah-tanah dan kebun masyarakat,” ujar Dewi.
Warga komunitas Rancang Buka merupakan satu dari tiga kelompok di Labuan Bajo yang terancam tergusur oleh rencana pembangunan kawasan wisata ini.
Padahal mereka telah mendiami wilayah seluas 150 hektare tersebut sejak tahun 1990. Bahkan warga telah beberapa kali berupaya mengajukan permohonan hak atas tanah mereka melalui skema pembebasan dari klaim kawasan hutan.
“Namun ujung-ujungnya, pemerintah secara sepihak menetapkan lokasi tersebut sebagai kawasan wisata premium,” tegas Dewi.
Melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016, hanya sekitar 38 hektare ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain (APL).
Sedang bagian lain dari hutan yang dimohonkan untuk menjadi hak warga menjadi bagian dari kawasan yang diserahkan kepada BPOLBF.
Dia menyebut melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, pemerintah secara sepihak menentukan arah pembangunan yang mengarah pada perusakan Hutan Bowosie.
Kebijakan Pemerintah mengalihfungsikan lahan seluas 400 hektare Kawasan Hutan Bowosie untuk bisnis pariwisata.
Selain itu, terdapat berbagai izin investasi di Taman Nasional Komodo, Badan Pelaksana Otorita dibentuk guna mempercepat investasi pariwisata skala besar di Labuan Bajo-Flores.
Terdapat tiga paket paket proyek yang telah diumumkan yaitu Pembangunan Akses Jalan Zona Otoritatif, Paket Pengawasan Pembangunan Akses Jalan Zona Otoritatif dan Kajian dan Penyusunan Rencana Bisnis dan Skema Investasi Lahan Otorita Badan Pelaksana Otorita-Labuan Bajo Flores (BPOLBF).
Selain akan menggusur kebun dan tanah-tanah mereka, lanjut Dewi, warga menolak karena pembangunan ini akan menyasar ekosistem karst yang sangat penting bagi sumber air warga di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Pengembangan wisata di Kawasan Hutan Bowosie juga dapat mempersempit area resapan hujan di sekitar hutan lindung yang dapat mengakibatkan bencana banjir.
Hal ini juga akan mengancam habitat alami sejumlah burung endemik Flores yang berada di Hutan Bowosie.
Menurut Dewi, penggusuran di Labuan Bajo ini terus menambah daftar panjang praktik-praktik penggusuran dan perampasan tanah demi percepatan pembangunan proyek-proyek strategis nasional.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 40 letusan konflik agraria yang terjadi sepanjang 2021 akibat pembangunan PSN. Angka ini naik secara signifikan dari tahun 2020 dengan 17 letusan konflik.
“Situasi ini akan semakin meningkat ke depan. Sebab, pemerintah telah menjadikan percepatan proyek-proyek strategis nasional sebagai lokomotif pemulihan ekonomi nasional pasca krisis yang melanda akibat Covid-19,” ujar Dewi.
Dikatakan, proses penyelesaian yang terkesan kerja target tersebut akan membuat pemerintah melakukan jalan pintas, dengan cara sepihak dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang akan memakan waktu.
Sehingga diprediksi letusan-letusan konflik akan semakin bertambah seiring percepatan seluruh proyek-proyek PSN tersebut.
Atas situasi tersebut, pihak Dewi mengutuk keras penggusuran yang dilakukan BPOLBF terhadap masyarakat Labuan Bajo.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo, Kementerian LHK dan Kemenparekraf agar segera: pertama, menghentikan perampasan tanah warga Labuan Bajo atas nama pembangunan kawasan wisata premium Labuan Bajo-Flores.
Kedua, menghentikan intimidasi dan tarik mundur aparat gabungan dari wilayah Rancang Buka, Labuan Bajo.
Ketiga, mencabut Peraturan Presiden No.32/2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores.
Keempat, memberikan pengakuan hak atas tanah masyarakat melalui redistribusi tanah dari pelepasan klaim sepihak kawasan hutan
Kelima, mengevaluasi seluruh daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengakibatkan penggusuran dan perampasan tanah masyarakat.
Penulis: Sello Jome
Editor: Ardy Abba