Oleh: Fransiskus Sardi*
Sejak munculnya pemikiran yang membedakan watak alam sosial, dengan alam fisik, lebih dari 2500 tahun yang lalu, teori tentang politik telah menarik perhatian pemikir-pemikir dari segala zaman.
Perhatian manusia terhadap politik, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena manusia, meminjam istilah Aristoteles (384-322) adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon).
Konsekuensi logis dari penamaan manusia sebagai makhluk politik ialah hidup dalam tatanan masayarakat yang memiliki latar belakang dan konsep pemikiran yang berbeda.
Perbedaan atau keragaman budaya dalam satu sisi bisa menjadi sumbangan untuk memperkaya suatu bangsa, namun di sisi lain bisa menjadi laknat, apabila tidak mampu dijaga dan diatur dengan baik.
Karenanya untuk membangun hidup baik dalam berbangsa dan bernegara, sangat diperlukan suatu konsep saling menghargai martabat sesama manusia.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, sebagai negara yang terdiri dari banyak keragaman Suku, Ras, Bahasa dan Budaya, memiliki komposisi agama dan kepercayaan yang plural, membangun suatu tatanan komunitas masyarakat yang harmonis adalah suatu ujian, disamping sebagai tugas setiap diri bangsa Indonesia.
Salah satu contoh misalnya pluralitas agama dan kepercayaan yang sering menjadi pemicu konflik Bangsa Indonesia. Walaupun konflik akibat pluralitas keagamaan juga tidak terlepas dari faktor ekonomi, pendidikan, politik, sosial dan budaya.
Kita tidak bisa melepaskan luasnya geografis Indonesia, juga menjadi alasan yang menyumbangkan pluralitas. Luas wilayah dan keadaan geografis serta topografis yang berbeda, turut membentuk karakter setiap anak bangsa.
Oleh karenanya dalam membangun dan menemukan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki karakter yang plural, perlu ada satu konsep yang bisa membangun suatu masyarakat yang harmonis.
Hidup bersama dalam masyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar, selalu rentan konflik. Sejarah hidup bersama mencatat ada berbagai masalah yang muncul akibat ketidakmampuan mengatur kebebasan setiap individu.
Negara Indonesia menorehkan beragam persoalan politis, entah dalam membangun urusan politik, entah juga dalam urusan membangun keharmonisan antar warga.
Cela kritis dan krisis situasi politik Indonesia memberi sinyal kuat bahwa politik yang bermartabat dalam membangun masyarakat yang harmonis mutlak dibutuhkan. Politik yang santun atau “politik yang bermartabat” – konsep I.J Kasimo – dalam membangun masyrakat yang harmonis.
Sikap harmonis dan bermartabat inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis.
Dalam usaha untuk membangun ruang diskusi akademis, dan usaha untuk membentuk watak Bangsa Indonesia yang berkarakter harmonis, saya menuangkan gagasan dari Ignatius Joseph Kasimo.
Gagasan ini ada usaha eksperimental untuk memahami konteks pluralitas, karenanya sumbangan dalam gagasan ini, tidak mutlak menjadi dogma yang dipegang, tetapi lebih merupakan usaha argumentatif.
I.J Kasimo, demikian nama populernya, adalah seorang pemikir Indonesia yang memiliki konsetrasi penuh dalam membentuk, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai seorang pemikir, Kasimo telah menjadi salah satu sosok yang menerangkan nilai-nilai kehidupan yang benar ke dalam tatanan masyarakat Indonesia yang plural.
Saya akan mengkaji tulisan ini ke dalam dua bagian: 1) biografi I.J Kasimo, 2) Pemikiran khas Kasimo dalam membangun masayarakat harmonis.
Saya menutup uraian ini dengan membangun komparasi pemikiran dari Sutan Sjahrir.
Biografi I.J Kasimo
Setelah uraian di atas, saya akan menarasikan biografi I.J Kasimo. Sebelum menarasikan lebih dalam tentang Kasimo, saya ingin mereafirmasi pernyataan Karl Rahner (1904-1984) dalam Theological Investigations, yang menegaskan bahwa ‘kita hanya dapat mengatakan apa manusia itu, dengan mengatakan apa yang menjadi perhatiannya, dan apa yang memperhatikannya’.
Atas dasar kesadaran demikian, saya akan mendeskripsikan riwayat hidup I.J Kasimo berdasarkan perhatiannya dan yang memperhatikannya.
Kasimo lahir di Yogyakarta sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara. Ia lahir pada tanggal 10 April 1900 dari pasangan Ronosentiko dan Dalikem.
Ayah Kasimo adalah seorang prajurit yang mengabdi di Kraton Kesultanan Yogyakarta. Ibunya, selain sebagai pengasuh untuk anak-anak, juga berjualan di pasar.
