Kupang, Vox NTT- Sidang praperadilan atas penetapan tersangka Notaris Albert Riwu Kore kembali digelar di Kantor Pengadilan Negeri Kupang, Selasa (26/07/2022) siang.
Sebelumnya, sidang praperadilan ini dilayangkan oleh Notaris Albert Riwu Kore melalui kuasa hukumnya dalam kasus dengan BPR Krista Jaya Kupang.
Mikael Feka, akademisi asal Unwira Kupang hadir sebagai saksi ahli dalam sidang itu.
KepadaVoxNtt.com usai sidang, Mikael menjelaskan perkara yang digelar merupakan perkara pengulangan.
“Kalau menurut saya ini perkara ini perkara pengulangan yang mana pada waktu itu Polda sudah menaikkan ke tahap penyidikan, tetapi kemudian dihentikan di SP3. Nah, di SP3 kan kemudian diacuhkan permohonan praperadilan yang objeknya adalah tentang penghentian penyidikan,” jelas Mikael.
Menurut dia, dalam putusannya menyatakan penyidikan itu tidak sah.
Oleh karena pengertian penyidikan itu tidak pas, maka wajib hukumnya untuk dibuka kembali sebagaimana diatur dalam perintah KUHP pasal 82 ayat (3) huruf b.
Di sana, dikatakan bahwa apabila isi penetapan atau keputusan hakim yang menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, maka wajib untuk dilanjutkan.
Mikael menjelaskan, kata wajib untuk dilanjutkan artinya tidak ada pilihan lain bagi penyidik untuk tidak melanjutkan perkara ini.
Sebab selain keputusan pengadilan dalam praperadilan sebelumnya, juga perintah Undang-undang dalam hal ini KUHP.
“Oleh karena itu memang saya melihat bahwa terkait dengan perkara ini penyidik membuka kembali,” ujar Mikael.
Ia menegaskan, eksekusi sebuah keputusan tentu saja bukan pada ‘pertimbangan‘ tetapi pada ‘amar putusan‘.
Sedangkan untuk pertimbangan hukum tentu saja menjadi kajian ilmu yang spesifik. Jika terjadi pertentangan antara pertimbangan hukum dengan amar putusan, maka yang diikuti adalah amar putusan.
Setidaknya, demikian Mikael, putusan itu berkekuatan hukum tetap. Karena kekuatan hukum tetap itulah maka putusan harus dieksekusi.
“Karena ini adalah perintah amar putusan dan Undang-undang,” imbuh dia.
Kemudian, lanjut dia, terkait gelar perkara dua kali tersebut sudah menjadi bagian dari fakta persidangan.
Kasus ini tidak bisa dilihat halaman per halaman. Yang harus dilihat adalah amar putusan.
Hal ini tentu berbeda dengan kajian penelitian yang tentu saja harus dilihat secara utuh.
Dikatakan, amar putusan dilahirkan dari adanya pertimbangan hukum. Kemudian, pertimbangan hukum lahir dari adanya fakta persidangan yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan.
Dia menambahkan, pertimbangan hukum adalah mahkota seorang hakim dalam menjatuhkan putusan.
Sebab itu, Mikael berkeyakinan bahwa dengan adanya amar keputusan yang menyatakan bahwa perhentian penyidikan tidak sah dan harus membuka kembali, maka tentu melalui pertimbangan yang sangat matang bersama fakta persidangan.
“Saya menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menerbitkan dua putusan yang berbeda karena objeknya sama. Saya yakin tidak mungkin ada putusan dari satu pengadilan yang paling tertolak belakang satu sama lain,” ujarnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba