Ki’at, begitulah nama dari sebuah kampung adat, yang letaknya tidak jauh dari tapal batas NKRI-RDTL, sektor barat antara Distrik Oecuse dengan wilayah Nai’benu.
Secara administrasi, kampung adat Ki’at ini berada di Desa Bakitolas, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Tepatnya berada di pedalaman atau jarak dari pemukimanmasyarakat Desa Bakitolas, kurang lebih 5 – 6 km.
Menariknya bahwa kampung adat Ki’at ini berada tidak jauh dari garis perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, sektor barat antara distrik Oecuse dengan wilayah Nai’benu.
Sekitar 3 – 4 km, kita sudah berada tepat di titik nol garis perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Akses jalan hingga tiba di kampung adat Ki’at ini masih melewati jalan setapak.
Bagi orang -orang yang tinggal di kampung adat ini, atau mereka yang sudah pernah berkunjung kesana tentu mudah bagi mereka.
Namun, bagi orang yang pertama kali hendak berkunjung ke sana hendaknya iamenyediakan tenaga yang ekstra karena harus melewati beberapa tanjakan yang tajamserta melewati hutan rimba.
Tapi perjalanannya pasti menjadi sebuah kenikmatan bagiseorang petualang sejati.
Ketika tiba di kampung adat Ki’at ini, mata kita akan disajikan dengan keindahan alam yangnatural nan elok. Sejuk dan dinginnya udara akan dirasakan pada tubuh.
Apalagi pada saatturunnya awan menyelimuti kampung adat tersebut. Kita seolah-oleh berada di negeri diatas awan.
Suasana indah kampung adat ini semakin memikat di hati ketika telingan kita mendengarkicauan burung yang terbang kesana kemari.
Kita pun hanya menyaksikan aktivitas orang -orang setempat nan alamiah.
Hidup meraka jauh dari modernitas namun humanis. Makanan ala tradisional, lampu padamalam hari hanya berandalkan pelita yang terbuat dari kaleng bekas yang diisi minyaktanah.
Atau biji pohon damar yang diolah secara tradisional jadi solusi terakhir sebagai pelitabila belum memperoleh minyak tanah.
Perlu diketahui bahwa kampung adat Ki’at ini dihuni oleh sekelompok masyarakat yangkental dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat suku Dawan.
Sekelompak masyarat yang mendiami kampung adat ini berasal suku Koa Sasi, atau seringkali dijuluki dengan nama Meo bahan (meo bahan adalah bahasa Dawan, yang terdiri daridua suku kata yakni Meo dan bahan.
Apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka meoartinya panglima perang dan bahan artinya pagar.
Maka secara harafiah Meo bahan mengandung arti panglima perang yang ditugaskan untuk menjaga musuh di pagar/batas wilayah).
Hal di atas sebagaimana diafirmasikan oleh Marthino Tasain Koa, seorang tokoh adat yangberasal dari kampung adat tersebut bahwa Meo bahan sebagai panglima perang, tidak ikut berpartisipasi dalam perang di medan perang, ia ditugaskan oleh usif (raja) untuk menjaga musuh di pagar/batas wilayah.
Nah, lebih lanjut, kampung adat Ki’at ini terdapat tujuh rumah yang beratap alang-alang ataudi kalangan masyarakat suku Dawan disebut Ume Kbu-bu (rumah tradisional masyarakatsuku Dawan).
Rumah adat di kampung adat Ki’at ini dikenal sebagai sebutan Ume Naek Meo Bahan, apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka memiliki arti harafiah sebagai rumah adat dari panglima perang yang dipercayai raja Meko untuk menjaga musuh di pagar/batas wilayah.
Terdapat lima rumah biasa yang dihuni oleh penduduk suku Koa, dan dua rumah lainnyamerupakan rumah adat dari suku Koa.
Menariknya kedua rumah adat tersebut dibagi satuuntuk perempuan dan satunya untuk kaum laki-laki.
Dikisahkan bahwa pada saat acara adat dilaksanakan maka baik perempuan maupun laki -laki, dari usia dini sampai dewasa, ikut melaksanakan ritual adat di masing-masingtempat/rumah adat yang telah dibagikan.
Ritual adat dilaksanakan secara terpisah hanya saja untuk penuturan adat diambil alih oleh tua adat dari seorang laki – laki.
Bahkan pada saat makan pun dilaksanakan secara terpisahdi tempat/rumah adat masing-masing.
Orang-orang yang mendiami kampung adat ini masih menjunjung tinggi nilai tradisi dan adat-istiadat suku Dawan.
Dalam relasi antarindividu, mereka saling mengenal sebagai keluarga yang lahir dari satu keturunan.
Hingga dalam relasi sosial, mereka mengenal sebagai Olif-tataf (adik-kaka), Fetof-naof (saudara-daudari).
Orang yang berada di luar diri mereka atau tamu yang berkunjung ke sana dipandang sebagai Aokbian (bagian dari dirinya sendiri).
Bagi orang yang hendak mengunjungi kampung adat tersebut pun perlu mentaati aturan adat yang telah dihayati di sana.
Ada tempat-tempat tertentu, yang sakral, tidak boleh dikunjungi kalau belum meminta izin dari tua adat.
Penulis: Sevri Koa