Ruteng, Vox NTT- Surat penertiban aset Pemda Manggarai Nusa Tenggara Timur di Nanga Banda Reok mencantumkan 9 nama. Namun dalam aksi pembongkaran yang dilaksanakan pada Rabu, 29 Juni 2022, hanya dua objek yang menjadi sasaran penggusuran yaitu tanah kepunyaan H. Zainal Arifin Manasa dan lahan yang diklaim Herdin Baharun.
Tiang beton dan kawat berduri dibongkar menggunakan alat berat. Aksi penggusuran sempat mendapat perlawanan dari pihak Herdin dan keluarga Manasa.
Sat Pol PP yang berjumlah tak kurang dari 50 orang terlibat kericuhan dengan warga di lokasi penggusuran.
BACA JUGA: Pilar Tanah Nanga Banda Digusur Pemkab Manggarai, Warga dan Pol PP Berkelahi
H. Zainal Arifin Manasa, salah satu pemilik tanah di Nanga Banda menilai tindakan Pemda Manggarai yang serta merta langsung menggusur mirip ‘eksekusi’ yang biasa dilakukan oleh Pengadilan.
Pemda Manggarai juga dinilai arogan. Hal itu terlihat dari sikap mengesampingkan hasil dialog yang digelar bersama Wabup Heribertus Ngabut sebelumnya.
“Padahal, sebelumnya pihak-pihak yang menghadap pak wakil menawarkan ide agar sebaiknya diagendakan pertemuan ulang untuk membahas persoalan yang sama. Alhasil Wabup Heribertus Ngabut di ruang kerjanya pada Jumat, 27 Mei 2022 menjanjikan akan menjadwalkan pertemuan di Nanga Banda,” kata H. Zainal Arifin Manasa ketika ditemui, Jumat (01/07/2022).
Tapi faktanya, kata tokoh yang biasa dipanggil H. Arifin itu, janji Wabup Ngabut berbelok arah. Sebab pada Selasa, 28 Juni 2022 pemerintah melalui Sekda Manggarai Jahang Fansi Aldus selaku otoritas pengelola aset malah mengeluarkan surat perintah pembongkaran bangunan dan pemberhentian segala aktivias di atas tanah Pemda yang berlokasi di Nanga Banda.
“Pembongkaran tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Heribertus Ngabut dan mengerahkan puluhan Sat Pol PP dan satu unit alat berat,” tutur dia.
Seperti diberitakan, pembongkaran itu dimulai pada pukul 11.30 Wita. Pertama di atas tanah milik Herdin Baharun hingga Pukul 15.30 Wita. Penolakan dari masyarakat tak begitu masif karena hanya menginginkan dialog.
Adapun kericuhan yang terjadi di lahan Herdin kembali berlanjut ketika penggusuran begeser ke lokasi H. Zainal Arifin Manasa yang notabene memiliki bukti kepemilikan tanah. Sat Pol PP yang bergerak dengan perintah pimpinan harus berhadap-hadapan dengan keluarga Manasa. Bukti pajak yang diperlihatkan dalam kegiatan penggusuran itu tak digubris petugas.
“Ada beberapa warga yang terluka. Ini benar-benar tindakan aparat yang berlebihan. Warga yang sedang berjuang untuk haknya dianggap sebagai musuh pemerintah,” sebutnya.
Tanah Nanga Banda dari Staf Kerajaan ke Manasa
Dikisahkan Arifin Manasa, selama masa Kesultanan Bima di wilayah Kecamatan Reok yang dipimpin oleh Naib (Raja Bicara) Abdullah Daeng Mananja pada tahun 1930 terdapat juga seseorang staf kerajaan atau dikenal dengan istilah Rato (tetua) yang bernama Abdurrahman.
Abdurrahman memiliki seorang anak bernama Khadijah. Begitu dewasa, Khadija dipersunting Muhammad Saleh Daeng Manasa yang menjabat sebagai kepala desa.
Muhammad Saleh Daeng Manasa menjabat sebagai Kepala Desa Nanga Lare untuk tiga wilayah, Desa Reok, Desa Baru dan Desa Kedindi.
Pada tahun 1960 ia pernah menjabat sebagai kepala kampung Bari. Setelah 4 tahun menjabat ada pemilihan kepala desa gaya baru untuk 2 wilayah yaitu Nanga Lere dan Tengku Romot.
Dari pernikahan itu kemudian lahirlah Marwia Manasa, Syarifudin Manasa, Marlia Manasa dan H. Zainal Arifin Manasa. Dari empat kakak beradik itu Syarifudin Manasa yang sudah meninggal dunia.
Berdasarkan fakta tersebut maka duduk letak penguasaan tanah Nanga Banda oleh H. Zainal Arifin Manasa sangat jelas. Sebab dia merupakan keturunan langsung dari kakeknya Abdurrahman melalui garis sang ibu Khadijah yang merupakan anak tunggal dari Abdurrahman sebagai Rato.
“Pemberian tanah Nanga Banda ke Manasa dapat dianggap sebagai simbol kedekatan sekaligus hubungan baik antara Naib dan Rato. Setelah Rato (Abdurrahman) meninggal, lahan tersebut secara otomatis dikuasakan kepada Khadijah, ibu kami dan selanjutnya diserahkan ke saya waktu saya muda,” tutur H.Arifin Manasa.
“Penguasaan lahan oleh saya di Nanga Banda diperkuat dengan beberapa alat bukti, berupa hak alas tanah yang dikeluarkan oleh Lurah Kelurahan Reo yaitu Badarudin Har pada tahun 2011 yang dikemudian hari terjadi pembaruan pada tahun 2020 di bawah kepemimpinan Lurah Yos Sudarso,” tambahnya.
Dalam perjalanan, tutur dia, tanah tesebut dimanfaatkan untuk tambak garam. Sementara dilahan kering (pali) dipergunakan sebagai lokasi penggembalaan hewan ternak sapi dan kerbau. Lahan warisan itu juga sebagai lokasi tambak garam garapan warga sekitar.
“Sebagai catatan bahwa aktivitas pertanian garam di Nanga Banda sudah eksis jauh sebelum pemerintah kabupaten Manggarai dibentuk. Tambak garam Nanga Banda berkontribusi terhadap program pengembangan garam yodium pada tahun 2001,” cerita Arifin.
Berkaitan dengan program nasional garam beryodium pada tahun 2001, Bupati Manggarai Anton Bagul katanya lagi, sangat mendukung kegiatan tersebut dengan memberikan bantuan kepada seluruh petani garam yang di dalamnya juga termasuk H. Zainal Arifin Manasa sebagai pemilik lahan. Adapun bantuan yang diberikan berupa mesin pompa, selang dan terpal.
Meskipun rutin membayar pajak, namun Arifin Manasa belum mengurus sertifikat dikarenakan persoalan administrasi di tingkat Desa Reok dan Desa Baru.
Namun demikian, menurutnya, surat pajak dari tahun 1984 hingga tahun 2021 menjadi bukti autentik bahwa lahan seluas 3 hektare di Nanga Banda adalah miliknya.
Pemagaran
Lahan milik H. Zainal Arifin Manasa dipagar sejak lama sejak lahan itu digarap. Namun pagar yang dibuat adalah pagar bambu sehingga gampang dirusak sapi yang diikat dan berkeliaran di lokasi tersebut.
“Pada bulan Juli 2021, saya mengganti pagar bambu dengan tiang beton dan kawat duri. Hal itu kemudian menjadi alasan bagi pihak tertentu mengarang cerita tentang tanah kami di lokasi Nanga Banda,” beber H. Arifin.
Bukan di Tanah Pemda
Zainal Arifin Manasa turut membenarkan klaim kepemilikan tanah Pemda di Nanga Banda. Namun ujarnya, posisi tanah Pemda berbeda titik dengan tanah miliknya.
“Saya berbatasan langsung di sebelah timur dengan tanah Pemda. Dari pilar yang saya buat hingga ke sisi utaranya mencakup arena pacuan kuda,” terang Arifin.
Tokoh 65 tahun itu menambahkan, tanah milik Pemda merupakan tanah yang pada masa kolonial diserahkan kepada pihak Belanda oleh Raja Bicara Abdullah Daeng Mananja dengan alasan untuk dijadikan pangkalan udara guna mendukung aktivitas penjajahan pada masa itu.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba