Labuan Bajo, Vox NTT- “Panglima tenun”, begitu julukan warga kampung Perang, Desa Ponto Ara, kecamatan Lembor, kabupaten Manggarai Barat (Mabar) untuk Mama Marta. Mama Marta kini sudah memasuki usia senja di kampung itu.
Sejak kelas 4 SD, Mama Marta sudah mulai belajar menenun dan menganyam tikar. Keahlian itu diajarkan langsung oleh orangtuanya.
“Kelas 4 SD sudah mulai latih menenun, diajarkan oleh orangtua. Dan terus menerus berlatih,” kata Mama Marta yang kini sudah berusia 90-an tahun, Kamis (18/08/2022).
Karena keadaan, Mama Marta harus berhenti sekolah di kelas 4 SD dan menikah di usianya yang masih 12 tahun.
Berjalannya waktu, Mama Marta terus menenun dan menghasilkan banyak sekali tenunan songket dan juga tikar dari hasil anyamannya.
Di usianya yang masih produktif, Mama Marta telah mengajarkan banyak anak perempuan di Kampung Perang untuk belajar menenun.
“Semua anak perempuan di sini (Kampung Perang) saya yang ajarkan untuk menenun,” ujarnya.
Mama Marta mengatakan, dirinya tulus untuk melatih semua anak perempuan di Kampung Perang untuk menenun, apalagi anak perempuan yang telah putus sekolah.
Karena telah mengajar semua anak perempuan menenun, Mama Marta sejak dulu hingga saat ini dijuluki sebagai “Panglima Tenun”.
“Bukan tanpa alasan mereka memanggil saya “Panglima Tenun”. Karena memang saya yang mengajarkan mereka semua menenun. Kalau dalam Perang saya yang pimpin mereka,” ujar ibu 10 anak ini.
Mama Marta mengatakan, di usianya yang sudah senja, tidak lagi bisa menenun dan hanya bisa menganyam tikar.
“Mata sudah kabur untuk melihat. Jadi tidak bisa lagi menenun,” ungkapnya.
Meskipun begitu, Mama Marta tetap melakukan kegiatan produktif dari menganyam tikar sampai menguling benang.
Bagi Mama Marta, jika tidak melakukan sesuatu dirinya akan sakit. Begitupun sebaliknya jika melakukan sesuatu dirinya akan terus merasa sehat.
“Saya tidak bisa hanya untuk berdiam diri di rumah. Harus ada satu kegiatan yang produktif setiap harinya,” tutup Mama Marta.
Penulis: Sello Jome
Editor: Ardy Abba