Kasimo hidup di saat Yogyakarta sedang dalam masa transisi, yang mana Kraton Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII antara tahun 1877 – 1921, mengalami suatu moderasi pemikiran.
Sultan sudah merenovasi gedung sekolah dan aturan kependidikan sudah mengikuti dan menerapkan sistem pendidikan Hindia Belanda.
Sebagai putera yang digolongkan dalam kaum Priyai, Kasimo sebenarnya memiliki privillege. Namun Kasimo tidak membiarkan dirinya hanyut dalam lingkungan Abdi Dalem.
Kasimo berani meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan yang baru, dan juga mengejar mimpi baru yang tidak terbatas pada dunia kepriayian.
Masa kependidikan Kasimo bermula dari sekolah bumiputra, yaitu sekolah kelas Dua Ongko Loro di kampung Gading, yang terletak beberapa ratus meter dari rumahnya.
Pada saat itu, ia bertemu dengan Romo Fransiscus van Lith SJ yang adalah seorang imam katolik yang saat itu sedang mencari murid untuk sekolah di Muntilan.
Berkat dukungan ayahnya, Kasimo melanjutkan studinya di Muntilan. Kasimo dibesarkan dalam pengaruh feodalisme dan kolonialisme yang cukup besar.
Berkat pengaruh dari Romo van Lith, Kasimo mulai memahami dengan baik arti kehidupan dalam struktur masyrakat Jawa.
Nasionalisme dalam jiwa Kasimo sebenarnya terbentuk karena adanya edukasi yang diturunkan oleh Rm. Van Lith.
Rasa cinta akan Budaya Jawa dan sikap nasionalisme menjadikan Kasimo layak di sebut seorang tokoh penting membentuk watak masyrakat Indonesia.
Ia belajar banyak hal saat berada di Muntilan. Hidupnya di Muntilan, sedikit mewah jika dibandingkan dengan hidupnya di Yogyakarta.
Konsep tentang manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan perlu adanya pembebasan dari sistem feodal, kolonisasi perlu dan harus dijauhkan merupakan benih pemikiran yang muncul pascapendidikan di Muntilan.
Setelah menyelesaikan studi dan tinggal di asrama yang dibimbing Van Lith, Kasimo melanjutkan studinya di sekolah pertanian Bogor.
Menyadari bahwa sekolah pertanian, bukan hanya kemampuan untuk menanam dan membudidayakan tanaman, Kasimo muda pun belajar dan mengikuti kursus perkreditan rakyat.
Kegigihan untuk membaca buku dan belajar, telah menjadikan wawasan pengetahuan Kasimo bertambah. Ia menjadi pemuda yang aktif berorganisasi selama berada di Bogor.
Kasimo pernah menjabat sebagai anggota Pemuda Jawa (Jong Java), Ia Juga menjadi anggota Ceres (Organisasi murid-murid Sekolah Pertanian Menengah), dan ia pernah terpilih menjadi ketua Ceres.
Ia menyelesaikan studi di sekolah menengah pertanian Bogor pada tahun 1921. Selama masa-masa penjajahan dan kolonialisasi, Kasimo bisa dikatakan sedikit beruntung, ia masih bisa mengenyam dunia pendidikan dalam situasi yang dicengkram oleh kolonialisasi.
Selama masa-masa awal kemerdekaan, Kasimo pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen sementara Indonesia.
Untuk membarui jalan politiknya, Kasimo mendirikan Partai Katolik pada tahun 1923 dengan nama Pakempalan Politik Katholik Djawi (PPKD).
Pada tahun 1924 I.J Kasimo dipilih menjabat ketua PPKD. Nama dari partai ini mengalami beberapa perubahan karena desakan pemerintahan.
Pada saat kongres partai, namanya diganti menjadi Partai Katolik Republik Indonesia.
Kasimo pernah menjadi seorang Menteri Persediaan Makanan Rakyat (1948-1950), Kasimo juga menjadi pernah menjadi Menteri Perdagangan (1948-1956).
Ia juga menjadi salah satu pelopor pendiri Universita Katolik Atma Jaya. Kasimo wafat pada 1 Agustus 1986.
Ia digelari sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 8 November 2011 .
Pemikiran Khas I.J. Kasimo
Nasionalisme I.J. Kasimo
Nasionalisme dalam pemahaman umum sering diartikan sebagai rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa, serta sejarah kebudayaannya. Boyd Shafer mendefiisikan lima arti penting dari nasionalisme.
Menurutnya nasionalisme berarti: 1) cinta tanah air, 2) keinginan tinggi untuk keselamatan dan prestise bangsa sendiri, 3) suatu kebaktian mistis terhadap urusan kebudayaan, 4) nasionalisme berarti ajaran yang mengajarkan setiap orang untuk mencintai bangsanya saja sendiri melebihi bangsa-bangsa lain, dan 5) nasionalisme berarti sikap yang menyatakan bahwa bangsa sendiri lebih dominan dibandingkan bangsa-bangsa lain dan bertindak agresif.
