Oleh: Markus Makur
Religius Fransiskan, Penikmat dan Pencinta Budaya Manggarai, NTT, Pastor Frumens Gions, OFM mengatakan, “Sejauh saya tahu di budaya Kempo di Kabupaten Manggarai, “Wae teku tedeng” adalah istilah dari “iname”, “anakrona” (keluarga pemberi perempuan) untuk “woe”, “anak wina” (keluarga lelaki pengambil perempuan).
Religius Fransiskan yang biasa disapa Pastor Frumens Gions mengatakan, disebut “wae teku tedeng” karena “woe”, “anak wina memiliki kewajiban dasar ketika berjumpa dengan iname, anak rona yakni “membawa tuak”.
Ke rumah perempuan (iname) tanpa membawa “tuak” adalah suatu kekurangan besar.
Pastor Frumens Gions menjelaskan, membawa tuak, moke, arak ini terjadi sepanjang hidup.
Tidak hanya ketika melakukan pendekatan awal ke keluarga perempuan tapi dalam setiap kesempatan mengunjungi, entah resmi atau tidak resmi.
Membawa atau menyertakan tuak, moke, arak adalah suatu kehormatan bagi iname, anak rona.
“Kendati yang dibawakan adalah “tuak” namun dalam percakapan dan tindakan kultural selalu disebutkan “wae teku tedeng”, yang secara harafiah berarti: tempat tetap dan langgeng dari mana kita menimba air secara terus menerus. Kata wae arti air, teku arti timba, menimba dan Tedeng artinya hubungan sepanjang masa dalam hidup kekeluargaan,” jelasnya saat dihubungi media, Senin (11/7/2022) melalui WhatsApp.
Pastor Frumens mengatakan, itu sebabnya ideal perkawinan dalam budaya Manggarai adalah tungku sai.
Tungku sai artinya menikah anak gadis dari pihak anak rona, iname oleh anakwina, woe. Tapi harus segera dikatakan ideal tersebut ditolak oleh Gereja Katolik karena pelbagai alasan: teologis dan kesehatan.
Tapi ada resiprositas dan mutualitas di sana yang bersifat bukan ekonomis tetapi moral dan religius.
Iname, anak rona memang disebut sumber mata air yang membawa berkat.
Kadang disebut “Mori ita”: Tuhan Allah yang tampak. Iname, anakrona, sangat terhormat dan tinggi. Akan tetapi untuk dapat menimba air berkat itu woe, anak rona mesti memperlihatkan rasa hormat, kesopanan dan membawa “tuak”.
Tak ada berkat mengalir kalau woe, anak wina tak peduli dan masa bodoh. Di situlah resiprositasnya. Kedua belah pihak mesti memperlihatkan atau mempersembahkan hal-hal terbaik dari diri mereka masing-masing agar dapat dibagikan, dinikmati dan dirayakan bersama. Di sini pun tak ada berlaku hubungan tuan dan hamba.
Pastor Frumens menjelaskan, prinsip dasarnya: untuk dapat menerima atau memperoleh berkat dari iname, anak rona, seseorang perlu berjuang agar dapat memberikan sesuatu (tuak, dan lain-lain) kepada iname, anak rona.
“Sayangnya, prinsip ini sekarang terlalu berwatak ekonomis. Peristiwa pernikahan menjadi semacam transaksi: saya memberi supaya saya dapat menerima (do ut des). Padahal, tak ada pemberian tanpa sebelumnya dibangun komunikasi. Tak ada penerimaan kalau sebelumnya kita tak memberi. Biasanya saat peminangan, tongka, juru bicara antara pihak laki-laki dan perempuan selalu mengungkapkan Wae teku tedeng,” jelasnya.
Pastor Frumens mengatakan, kita semua pada saatnya menjadi wae teku tedeng.
Artinya, menjadi iname, anakrona dan woe, anak wina. Iya. Menjadi pembawa “tuak” agar berkat mengalir dan kehidupan ditandai sukacita.
Pastor Frumens, menambahkan, secara harfiah, wae teku tedeng menunjuk pada dua hal: kata benda, wae teku: sumber air, mata air, tempat warga menimba air; dan kata sifat tedeng: awet, lestari, abadi, langgeng, kekal.
Maka, wae teku tedeng menunjuk pada sumber tempat warga selalu menimba air untuk aneka kebutuhan: mandi, mencuci, masak, dan lain-lain.
Karena relasi warga dengan mata air itu bersifat abadi, maka lalu ditambahkan kata: salang sehingga menjadi salang wae teku tedeng. Dan salang tersebut dikontraskan dengan salang wae tuak.
Kalau salang wae tuak itu sementara dan sewaktu-waktu, salang wae teku itu tedeng, yakni kita selalu butuh air untuk kelangsungan dan kelanjutan hidup dan kebudayaan. “Tuak” tak selalu dibutuhkan, sementara “wae teku” senantiasa dibutuhkan.
“Wae teku tedeng” secara alegoris dan simbolis menunjuk pada ciri atau karakter dan ideal atau model yang mestinya diperlihatkan atau ditunjukkan dalam hubungan antar warga dan antar keluarga (iname dan woe).
Dalam arti itu, kita semua tak terkecuali mesti membangun semangat “wae teku tedeng”. Kita sudah, selalu dan akan membutuhkan sesama kita untuk keberadaan kita.
Makna teologis. Seperti halnya Tuhan sumber hidup terus menerus memberi dan merawat kehidupan, begitu juga selayaknya relasi yang dibangun antarkita dan sesama ciptaan perlu dijiwai oleh sikap ramah dan bakti.
Hubungan antarmanusia terlalu kerdil jika hanya ditopang oleh perhitungan untung rugi, kalah menang, dan seterusnya.
Damai dan harmoni dimulai dari sikap respek pada kehidupan. “wae teku tedeng” adalah ideal dan model relasi dalam kebudayaan kita.
Tokoh adat Manggarai Timur, Mikael Pakur, Senin, (11/7/2022), wae teku tedeng itu hubungan terus menerus hubungan kekeluargaan anak rona (pemberi gadis) dan anak wina (penerima gadis atau pihak suami).
“Segala keperluan urusan adat istiadat selalu melibatkan pihak keluarga anak wina, iname (penerima gadis yang dijadikan istri) yang diwajibkan oleh pihak anakrona, iname,” jelasnya.
Pakur, perkembangan sudah bergeser makna sesungguhnya ke hal-hal ekonomi, misalnya ada acara kumpul uang sekolah melibatkan anak wina tersebut yang diberitahu oleh pihak anak rona.
Budaya pernikahan orang Manggarai bahwa saat pria dan wanita sudah sah dalam sebagai suami istri yang disaksikan oleh kedua besar, dan berpuncak pada upacara pernikahan sesuai tradisi Agama Katolik, baik anakwina maupun anakrona maka hubungan kekeluargaan tak pernah putus.
Segala urusan ritual adat, seperti acara pemberian nama bayi yang sudah lahir, ritual kematian, urusan belis, dan urusan lainnya yang berkaitan dengan ritual-ritual adat selalu melibatkan pihak anakrona.
“Ini merupakan warisan leluhur orang Manggarai supaya hubungan harmonis kekeluargaan terjalin sepanjang hidup. Tradisi ini tidak bisa hilang dalam sistem perkawinan orang Manggarai. Jadi hubungan pernikahan orang Manggarai itu bukan yang dua pribadi saja melainkan hubungan dengan keluarga besar dari pihak keluarga perempuan (anakrona) maupun keluarga laki-laki (anak wina),” jelasnya.
Tetua adat lain dari Manggarai Timur, Agustinus Nggose kepada media ini, Senin (11/7/2022), menjelaskan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dengan wae teku tedeng dalam ikatan perkawinan yang tidak luntur dan sifatnya hubungan harmonis sepanjang masa.
“Urusan apa saja yang berkaitan dengan ritual adat dan bantu keluarga selalu melibatkan kedua keluarga besar. Misalnya ritual cear cumpe, pemberian nama bayi baru lahir selalu ada pihak anakrona. Kalau belum ada pihak anakrona maka ritual cear cumpe belum bisa dilaksanakan dan ritual lainnya seperti ritual kematian wajib melibatkan pihak anakrona, iname,” jelasnya.
Catatannya:
Anak rona, ina me artinya pihak pemberi perempuan atau pihak keluarga perempuan
Anak wina, woe artinya pihak penerima perempuan atau pihak keluarga laki-laki
Tungku arti sambung menyambung
Sai artinya kepala
Tungku Sai artinya perkawinan yang yang terus menerus dari pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki
Tongka artinya juru bicara adat dalam sistem perkawinan orang Manggarai.