Oleh: Ano Parman
Warga Kecamatan Lembor Selatan-Manggarai Barat
Sejak kebijakan afirmasi perempuan dalam politik digulirkan, banyak orang, terutama kaum perempuan gembira dan yakin akan perubahan kebijakan politik ke depan. Betapa tidak, setelah sekian lama struktur politik kita dikuasai kaum pria, perempuan sebagai populasi terbesar menurut sensus penduduk tak diberi peran sewajarnya.
Perempuan hanya pelengkap yang kadang tak diperhatikan bahkan diabaikan sama sekali dalam aktivitas politik kenegaraan. Pada saat yang sama, politik menjadi milik kaum laki-laki dan dominan menentukan kebijakan politik. Akibatnya, perempuan tak mendapat kesempatan yang layak untuk membentuk kesetaraan gender dan memperjuangkan aspirasi politiknya.
Dengan kebijakan afirmasi ini, perempuan mendapat kemudahan dan perlakuan khusus yang dikukuhkan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan politik. Hal itu sejalan dengan amanat Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Terjemahan Pasal 28H ayat (2) tersebut sudah disampaikan MK dalam Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Dalam putusan itu, MK menegaskan “memberi kuota 30 persen dan keharusan satu perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif bagi perempuan dan laki-laki.
Kebijakan ini cukup memadai sebagai langkah awal untuk memberi peluang kepada perempuan di satu pihak, sementara di pihak lain, menawarkan kepada pemilih untuk menilai sekaligus menguji akseptabilitas perempuan memasuki ranah politik yang bukan semata-mata karena statusnya sebagai perempuan, tetapi juga dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya sebagai legislator, serta tempatnya menurut kultur Indonesia”.
Lebih lanjut MK menegaskan “pemberian kuota 30% dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator.
Pemberian kuota 30 persen bagi calon perempuan ditegaskan oleh Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 agar jaminan yang memberi peluang keterpilihan perempuan lebih besar dalam pemilihan umum”.
Ketentuan afirmatif yang termuat dalam putusan tersebut di atas, kemudian dipertajam lagi oleh MK melalui Putusan Nomor 20/PUU-XI/2013 tentang judicial review UU 8/2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya”.
Frasa “atau” dalam penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 haruslah dimaknai kumulatif-alternatif menjadi “dan/atau” dan menghapus keberlakuan frasa “tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya”.
Selain soal nomor urut, putusan tersebut juga memperkuat posisi calon perempuan bilamana terjadi perolehan suara sama dengan calon laki-laki. MK menegaskan “Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mengutamakan keterwakilan perempuan”.
Meskipun kebijakan afirmatif digulirkan sejak lama, namun, sampai saat ini jumlah wakil rakyat perempuan masih terbilang sedikit. Menurut data KPU, jumlah anggota DPR perempuan hasil pemilu 2004 sebanyak 65 orang atau 11,82 persen dari total anggota DPR 550 orang.
Jumlah itu meningkat pada pemilu 2009 sebanyak 100 orang atau 17,82 persen dari 550 orang. Sebaliknya, pada pemilu 2014 jumlahnya berkurang sedikit sebanyak 97 orang atau 17,32 persen 560 orang. Namun, pada pemilu 2019 naik lagi menjadi 120 orang atau 20,87 persen dari total anggota DPR sebanyak 575 orang.
Dari data ini bisa disimpulkan bahwa ada kecenderungan jumlah anggota DPR perempuan bertambah, tapi progresnya agak lambat. Kira-kira masih butuh waktu lama agar jumlah perempuan di parlemen setara dengan laki-laki sehingga kelak bisa mempengaruhi kebijakan politik.
Selain soal jumlah, kiprah legislator perempuan juga memprihatinkan. Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai legislator perempuan belum memperlihatkan warna politik yang berbeda.
Mereka masih cenderung terjebak pada pola permainan politik yang dikendalikan legislator laki-laki. Di samping itu, politisi perempuan di parlemen belum juga terlihat menjadi saluran aspirasi kelompok perempuan pada umumnya.
Hal lain, lanjut Karus, legislator perempuan jarang muncul sebagai inisiator dan juga konseptor pada isu-isu utama yang berkaitan langsung dengan perempuan.
Contohnya, dalam proses pembahasan RKUHP dan RUU PKS. Banyak isu terkait hak perempuan dalam 2 RUU tersebut kurang mendapat atensi, bahkan suara legislator perempuan tak terdengar kuat dalam menentukan hasil akhir kedua RUU tersebut.
Persoalan tersebut di atas perlu mendapat perhatian serius partai politik sebagai lembaga yang bertugas melakukan rekrutmen politik.
Penting sekali rekrutmen itu dilakukan secara sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas, bukan asal rekrut demi meraup suara dan memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon. Dengan demikian, pemilih disuguhkan calon mumpuni yang kelak akan berkiprah di parlemen.
Di samping itu, perlu juga ada atensi dari masyarakat pemilih agar kebijakan afirmasi ini menjadi kesempatan memperbanyak legislator perempuan yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Saat pemilu merupakan waktu yang sangat menentukan untuk menimbang dan memutuskan pilihan politiknya secara cermat.
Sebab pada prinsipnya, memilih calon perempuan dalam pemilu bukan karena dia perempuan, tapi karena calon itu mempunyai kualitas sehingga memiliki derajat legitimasi kuat saat berkiprah di lembaga parlemen.