Secara umum dapat dipahami bahwa nasionalisme adalah sikap dimana setiap orang berusaha untuk menjadi pribadi yang sangat mencintai kedaulatan bangsanya sendiri. Dalam tataran sejarah, nasionalisme sudah ada dalam diri setiap orang.
Banyak rakyat melihat bahwa untuk hidup secara nasionalis dia perlu menjadi pribadi yang mengutamakan kesatuan dan kecintaanya pada negaranya sendiri.
Sikap nasionalis yang mengebu ini, bisa menjadi faktor yang membangkitkan perasaan persatuan nasional.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme sering dinamakan dengan nasionalisme pancasila.
Roeslam Abdulghani menjelaskan bahwa nasionalisme Indonesia itu selalu bermuara pada sikap patriotisme. Pada hakikatnya nasionalisme dan patriotisme adalah dua hal yang sama.
Baginya nasionalisme sering dipandang sebagai tindakan yang mengarahkan pada sikap mencintai dan mengayomi seluruh anak bangsa, sedangkan patriotisme adalah tindakan nyata yang dimplementasikan dalam hidup harian sebagai cara untuk menghidupkan kecintaan pada tana air.
Dua sikap ini, ditegasi oleh Roeslam sebagai tindakan yang bernuansa solidaritas dan rasa kemanusiaan.
Uraian nasionalisme di atas menggambarkan bahwa kecintaan terhadap tanah air adalah suatu yang mutlak penting. Sikap nasionalisme ini digaungkan juga oleh Kasimo. Benih nasionalisme dalam diri Kasimo tidak bisa dipisahkan dari kiprah van Lith.
Romo Van Lith mengajarkan kecintaan pada tanah air, kesederhanaan, rasa kemanusiaan serta peduli pada kaum tertindas.
Berkat kecintaanya pada tanah air, Kasimo juga menyadari adanya martabat yang sama bagi sesama manusia. Inti utama dari gagasan nasionalisme Kasimo adalah kesamaan martabat manusia, dan karenanya kolonialisasi dan feodalisasi mestinya dijauhkan dari tanah air.
Sebagai awam Katolik, dan pendiri Partai Katolik, Kasimo mengembangkan nasionalismenya bermula dari gereja Katolik.
Pada masa-masa perjuangan dan awal kemerdekaan, dan bahkan sampai saat ini, umat-umat kristiani sering dipandang sebagai sekutu penjajah.
Untuk membatasi spekulasi negatif, Kasimo berusaha mendirikan Partai Katolik Republik Indonesia. Penamaan identitas Indonesia adalah usaha yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak bersekutu dengan penjajah.
Nasionalisme Kasimo memang tidak terlepas dari nasionalisme religius. Ia mengembangkan nasionalismenya dengan berlatarkan pada nilai-nilai kristiani.
Bahkan secara gamblang ia menafsirkan perintah keempat pada 10 perintah Allah “hormatilah ibu bapamu” sebagai usaha untuk menghormati nusa dan bangsa.
Kekhasan dari nasionalisme Kasimo adalah berciri Katolik – universal, kecintaan pada semua orang.
Nasionalisme yang bermartabat berarti menerima semua bentuk perbedaan, dan menjadikan setiap pribadi saling mencintai. Kasimo, politikus yang berkpribadian dan berwatak baik, mencintai pluralitas.
Pendidikan Menurut I.J Kasimo
Dalam pandangan Kasimo, Pendidikan selama masa-masa perjuangan dan awal kemerdekaan membentuk sistem yang berusaha untuk membangun dan menghasilkan tenaga-tenaga pribumi bagi pemerintahan dan perusahan asing.
Bagi Kasimo, pendidikan bukanlah suatu usaha untuk mencetak robot semata. Sistem pendidikan pada saat itu bertujuan untuk menghasilkan tenaga-tenaga pribumi yang murah. Bagi Kasimo, sistem pendidikan di sekolah-sekolah seharusnya mengutamakan pendidikan kepada murid-murid, bukan mempersiapkan mereka untuk pekerjaan tertentu saja.
Dengan adanya pendidikan yang baik, akan membantu mendidik setiap anak bangsa pada bidang kebudayaan, sosial, politik dan ekonomi.
Perjuangan Kasimo dalam usaha membangun pendidikan di Indonesia, menjadikan dia sebagai salah seorang pelopor dalam membangun Universitas Atma Jaya.
Kematangan pemikian dan kedewasaan pendidikannya, menjadikan dia salah satu tokoh toleran dalam realitas Indonesia yang plural. Pada dasarnya Kasimo lebih mengutamakan kemanusian dibandingkan persoalan agama atau perbedaan lainnya.
Sebagai pemikir dan tokoh Katolik, Kasimo menjadi seorang pribadi yang menghormati semua manusia, tanpa membedakan latar belakang sosial.
Kedewasaan pemikirannya inilah yang membuat Kasimo selalu berusaha untuk membangun term martabat manusia sebagai gugatan utama dalam membangun pendidikan.
Pendidikan yang bermartabat adalah pendidikan yang menerima perbedaan, merangkul persamaan dan membangun persaudaraan yang harmonis, demikianlah sejatinya esensi pendidikan.
Dalam ranah pendidikan, sebagai seorang pemikir kristiani, Kasimo memberikan gambaran bahwa esensi dari suatu pendidikan memperlakukan orang lain selaras dengan apa yang hendak kita ingin orang lain perbuat.
Teks injil Matius 7:12 dan Lukas 7:12 “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” menjadi landasan etika pendidikan Kasimo.
Gagasan ini menjadi sumbangan besar Kasimo, yang mana menekankan hubungan kesalingan dan kesetaraan.
Konsep pendidikan demikian yang menggerakan Kasimo untuk mempelopori pendirian Universitas Atma Jaya.
Catatan Akhir
Manusia dalam hidupnya selalu mengejar hidup yang baik dan bermartabat. Kasimo dalam konstruksi konsep nasionalisme yang bercorak religius katolik dan juga konsep pendidikan memberikan gambaran jelas bahwa untuk menjadi manusia yang baik, perlu ada sikap saling menghormati.
Sebagaimana Aristoteles dalam karyanya Nichomachean Etichs I mendeklarasikan bahwa kebaikan merupakan tujuan utama dari segala pilihan hidup manusia. Manusia dalam seluruh proyek hidupnya, selalu mengejar hidup baik.
Hidup baik hanya bisa dicapai dalam relasi antarpribadi. Relasi ini mengandaikan adanya suatu tantanan hidup yang saling menghargai martabat sesama manusia.
Dalam ruang demikian, konsep pendidikan dan nasionalisme Kasimo bisa diterima.
Nasionalisme I.J Kasimo secara implisit memiliki kemiripan dengan nasionalisme Sutan Sjahrir. Sjahrir dengan penuh gelora dan kritik tajam, melukiskan situasi awal kemerdekaan pada bagian pertama pamflet Perdjoeangan Kita.
Sjahrir menunjukan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan kekuatan fasis baru dalam negeri sendiri.
Bagi Sjahrir nasionalisme yang terlalu berlebihan dan kebablasan bisa menjadikan bangsa Indonesia kecolongan pemahaman arti nasionalisme.
Bagi Sjahrir nasionalisme tidak bisa dilepaspisahkan dengan sikap mengharagai dan mengakui seluruh martabat manusia, nasionalisme juga berarti internasionalisme – dalam bacaan Kasimo, nasionalisme harus bermuara pada universalisme, menghargai seluruh keberadaan manusia.
Di dasar hatinya, Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, Baginya, nasionalisme berkaitan juga dengan wawasan-wawasan tentang kebebasan individu dan perubahan sosial yang dapat menjadikan sikap cinta tanah air itu sebagai suatu sikap kemerdekaan yang sejati.
Konsep Sjahrir ini paralel dengan pemahaman Kasimo. Maka tidak salah bila menempatkan keduanya sebagai tokoh pejuang yang melampaui nasionalisme buta.
Dan dalam konsep demikian, nasionalisme dan pendidikan Kasimo bisa menjadi sumbangan untuk membangun masyarakat yang harmonis dalam realitas plural.
* Fransiskus Sardi,
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Prodi Filsafat
Endnote
Henry J Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. Ahmad Baidlowi dan Imam Baehaqi, Filsafat Politik, Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampai zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 4.
J.B Soedamanta, Biografi I.J Kasimo, Politik Bermartabat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), 1
Tim Wartawan Kompas, I.J Kasimo, Hidup dan Perjuangannya, (Jakarta: Gramedia, 1980), 3
J.B Soedamanta, Biografi I.J Kasimo, Politik Bermartabat, 30
J.B Soedamanta, Biografi I.J Kasimo, Politik Bermartabat, 48
J.B Soedamanta, Biografi I.J Kasimo, Politik Bermartabat, 55
Boyd C. Shafer, Nationalism Myth and Reality, (New York: Harvest Book Harcourt, 1955), 6.
Roeslam Abdulghani, Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987) 200
Thasadi, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, (Jakarta: PKRI, 1949), 190.
Tim Wartawan Kompas, I.J Kasimo, Hidup dan Perjuangannya, 40.
Aristotle, Nichomachean Ethics I, the Complete works of Aristotle, Vol II (Princenton: Princenton University Press, 1991) 109
Arif Zulkifli, Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil, Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bagsa, 163